8 Nov 2010

Metro Jakarta perlu untuk menghindari kemacetan lalu lintas

Setelah membaca majalah Economist September 2010 masalah, saya menyadari bahwa Jakarta punya panggilan baru: kota terbesar di dunia tanpa metro. The Economist melaporkan bahwa kepemilikan mobil di Jakarta telah meningkat sebesar 10-15 persen per tahun. Sepeda motor di mana-mana dan dapat diperoleh dengan uang muka sebagai sedikit sebagai $ 30. Di sisi lain, tingkat pertumbuhan jalan Jakarta kurang dari 1 persen per tahun. Kemacetan sehari-hari di Jakarta semakin memburuk. Jakarta diperkirakan kehilangan $ 3 miliar per tahun akibat keterlambatan transportasi dan mencapai kemacetan lalu lintas total pada tahun 2014.

lalulintas jakarta metromini

Metrominis menggunakan jalur busway di Jalan Urip Sumohardjo, Jatinegara, Jakarta
Kemacetan lalu lintas akut di Jakarta juga diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali gagasan keluar modal relokasi Jakarta. Relokasi keluar ibukota Jakarta dapat mengurangi urbanisasi dan tingkat kepemilikan mobil di Jakarta dan sekitarnya, tetapi tidak akan sepenuhnya mengatasi kemacetan di Jakarta. Jakarta perlu perubahan mendasar dalam pengelolaan angkutan umum. Angkutan umum saat ini belum mampu mengurangi kemacetan akut di Jakarta. Jakarta sekarang membutuhkan Mass Rapid Transit (MRT) atau juga dikenal sebagai Metro untuk mengatasi masalah transportasi.

Sebagian besar wilayah metropolitan di dunia dengan penduduk lebih dari 10 juta telah Metro beroperasi selama bertahun-tahun. New York City dibuka baris bawah tanah pertama dari kereta bawah tanah pada tahun 1904 dan kereta bawah tanah telah menjadi tulang punggung sistem transportasi Kota New York sejak saat itu. Dua kota besar di Jepang, Tokyo dan Osaka dibangun metro mereka pada tahun 1927 dan 1933 masing-masing. Metro Tokyo adalah yang paling luas transit di dunia sistem cepat dengan lebih dari delapan juta penumpang setiap hari. Kota terbesar kedua di dunia, Mexico City, telah membangun metro sejak 1969 dan sekarang Mexico City Metro adalah sistem metro terbesar kedua di Amerika Utara setelah kereta bawah tanah New York City. Dua kota besar di Cina, Beijing dan Shanghai membuka sistem metro mereka pada tahun 1971 dan 1995 masing-masing. Kota-kota besar di Asia Tenggara yang memiliki populasi kurang dari Jakarta juga memiliki sistem metro mereka selama bertahun-tahun, termasuk Manila (1984), Singapura (1987), Kuala Lumpur (1995) dan Bangkok (2004) (Wikipedia, 19 Oktober 2010).

MRT akan menjadi proyek-proyek publik yang paling mahal dalam sejarah Jakarta, tapi itu adalah jawaban untuk menghindari kemacetan lalu lintas total di Jakarta. Untuk setidaknya 20 tahun, usulan MRT di Jakarta telah dibahas oleh pemerintah kota Jakarta dan pemerintah Indonesia. Para aktivis dan pengawas non-pemerintah telah melihat proposal MRT sebagai bonanza mungkin bagi politisi korup dan kontraktor (Ekonom, 4 Februari 2010).


Traffic Jam - Jakarta

Akut kemacetan lalu lintas di Jakarta
Akhirnya, Pemerintah menjamin perjanjian $ 1600000000 pinjaman dengan Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) pada 2009 untuk pendanaan proyek MRT Jakarta. Wakil Presiden Boediono juga meminta JICA untuk mempercepat desain dan konstruksi proyek MRT untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Proyek akhir ini dirancang diharapkan akan selesai pada tahun 2011. Saluran pertama proyek MRT diharapkan dapat menghubungkan bundaran Hotel Indonesia dan Kota tahun 2016 (The Jakarta Post, 20 Oktober 2010).

Saya menyarankan dua langkah mendasar bagi pemerintah kota Jakarta agar dapat secara efektif mengatasi masalah transportasi akut di Jakarta. Pertama, mengintegrasikan proyek MRT dengan moda transportasi saat ini masyarakat termasuk termasuk Busway Transjakarta, Metromini, Kopaja, Angkot, Bus Kota, dan mikrolet. Keandalan, aksesibilitas dan keterjangkauan dari sistem transportasi publik harus ditingkatkan untuk semua tingkatan warga Jakarta. Pengembangan sistem transportasi publik juga harus mempertimbangkan kebutuhan warga di daerah pedalaman di Jakarta termasuk Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor.

Kedua, mengubah pengendara mobil dan pengendara sepeda motor ke pengendara kendaraan umum / pengendara MRT. Ini akan menjadi kunci penting bagi keberhasilan Jakarta dalam mengatasi kemacetan lalu lintas. Tanpa konversi pengendara mobil dan pengendara sepeda motor ke pengendara kendaraan umum / pengendara MRT, kemacetan lalu lintas di Jakarta tidak akan pernah diselesaikan dan proyek MRT akan menjadi investasi efektif.


Metro di Montreal
Konversi pengendara mobil dan pengendara sepeda motor ke angkutan umum / pengendara MRT bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Sebuah perencanaan yang matang dan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan diperlukan. Pemerintah kota Jakarta juga perlu belajar dari pengalaman operasi Busway transjakarta khususnya tentang cara efektif mengkonversi pengendara mobil ke pengendara Busway Transjakarta. Last but not least, ketidaknyamanan pengendara mobil dan motor karena kemacetan akut di Jakarta dapat dianggap sebagai aset besar untuk mengubahnya menjadi angkutan umum / pengendara MRT. Transportasi publik dan sistem MRT harus menawarkan moda transportasi yang handal, dapat diakses, tepat waktu, nyaman, aman dan terjangkau dalam rangka untuk pengendara mobil dan pengendara sepeda motor untuk meninggalkan kendaraan mereka dan naik angkutan umum dan / atau MRT sebagai moda transportasi utama mereka.
-------------------------
Sumber : The Jakarta Post pada tanggal 24 Oktober 2010, Ir. Deden Rukmana.

30 Sep 2010

Planolog, Urban Designer & Arsitek Mendadak Pengacara Di Pengadilan Tata Ruang.

Pantai utara Jakarta mulai direklamasi tahun ini untuk menyediakan lahan bagi pembangunan, bendungan penahan kenaikan permukaan air laut dan sumber air baku untuk Jakarta Utara. Akan ada 6 pulau di atasnya dengan total luas 1700 hektar. Ada areal bisnis, perumahan, perkantoran, perdagangan, area pelabuhan, dermaga kapal cepat dan lapangan golf. 250 hektar untuk hutan bakau. Pulau hasil reklamasi ini diharapkan menjadi penyelamat daratan induk, sebagai tanggul laut. Permukaan air laut diperkirakan naik sampai 30 cm dalam 20 tahun mendatang akibat pemanasan global. Pengurukan laut masih harus menunggu pengesahan RTRW DKI Jakarta 2010-2030. Sepertiga Jakarta tidak jadi tenggelam pada tahun 2015? Atau ibukota RI jadi hengkang ke Kalimantan? We'll see.. Tata Ruang, apa kabarmu? Anda kenal ? (apaan tuh?). 


Tapi anda tahu, kan, kalau membangun rumah tanpa IMB bisa dirobohkan. Kasus pembongkaran vila2 di Puncak, anda sering dengar beritanya di koran. Atau, aturan gedung2 di Kota Bandung tak boleh melebihi 17 lantai, demi keamanan penerbangan dari dan ke luar bandara Husein Sastranagara. Bangunan di Bali ditabukan melebihi tinggi pohon kelapa (meski kalangan investor berupaya menggugat hukum adat itu). Bali mempesona dengan seni tradisinya yang terjaga, bukan gedung2 pencakar langit modern seperti keseragaman di banyak tempat dunia. Be yourself, people ... 

Dalam perjalanan pulang, anda lihat bedeng liar di bantaran kereta api atau sungai. Warteg di atas saluran air (drainase). Anda lihat ruang hijau mendadak (berubah) pomp bensin (SPBU). Trotoar dipenuhi PKL, sekaligus lalulintas alternatif bagi motor ngepot. Lapangan olahraga jadi kios untuk kas RT. Halaman depan rumah yang dulu taman,  resapan air, ruang masuk cahaya matahari untuk kesehatan penghuni rumah (alias tak boleh dibangun karena dikenai aturan sempadan) ternyata dimanfaatkan untuk kandang ayam (yah, daging ayam memang sedang mahal). 

Serangkai pemandangan biasa ini adalah contoh pelanggaran Tata Ruang. Ruang ditata agar warga mendapat manfaat maksimal dari penggunaan lahan. Kalau kita yang untung, mestinya kita peduli.


Jalan jebol, overload, karena .. karena .. Kios liar ukuran 1,5 x 2 meter di atas saluran air, kelurahan Durikosambi, Jakarta, sebelum lebaran lalu. Kegiatan menjajakan makanan, barang elektronik, pulsa, hingga usaha tambal ban, berikut buangannya, mendangkalkan saluran drainase selebar 1,5 meter di bawahnya. Apalagi jarang dikeruk dan dibersihkan. Giliran hujan, permukiman sekitarnya jadi rentan kebanjiran. Jalan cepat keropos dan rusak. Salah siapa ? ( foto : beritajakarta)

Jalan rusak berlubang, semua pun kompak protes. Tapi, adakah yang berpikir, rusaknya jalan karena ulah masyarakat  yang tidak tertib Tata Ruang ? Kondisi drainase kota buruk, karena masyarakat gemar buang sampah sembarangan. Enggan merawat lingkungan. Karena pemilik kios di atas saluran (berikut limbah usahanya) terus membandel ketika ditertibkan satpol PP. Karena penyelenggara jalan membuat paket perbaikan jalan terpisah dengan paket perbaikan drainase. Terjadilah tanggul saluran lebih tinggi dari jalan, karena tidak terintegrasi perencanaan dan pelaksanaannya. Jalan berubah fungsi jadi selokan raksasa. Aspal cepat melapuk, lalu rusaklah jalan. Tamat riwayatmu .. (bagi yang tidak gesit berakrobatik menghindari lubang).

Karena antar instansi kurang koordinasi ketika menanam instalasi di bawah jalan. Gali lubang tutup lubang, setelah ratusan milyar dana APBD digelontorkan untuk menghaluskan jalan. Karena pemerintah menangani semua pembangunan infrastruktur. Karena supir melanggar aturan tonase kendaraan saat melintasi jalan. Karena warga berbondong-bondong sepulang mudik membawa orang sekampung, meski minus ketrampilan. Ramai2 menyesaki kota. Karena investor berebut membangun mall di pusat kota yang sudah padat merayap. Karena tak berdayanya para pengambil kebijakan menghadapi manuver dan target produksi  industri otomotif. 2 juta motor tahun ini, kata mereka. Pertumbuhan kendaraan 14 % pertahun. Jalan pun menjerit (kelebihan beban). Kalau saja pembangunan merata, penduduk tersebar, Jawa takkan tenggelam. Nasi sudah jadi bubur. Tahun 2015, diprediksi Jakarta tenggelam. Jalan R.E.Martadinata, Jakarta, dini hari amblas sepanjang lebih 100 meter. Rupanya, penurunan tanah di salah satu kota terpadat di dunia ini sudah parah. Sampai 20 cm pertahun. Penyedotan air tanah yang luar biasa rakus akibat beban penduduk yang luar biasa banyak (masih berniat megapolitan ?). 

Air laut pun merembes ke daratan (intrusi). Air sumur jadi asin. Muncul wacana pemindahan kota ke Kalimantan. Sisi lain kepadatan penduduk adalah kemacetan jalan yang memboroskan bahan bakar (kita masih bicara Tata Ruang, lho, terutama rencana tata ruang yang keliru atau dampak pelanggaran). Muncul wacana pembatasan subsidi BBM untuk kendaraan tahun 2005 ke atas, atau lebih tepatnya mesin injection. Mobil lama dengan karburator masih diperbolehkan menggunakan premium / oktan rendah / subsidi. Mobil lama jika menggunakan pertamax, mesinnya akan terasa lebih joss (bertenaga). Mesin lebih awet. Mau coba campursari, premium dengan pertamax ? (untuk mobil lama). Boleh. Sesuaikan dengan ketebalan kantong anda. Zat aditif di pertamax, rupanya biang ketokceran mesin mobil. Coba saja. Hitung2 membantu menghemat anggaran negara.

Dulu pengekspor, kini pengimpor minyak. 350 ribu barel perhari. Subsidi bye bye ..
Kenapa kita harus berhemat ? Yah, karena kita sudah keluar dari OPEC (negara-negara pengekspor minyak). Kita sekarang turun status, jadi pengimpor minyak. 350 ribu barel perhari. Tahun 1970, produksi minyak kita sampai 1,6 juta barel perhari. Penggunaan dalam negeri hanya 400 ribu barel. Surplusnya digunakan presiden untuk Inpres dan Banpres. Hari ini, produksi minyak kita cuma 900 ribu barrel, penggunaan dalam negeri 1,3 juta barel. Perhari. Tekor, deh. Konsekuensinya, negara mesti mensubsidi bahan bakar yang kita gunakan sehari-hari. Studinya secara ekonomi (secara sosial budaya belum terdengar, meski kebijakan itu merubah drastis kultur masyarakat, seperti konversi minyak tanah ke gas, sehingga terjadilah ledakan2 beruntun itu), katanya, bisa menghemat anggaran hingga 2 trilyun rupiah. Benarkah ?

Ini pemerintah, otaknya mesti dicuci. Masyarakat, otaknya juga mesti dicuci, kata pengamat migas, berseloroh dengan rekannya, pengamat kebijakan publik. 2 trilyun itu, pada prakteknya akan lain. Jalanan macet, apanya yang bisa dihemat ? Apalagi, kendaraan lawas yang efesiensinya berkurang. Nyedot premiumnya (subsidi) juga banyak. Ide barcode untuk membedakan mobil baru dengan mobil lama, apa ada yang bisa menjamin, bukan orang dekat pengambil kebijakan itu yang mendapatkan proyeknya? Apakah pegawai pomp bensin  kuasa menolak, ketika pengendara dengan pangkat dan simbol-simbol tertentu minta mobil barunya diisi premium?  Masyarakat kita terkenal ‘kreatif’. Mereka bisa membeli premium dengan mobil lama lalu mengisinya ke mobil barunya di rumah. 3-4 buah berderet di garasi. Atau menjualnya ke teman atau tetangganya. Jadi agen dadakan. Mau adu cerdik? Di pusat kota, hanya ada pomp bensin pertamax. Pomp bensin premium akan ditaruh di pinggiran kota. Laut pun akan kami seberangi untuk mendapatkan BBM murah meriah, kata mereka sambil nyengir. Kami, kok dilawan ....

Pomp bensin premium khusus angkutan umum?
Mendekati. Kuncinya, beri saingan pada mereka (pemilik mobil baru, industri otomotif yang didukung banyak industri manufaktur). MRT. Transportasi massal yang nyaman (pengendara mobil pribadi yang tak sensitif harga, sudah kepincut) dan terjangkau (pengendara motor yang koceknya ngepas sampai rela mudik antar provinsi dengan moda diperuntukkan dalam kota ini, ikut tergoda). Dikondisikan bermacet ria yang menguras bensin dan kesabaran, atau bersantai asyik di angkutan massal sambil membayangkan istri tercinta (hushh .. baca komik buat yang masih sekolah ), tentu mereka memilih yang terakhir. Setuju ?

Subsidi menyentuh hajat hidup orang banyak. TNI-Polri naik gaji? 
Uang hasil penghematan subsidi bisa dialokasikan untuk program-program yang mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum. Langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Seperti membebaskan retribusi terminal, meringankan pajak transportasi umum, memberi insentif bagi pengusaha angkutan umum yang menjaga kualitas prima pelayanannya pada konsumen, memberi kesejahteraan bagi polisi, TNI, aparat keamanan yang menjaga keamanan perjalanan penumpang, membangun infrastruktur dan peralatan navigasi yang baik untuk transportasi massal, dsb. Baru setelah itu, pemerintah boleh menjalankan pembatasan subsidi dsb, karena masyarakat sudah diberi pilihan yang lebih baik. Everybody’s happy ..Demikian juga, Tata Ruang. Pengetahuan tentangnya, akan memberi pilihan pada masyarakat akan hidup lebih berkualitas, di luar kesumpekan yang dirasakan selama ini. Bahwa, ada cara lebih baik menjalani umur. Tak perlu melewati jalan macet, rusak, kumuh dan rawan kamtibmas. Tahu akan diapakan daerah tempat tinggalnya. Ikut aktif mengawasi pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) yang tertuang di perda. Konsistensinya. Ada pelanggaran? Adukan saja ke BKPRN yang akan menggelar Pengadilan Tata Ruang. (Ada gitu?) Tulisan di bawah bisa jadi cikal bakalnya. Sudah saatnya isu Tata Ruang up to the next level. Check this out....UU no 26 dan 27 tahun 2007 disatukan & direvisi. Darat, laut dan udara ..Pantai dan laut diperlakukan seperti halnya ruang kota di UU no.27 tahun 2007. Peruntukannya bisa tambak ikan, rumput laut dan pengeboran minyak. Ketika daerah semau gue membuat kebijakan, pada siapa masyarakat mengadu ? DKP yang mengusung aturan ini juga bingung. 

(foto : handajani) Syahibul hikayat ada UU no.26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 

Ada pula Undang-undang no.27 tahun 2007 tentang Kelautan ( atau Tata Ruang Laut ). Ada pasal yang mengatur pelabuhan perikanan dan zoning pantai. Daerah yang membutuhkan tambak ikan yang bernilai tinggi, rumput laut, tambang minyak bisa mengkavling pantai dan laut, serta memperlakukannya sebagai ruang, kata planolog Imanda Pramana, ST. IAP. It’s about time


Sayangnya, Departemen (Kementerian) Kelautan dan Perikanan masih bingung jika ditanya soal ini. Padahal mereka yang mengusung aturan ini. Berbeda dengan RTRW yang sudah jelas penjaga gawangnya (Kementerian Pekerjaan Umum), soal zona kelautan dan kebijakan terhadapnya, daerah masih tidak tahu harus ke mana berkomunikasinya. Siapa yang bertanggung jawab secara nasional? Pagi tadi  (22/9/2010 di radio Trijaya), pejabat dari Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen PU sudah sampai taraf menghimbau masyarakat agar segera membentuk wakilnya (misalnya, Komunitas Peduli Tata Ruang) untuk berdiskusi dengan pemda, memberi input pada RTRW yang akan / sedang dibuat, juga mengawasi pelaksanaannya nanti. (PP turunan UU RTRW masih dikejar dalam 2 tahun ini). 

Daerah juga diminta menunjuk instansi mana yang ditugasi merespon dan menindaklanjuti pengaduan dari komunitas pengawas RTRW ini. Sudah sampai mana Tata Ruang Laut ?Jika masih keteteran, tidakkah lebih baik UU Tata Ruang Laut dimasukkan saja ke UU RTRW? UU no.26 tahun 2007 juga masih belum lengkap. Tidak menyinggung masalah pertahanan dan keamanan, padahal implementasi UU ini menyentuh tingkat Kodim / provinsi sampai Kodam. Meski tidak terploting, seharusnya ada amanat keberadaan institusi ini dalam infrastruktur keamanan, seperti halnya RTH, sehingga tidak kontra produktif. Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Daerah (BKPRD) bisa berperan mengatur kelembagaannya. Sayangnya, BKPRD, saat ini, adalah kumpulan dinas-dinas yang pemimpinnya diangkat Kepala Daerah. Bisakah independen? Jika tidak, mesti dirombak habis, diganti dengan lembaga independen yang memiliki mekanisme persidangan yang jelas, sehingga walikota atau bupati pun tinggal tanda tangan atau menyetujui. Jika menolak harus jelas alasannya.

BKPRD andal & independen, Tata Ruang aman meski pembangunan pesat.
Keputusan BKPRD sering memunculkan persoalan. Sinyal, anggota BKPRD meski ada dari unsur luar dinas, supaya bisa independen. Misalnya, mengacu PP no.34 tahun 2009 ; PNS atau TNI tidak boleh menjadi anggotanya. Sudah waktunya ada satu tim independen dari BKPRD yang bisa bicara bebas, menentukan kehendak bebas, termasuk mengatur kebebasan swasta yang akan memasuki wilayah atau ruang. Pengaturan infrastruktur di suatu wilayah pembangunan memakan APBD. Padahal, anggaran itu tak perlu digunakan, jika bisa membuka ruang untuk swasta. Semacam kawasan strategis tapi otonom seperti Singapura.

Swasta yang berusaha, pemerintah tinggal menghubungkan perencanaannya. Satu blok wilayah membuka usaha pariwisata, pemerintah mengatur dan menentukan kawasan di belakangnya akan dijadikan apa. Pemerintah tinggal mengatur tanah yang ‘dijual’ ( hak pengelolaannya ) tsb. Agar kita cepat maju, pemerintah tak perlu menangani semua pembangunan. UU no.26 tahun 2007, juga belum jelas mengatur hal ini.  Harus ada privat yang bisa menguasai lahan, sekaligus tunduk pada aturan pemerintah yang diwakili BKPRD yang independen dan andal, tetapi tetap berkoordinasi.

Emangnya cuma ahli hukum yang pengacara ? Planolog, urban designer, arsitek juga bisa.
Seharusnya, Tata Ruang melibatkan tenaga ahli yang jelas statusnya. Kiprahnya menentukan hajat hidup orang banyak. UU no.26 tahun 2007 tidak memuat klausul para ahli dilibatkan. Para ahli tata ruang diusulkan melakukan pekerjaan seperti pengacara yang bisa membela kliennya, mengajukan usul ke BKPRD, melakukan persidangan dengan BKPRD. Harus ada planner (perencana) yang bisa menjelaskan kepada masyarakat tentang banyak hal,  masalah, yang kedetailan sehari-hari mencapai skala 1 : 1000 atau 1 : 500, tapi tidak tertuang dalam RTRW. RTRW, RDTR dan zoning tidak bisa menjawab, padahal masalah harus segera diselesaikan. Pengacara biasa tidak mengerti tata ruang.

Pengadilan Tata Ruang, pengacaranya bisa dari profesi mana saja. Bayangkan BKPRD dengan metode trias politika (ada eksekutif, legislatif dan yudikatif). Yudikatif tidak boleh bermain di Tata Ruang. UU no 26 tahun 2007 belum dilengkapi lembaga yudikatif. BKPRD yang sudah dirombak, bisa jadi cikal bakalnya. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu full menggunakan APBD untuk membangun infrastruktur. Pada titik ini, UU no.26 tahun 2007 perlu direvisi sekaligus disatukan dengan UU no 27 tahun 2007. Daripada, DKP bingung menerapkannya.

UU no 27 tahun 2007 memang bagus, tapi nyatanya ketika daerah berbuat seenaknya membuat aturan turunannya, kita akan mengacu ke mana ? (jadinya seperti macan kertas). PU juga tidak tahu. Induknya tidak jelas. Atau Tata Ruang dikeluarkan dari PU, dialihkan ke badan nasional semacam BKPRN? http://www.bkprn.org. Apakah persidangannya di sana ? Apakah harus seperti itu, tentunya perlu kajian lebih mendalam. (“Tata Ruang” ed.6/2010)

30 Jul 2010

Lalu Lintas Makin Macet? Becak Udara, Kereta Api, RHK Motor, Asuransi Parkir & Belantara Reklame.

Lalu lintas sepi di Jalan Asia Afrika, Bandung, sekitar pukul 7 pagi, Andai kita bisa menghirup udara segar begitu keluar ruangan, tanpa harus jauh2 ke luar kota. Alangkah bahagianya. Transportasi massal, bike to work, bisa menjadi salah satu cara mewujudkannya.

Malas keluar rumah ? Sebagian orang Bandung mengeluhkan jalanan macet yang tidak hanya weekend dan peak hour saja, sekarang. Tapi tiap hari, dari pagi sampai malam. Gemasnya, antri hampir di setiap perempatan dan ruas jalan yang dilalui. Menguras tenaga, waktu, BBM dan kesabaran. Tua di jalan. Kalau orang Bandung saja sudah malas, apalagi orang dari luar (saya belum mendengar ada yang berwisata ke Bandung demi menikmati kemacetan Kota Bandung). Bandung menjadi tidak kompetitif lagi. Mau ke mana-mana susah. Mungkinkah Bandung ditinggalkan, jika orang sudah bosan dijebak kemacetan? 

Tahun 2014, atau 3 tahun lagi dari sekarang (yang lebih optimis, mengatakan 5 tahun) kendaraan akan stuck. Stagnan. Macet total. Tak bisa bergerak. Kalau kita tak melakukan tindakan besar untuk mencegah ‘kematian’ kota ini. Ibarat plak di pembuluh arteri jantung yang sudah menumpuk, mengeras, lalu terjadi stroke. Silent death. 

Anda bayangkan saja, 17 % pertumbuhan kendaraan di Bandung, sedangkan penambahan ruas jalan hanya 1 %. Tidak seimbang. Sebanyak 1.131.406 kendaraan berjubel di Bandung. (800 ribu sepeda motor, 300 ribu mobil, 285 ribu kendaraan pribadi, 45 ribu kendaraan umum). Perbandingan angkutan umum dengan mobil pribadi, dulu 60 : 40. Kini kebalikannya, 40 : 60. Sebanyak 60-70 % kendaraan yang masuk Bandung berasal dari Jakarta (berplat B). 

Di Jakarta sendiri, yang mengalami kemacetan tak kalah parah, terus ditambah 2000 kendaraan tiap harinya. Saat ini,  9 juta kendaraan yang menyesaki jalanan Jakarta. Melihat sejarahnya, Kota Bandung dirancang Thomas Karsten untuk 300 ribu jiwa dengan fungsi residen (hunian). Kenyataan sekarang, dipadati 2 juta orang, untuk fungsi komersial juga. Plus komuter, menjadi 3 juta pada siang hari. Pantas berjubel. Becak udara berpenumpang 20, solusi kemacetan Bandung ?
 

Kenyataan hari ini, Bandung macet, dan kian menjadi-jadi. Tidak kenal hari libur atau pun jam2 puncak, macet siap menjebak anda, hampir di tiap ruas jalan. Kapan saja. 3 tahun lagi, Bandung akan berhenti berdetak, jika tak ada upaya besar dan dramatis untuk menangani kemacetan dan menghentikan laju pertumbuhan kendaraan. 1 juta kendaraan, dan terus bertambah 17 % tiap tahun ? 1 dari 2 orang memiliki kendaraan.

Orang Perancis merasa salut dengan ketabahan orang Bandung dengan lalu lintas seperti ini setiap hari (ia sendiri stres menjalani kemacetan ini). Menekuri jengkal demi jengkal jalan, waktu demi waktu. Anda merasa tabah ? Atau hopeless ? Bule ini menawarkan moda transportasi massal seperti monorel dan cable car ( kereta gantung). Teknologi kereta yang dicapai hari ini sudah memungkinka  membawa 20 orang per unit. (masih membayangkan becak di udara berpenumpang lebih dari 2 orang seperti di kawasan wisata bersalju, pegunungan Alpen ?). Cable car ini misalnya bisa diletakkan di Bandung Utara, Alun-alun, Jalan Dago dan Jalan Sudirman yang sering macet. Tidak terlalu memakan tempat dibanding monorel, katanya. Studi tentang ini sudah dilakukan sejak tahun 2009.

Para mahasiswa mengusulkan sistim sewa sepeda. Dari ITB ke Unpad, atau kampus2 lainnya. Anak muda sudah bersedia ngaboseh seperti mang becak dari satu tempat ke tempat lainnya (demi lancarnya lalu lintas dan segarnya udara Bandung). Di pinggiran kota Bandung disediakan kantong2 parkir bagi kendaraan dari luar Bandung. Kalau mau hilir mudik di dalam Kota Bandung dipersilakan menggunakan transportasi massal (disediakan yang aman, nyaman, terjangkau, minimal seperti di Yogya). Rel kereta masih menjulur di berbagai lokasi di Bandung, tinggal direvitalisasi dengan keretanya. Kereta Parahyangan rise up again ? Bangkit lagi, kali ini melayani rute dalam Kota Bandung. Isn’t that cool ? Back to the train. Naik kereta api, tut, tut, tut …

 

Halte busway Yogya dekat Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bandung, kapan menyusul ? Sekarang masih darurat, berupa tenda. Transportasi massal menjadi keharusan, untuk mengurangi kepadatan lalu lintas. Bandung harus tetap bernafas. Keluar pagar rumah sudah dijemput angkutan massal yang nyaman. Dengan satu tiket sampai ke tujuan. Hmm..

Reklame megatron di depan Kantor Pos Besar Jl.Asia Afrika, Bandung. Karena keterbatasan dana untuk membangun jembatan penyeberangan, pemkot terkadang menggandeng swasta. Jadilah, pesan sponsor sebagai kompensasinya, tertayang. Yang ini masih mendingan, karena penyeberang tidak sampai tertutup reklame, sehingga aksi kriminal bisa dihindari. Cuma, rada curam menaiki anak tangganya. Di Dago, bahkan hilang railingnya. Setengah akrobatik melaluinya. Anginnya wuss, wuss .. ketika di jalan, mari kita lihat belantara reklame di Bandung, apakah masih mengikuti ketentuan? Menurut Perda no.20 tahun 2009 ( Perubahan Perda no.02 tahun 2007 ), 7 kawasan bebas reklame (tak boleh dipasangi papan reklame) di Bandung adalah Jl. Asia Afrika, Braga, RAA Wiranatakusumah, Pajajaran, Ir.H.Juanda ( Dago ), Dr. Junjunan dan Jl.Pasteur. UU no.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terutama Pasal 3 (c) berbunyi, terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. 

Penambahan 17 ruas jalan untuk reklame jenis bando, di Jl.Sunda (1 buah), Jl.Suniaraja (2 buah), Jl.Surya Sumantri ( 3 ), Jl.Gardujati ( 2 ), Jl.Gatot Subroto ( 5 ), Jl. Ahmad Yani (1), Jl.Oto Iskandardinata ( 2 ), Jl. Veteran ( 2 ), Jl. Lengkong Kecil (1), Jl. Naripan (1), Jl.Dipatiukur (2), Jl.Wastukancana ( 1 ), Jl.Aceh ( 1 ), Jl.Kiaracondong ( 1 ), Jl.Jakarta ( 1 ), Jl.Astanaanyar ( 1 ) dan  Jl.Pungkur ( 1 ). Kuota reklame jenis bando di 24 ruas jalan lainnya : di Jl. Laswi ( 2 buah ), Jl.Pelajar Pejuang ( 2 ), Jl.BKR ( 2 ), Jl. Peta ( 2 ), Jl. Jamika ( 2 ), Jl.Moch Toha ( 2 ), Jl.Pasir Koja ( 2 ), Jl.Terusan Pasir Koja ( 2 ), Jl.Kopo ( 2 ),  Jl.Terusan Buah Batu ( 3 ), Jl.Buah Batu ( 4 ), Jl.Kebon Kawung ( 2 ), Jl.Pasir Kaliki ( 5 ), Jl. Sukajadi ( 6 ), Jl.Dr.Setiabudi ( 5 ), Jl.Cihampelas ( 6 ), Jl. Kebonjati ( 2 ), Jl.RE.Martadinata ( 5 ), Jl.Terusan Jakarta ( 2 ), Jl.Ujung Berung ( 5 ), Jl.Jend.Sudirman ( 6 ), Jl.Surapati ( 3 ), Jl.PHH. Mustopha ( 3 ) dan Jl.Merdeka ( 1 buah )

Konsep Penataan Kota, Tidak Jelas

Belum dilaksanakannya, model pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, mengakibatkan kota menjadi semrawut dan cenderung menyalahi penataan ruang yang sebelumnya telah ditetapkan bersama antara eksekutif dan legilatif. Butuh waktu lama untuk mendesain kembali (redesign) karena banyaknya bangunan yang telah berdiri.


Hal itu dikemukakan Instiawati Ayus SH MH, Anggota DPD asal Riau kepada politikindonesia.com, usai mengikuti dialog “Suara Daerah” di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (22/03).

Lebih jauh lagi, Intsiawati yang akrab dipanggil Iin itu menilai, semrawutnya pembangunan perkotaan juga diakibatkan tidak konsekwennya eksekutif dan legislatif dalam penerapan kebijakan. “Mereka yang menyusun perencanaan tata ruang, tetapi mereka pula yang melanggarnya,” ujar Iin.

Kondisi ini diperparah, katanya, karena UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tidak memberikan sanksi tegas terhadap aparat pemerintah yang melanggarnya. Akibatnya, kesemrawutan pembangunan perkotaan tak dapat dihindarkan. “Ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia.”

Mantan Ketua Bidang Hukum dan HAM Persatuan Perempuan Peduli Melayu, Riau itu, melihat konsep pembangunan antarkota belum terintegrasi. Idealnya, satu kota dibangun, tidak mengesampingkan atau bahkan mengabaikan pembangunan di wilayah sebelahnya. Wanita kelahiran Bengkalis, Riau 4 Mei 1968 itu menyontohkan, banjir di Jakarta diakibatkan konsep pembangunan di kawasan Jabodetabek (Jakarta Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi) yang tidak terintegrasi dengan baik.

Senator perempuan selama dua periode itu menambahkan, pasca pengesahan UU Penataan Ruang, DPD telah merekomendasikan 12 Peraturan Pelaksanan (PP). Namun hingga saat ini belum seluruhnya direalisir.  Karena itu tak mengherankan jika antara perencanaan dan pelaksanaan pembangunan seringkali tidak nyambung.

Lulusan S-2 Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia itu juga mengingatkan RUU tentang Perumahan dan Permukiman, juga tidak dapat dilepaskan dengan implementasi UU Penataan Ruang. Karena itu ia meminta agar penerapan sanksi terhadap pelanggar UU Penataan Ruang harus benar-benar efektif. Pemerintah juga perlu terus didorong untuk membuat grand design Penataan Ruang.

Sulit dan Kompleks
Yasti S Mokoagow, Ketua Komisi V DPR dalam wawancara khusus dengan politikindonesia.com pada Selasa (08/06) lalu mengakui menerapkan penataan ruang di Indonesia ibarat mengurai benang kusut. Sulit dan kompleks.

Yang paling krusial menurutnya adalah sinkronisasi terhadap pelaksanaan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No.26/2007. Pasal itu mensyaratkan,  penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah NKRI yang rentan terhadap bencana. “Itu yang susah,” ujarnya.

Soalnya, banyak sekali pembangunan infrastruktur yang tidak mengacu pada ketentuan dimaksud. Dan jika ketentuan tersebut diterapkan secara tegas, maka bangunan-bangunan yang tidak sesuai, harus dibongkar. “Ini bukan pekerjaan mudah. Tugas Kementerian Pekerjaan Umum, sangat berat,” ujar wanita kelahiran Manado, 8 Maret 1986 itu.

Yasti menegaskan, penataan ruang memiliki peran strategis dalam penanggulangan dan mitigasi bencana. Terkait hal itu, lulusan S-1 FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado itu menekankan perlunya koordinasi antara Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian PU dengan pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota.

Koordinasi tersebut menjadi penting mengingat masih banyak kabupaten/kota yang belum melakukan revisi tata ruang. Beberapa diantaranya sedang melakukan revisi. Sebagian lainnya, dalam tahap persetujuan.

DKI Diminta Terapkan Pengaturan Wilayah Dalam Penataan Kota


Untuk menjadikan wajah kota Jakarta lebih tertata rapi dan tidak terjadi tumpang tindih peruntukan lahan dalam penataan kota, Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK) DKI Jakarta mengusulkan, agar Pemerintah Provinsi DKI segera menerapkan sistem zoning regulation (pengaturan wilayah).

Penerapan sistem dilakukan agar penataan ruang di Jakarta lebih teratur, mempunyai karakteristik khusus dan mempermudah pengawasan terhadap suatu kawasan menurut peruntukkan zona. Selain itu juga untuk lebih mempermudah pelaksanaan penindakan atas pelanggaran yang dilakukan.

Anggota TPAK DKI Danisworo, menjelaskan penerapan sistem zoning regulation juga untuk mengatur pendirian tempat usaha di suatu kawasan, agar dapat bersaing dengan sehat. Sehingga pengembang ataupun warga tidak bisa sembarangan dalam membangun di sebuah kawasan. “Artinya, tidak mematikan usaha satu dengan lainnya dalam satu wilayah yang sama,” kata Danisworo di Jakarta, Jumat (9/4/10).

Ia berharap, dengan adanya sistem ini, permasalahan kota baik secara fisik maupun sosial bisa diselesaikan secara beriringan. Selain itu, dengan karakteristik tersebut, akan lebih cepat memberikan pelayanan kepada warga. Juga dapat mengatur peruntukan lahan dan bangunan yang ada, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih baik pada lingkungan sekitarnya. Semua dilakukan agar Jakarta dapat lebih nyaman dan sejahtera bagi warganya.

Usulan tersebut disampaikan, karena TPAK melihat sistem penataan ruang yang sekarang ini masih belum terpadu. Misalnya, dalam sebuah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan komersil, karena tidak ada zoning regulation maka semua jenis usaha berlomba-lomba dibangun di kawasan itu. Hal tersebut bisa menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan terjadi saling mematikan usaha satu dengan lainnya.

“Apalagi dengan luas Jakarta yang cukup besar dan sangat kompleks, maka penerapan sistem zoning regulation ini mendesak untuk diterapkan,” ujarnya. Sebab selama ini, perencanaan kota cenderung berjalan sendiri-sendiri, sehingga kurang adanya sinergi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya ataupun antara sektor formal dan informal yang umumnya berdiri masing-masing.

Ketua TPAK DKI Gunawan Cahyono mengungkapkan, Kota Jakarta mempunyai potensi besar untuk menjadi kota jasa terbesar di Indonesia dan dunia. Untuk mencapai itu, Jakarta harus menyediakan beragam sarana dan prasarana yang dibutuhkan, terutama dari segi infrastruktur seperti jalan, transportasi, dan komunikasi.

“Tetapi Jakarta tidak bisa hanya mengandalkan penampilan fisik, kota ini juga perlu memerhatikan masalah lingkungan dan budaya yang ada. Agar memiliki ciri khas sebagai kota modern, namun berbudaya dan ramah lingkungan, sesuai dengan komitmennya menjadikan Jakarta sebagai kota yang hijau,” terangnya.

Jika pembangunan fisik, budaya, dan lingkungan di Jakarta sudah bisa dilakukan secara sinergi, maka DKI mampu bersaing dengan kota-kota besar di dunia lainnya.

Menanggapi usulan tersebut, Kepala Dinas Tata Ruang DKI Wiriyatmoko menegaskan, penataan ruang di Jakarta memang sedang diarahkan ke dalam sistem tersebut supaya lebih memiliki karakteristik tersendiri di masing-masing kawasan. Langkah itu sudah mulai dilakukan dengan memberikan kewenangan masing-masing wilayah untuk mengembangkan kawasannya. Agar masing-masing kawasan memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan kawasan lainnya. (Sumber: beritajakarta.com)

Konflik PKL Dalam Penataan Kota

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan dalam tanyangan televisi atau media massa di beberapa daerah dan kota besar upaya penataan kota sering kali terlihat konflik fisik antara aparat pemerintah dengan pedagang kaki lima (PKL) atau pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat penertiban ataupun penataan kota.


Konflik fisik yang kerap terjadi menimbulkan kerugian material dan non material bagi kedua belah pihak. Hal ini tentu sangat disayangkan karena hal tersebut bertentangan dengan amanat pembukaan UUD 1945.

Penertiban ataupun penataan kota dilakukan oleh pemerintah dalam rangka upaya penataan kota agar tempat-tempat umum terlihat rapi, nyaman, aman dan kondusif sehingga sumua elemen masyarakat dapat menikmati suasana perkotaan yang indahh, nyaman dan aman . Hal ini seringkali berlawanan dengan kepentingan pedagang dalam hal ini pedagang kaki lima (PKL) dimana aspek ekonomi menjadi satu-satunya alasan tempat umum tersebut dijadikan areal perdagangan.


Dua sisi mata uang
Upaya penataan kota yang dilakukan pemerintah dilaksanakan guna mencipatakan lingkungan perkotaan yan rapi, indah dan nyaman bagi kepentingan masyarakat. Sedangkan bagi pedagang kaki lima (PKL) tempat yang dinilai strategis tentunya tempat-tampat yang ramai dilewati oleh masyarakat sehingga pedagang kaki lima (PKL) mendapatkan keuntungan dari hasil perdagangannya.

Ibarat dua sisi mata uang yang berbeda, penataan kota yang dihadapkan pada dua sisi yakni keindahan, kenyamanan dan ketertiban serta sisi ekonomi bagi para pedagang kaki lima (PKL).

Rawan Konflik
Adanya tugas dan kewenangan pemerintah dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang nyaman, asri dan indah disatu sisi dan kepentingan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga pedagang kaki lima seringkali menimbulkan konflik.

Seringkali pemerintah dianggap tidak manusiawi, tidak pro pedagang kecil dan berbagai kecaman yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang dirugikan akibat penggusuran yang kerap terjadi di perkotaan besar. Tak jarang konflik ini menimbulkan bentrokan fisik antara PKL dan aparat pemerintah. Tentunya hal ini harus dapat dicegah agar tercipta suasana yang nyaman dan kondusif sehingga pembangunan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Tindakan preventif konflik
Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tentunya telah menyerap aspirasi masyarakat dari berbagai elemen untuk meminimalkan aspirasi masyarakat yang tidak terakomodir. Dalam hal rencana tata ruang dan tata wilayah kota pemerintah tentunya telah memiliki blue print rencana pengembangan tata kota dan tata wilayah yang tentu harus segera dilaksanakan. Disisi yang lain para pedagang yang telah terlanjur menempati suatu tempat tentunya telah nyaman karena telah menikmati keuntungan financial dari hasil pernigaannya.

Agar tidak terjadi benturan kepentingan, pemerintah dapat mensosialisasikan program-programnya kepada pihak-pihak yang berkaitan dan khususnya kepada masyarakat. Kegiatan pensosialisasian ini tentunya memerlukan waktu, tenaga dan kearifan tentunya karena masyarakat pedagang memiliki tingkat pendidikan, pemahaman dan kearifan yang berbeda-beda, sehingga sasaran dan target menjadi jelas, terbuka dan dapat diterima oleh semua pihak.

Bagi para pedagang tentunya harus dapat legowo dan berbesar hati untuk mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan suasana kota yang aman, nyman dan asri untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat. Pedagang adalah bagian kelompok masyarakat yang memiliki peran penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, peran penting ini seyogyanya dapat menjadi sinergi bagi pemerintah untuk memajukan perekonomian suatu wilayah.

Pemerintah dan pedagang tentunya dapat duduk bersama untuk membahas upaya penataan kota yang pas sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Dalam arti pedagang mendapatkan keuntungan dari hasil perniagaan dan pemerintah dapat mewujudkan suasana perkotaan yang nyaman, aman dan tentram serta roda perekonomian masyarakat yang berjalan lancar.

Perbedaan pendapat yang mungkin terjadi harus dapat diimbangi dengan kebesaran hati dan komitmen bersama untuk memajukan daerah untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana bagi pemerintah dan masyarakat pedagang.

Dalam proses pensosialisasian program tersebut pemerintah pasti akan mendapat input dari masyarakat pedagang dan kelompok masyarakat yang tentunya dapat menjadi feed back bagi kemajuan bersama. Apa dan bagaimana keinginan pedagang kaki lima dapat didengar olah pemerintah. Begitu pula dengan program pemerintah untuk mewujudkan suatu wilayah kota yang aman, nyaman dan asri dapat dipahami oleh masyarakat pedagang kaki lima untuk dapat bekerjasama dengan pemerintah mewujudkan visi misi pemerintah.

Hal ini tentu akan lebih baik hasilnya daripada terjadi konflik yang akan menimbulkan kerugian dikedua belah pihak baik materil maupun non materil, dan yang pasti dengan dapat dihindarinya konflik yang berujung dengan bentrokan fisik masyarakat pedagang kaki lima merasa aman dalam melaksanakan bisnisnya serta merasa terayomi dan pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat bukan hanya sebagai slogan belaka tetapi benar-benar terwujud dalam kehidupan yang nyata.
-----------------------------
Oleh Ahmad Supartono

Strategi Mengerem Laju Perkumuhan

Tahun ini, Hari Habitat Dunia mengambil tema “Planning Urban Future” atau “Merencanakan Masa Depan Perkotaan Kita”.

Peringatan itu ditandai dengan pemberian penghargaan oleh Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum bagi kota-kota yang berhasil melakukan inovasi dan kreatif dalam mengurangi perumahan kumuh.


Penilaian diberikan oleh para akademisi, anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan anggota Real Estat Indonesia (REI).

Ada sembilan kota yang dinilai berhasil mengurangi jumlah perumahan kumuh di kota-kota itu. Ke-9 kota itu, yakni Surakarta, Pekalongan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Blitar, Balikpapan, Bontang, dan Tarakan.


1. Pekalongan
Pekalongan sebelumnya dikenal sebagai salah satu kantong kemiskinan di Tanah Air. Hal itu ditandai dengan banyaknya rumah tidak layak huni, seperti tidak berjendela, tidak memiliki sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK).

Sebelum 2006, ketika program rehabilitasi belum diterapkan, terdapat 5.068 unit rumah tidak layak huni di Pekalongan.

Namun kini, kondisinya telah berubah. Rumah-rumah tidak layak huni itu satu paket dengan lingkungannya telah direhabilitasi. Bahkan, program rehabilitasi yang rencana awalnya rampung pada 2014, bisa dipercepat menjadi tahun 2008.

Penyelesaian persoalan permukiman kumuh tidak berhenti sampai pada program rehabilitasi. Pemerintah Kota Pekalongan menjalankan pula program akselerasi keluarga miskin.

Program itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup warga yang telah mengikuti program rehabilitasi. Menurut M Basyir, Wali Kota Pekalongan, penanganan masyarakat miskin harus dimulai dari program rehabilitasi perumahan kumuh yang didiami warga.

Dia meyakini apabila warga hidup bahagia, maka produktivitas mereka akan meningkat sehingga penghasilan mereka pun akan lebih baik.

Karena keberhasilan program-program yang dijalankan, saat ini salah satu kota sentra batik Nusantara itu sering dijadikan studi banding oleh daerah lain.

Sunarti, dosen jurusan perencanaan wilayah dan kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, yang juga terlibat sebagai dewan juri mengatakan Kota Pekalongan dapat melakukan rehabilitasi perumahan kumuh karena memunyai data-data mengenai jumlah rumah kumuh dan penduduk miskin.

Meskipun terbilang sederhana, data-data itu dapat dipakai sebagai referensi untuk menjalankan rehabilitasi.

Pemerintah Kota Pekalongan juga mendirikan Badan Pemberdayaan Masyarakat yang berperan aktif dalam mengurusi permasalahan ini yang dapat bekerja lintas sektoral.

Keberhasilan program ditunjang pula karena adanya sinergi antara pemerintah dengan keinginan masyarakat.


2. Solo
Daerah lain di Jawa Tengah yang berhasil mengikuti jejak Pekalongan dalam merehabilitasi permukiman kumuhnya ialah Kota Solo atau Surakarta.

Kota itu berhasil mengurangi perumahan kumuh dan lingkungan kumuh. Melalui tangan dingin Wali Kota Solo Joko Widodo, perumahan kumuh di bantaran Kali Pepe ditata ulang.

Permukiman di sepanjang kali dimundurkan dan di pinggirnya dibuat jalan inspeksi.

Perumahan itu kemudian dilegalkan melalui pemberian surat-surat resmi. Masyarakat diberi subsidi untuk memperbaiki rumah dan fasilitas sanitasi mereka.

Bukan hanya di Kali Pepe, semua kawasan kumuh di kota itu juga ditata ulang. Penataan ulang juga berlaku terhadap tempat-tempat berjualan para pedagang kaki lima yang selama ini menambah kekumuhan kota.

Melalui pendekatan personal, wali kota secara langsung meminta para pedagang di pinggir-pinggir jalan kawasan Banjasari pindah dengan suka rela.

Setelah 50 kali pertemuan antara wali kota dengan para pedagang dari beberapa wilayah, seperti Taman Monjari, Pasar Notoharjo, dan Semanggi, mereka pun bersedia pindah tanpa harus digusur paksa atau kucing-kucingan dengan aparat.

Wali kota pun berkomitmen kepada para pedagang untuk membatasi penambahan mal dan minimarket. Kebijakan yang berpihak pada wong cilik itu tentu saja mendapat respons positif dari para pedagang.

Sunarti menyatakan keberhasilan Surakarta dalam membenahi permukiman kumuh tidak Solo tidak terlepas dari peran pemimpin daerahnya. Wali kota mampu melakukan pendekatan persuasif kepada warga.

Dialog yang positif dan terbuka serta pendekatan personal terbukti mampu menjembatani kesepahaman antara warga dan pemerintah.

Menurut Sunarti, pendekatan personal seperti yang dilakukan Wali Kota Solo patut dicontoh oleh pemimpin daerah lainnya. Pemimpin sejatinya dekat dengan rakyat dan melayani kepentingan rakyat.

Tambahan:
Dari sumber yang bisa saya percaya, dalam sebuah seminar tentang keberhasilan Kota Surakarta dalam menata permukiman kumuh, dilakukan dengancara mengundang para masyarakat "sasaran" sampai dengan 50 kali. Acara ke-1 sampai dengan ke-49 berupa acara makan makan dan tanpa diberikan penejelasan kepada warga tentang maksud undangan walikota kepada warga, kecuali acara makan makan. Sampai dengan acara yang ke-50, setelah terlebih dulu diadakan acara makan-makan, Walikota menyampaikan maksud dan tujuan sebenarnya. Dalam kondisi perut kenyang dan rasa kekeluargaan antara Walikota dan warga yang telah tercipta melalui acara ke-1 sampai dengan acara ke-49, akhirnya warga dengan ikhlas menyetujui keinginan Walikota.


3. Palembang
Palembang termasuk kota yang berhasil menyulap permukiman kumuhnya menjadi permukiman layak huni.

Pemerintah kota, melalui wali kotanya, Eddy Sanatana Putra, berhasil mengubah wajah ibu kota Bumi Sriwijaya itu menjadi kawasan yang enak dipandang.

Melalui pelaksanaan Program Kali Bersih, bantaran sepanjang Sungai Musi ditata dengan baik demi terwujudnya kawasan yang rapi, indah, dan nyaman.

Jembatan Ampera sepanjang 1.117 meter dengan lebar 22 meter sebagai ikon kota pempek itu juga diperbaiki sehingga tampak anggun. Begitu juga benteng peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang letaknya berdampingan dengan Jembatan Ampera.

Usaha rehabilitasi dan perbaikan permukiman kumuh di Palembang melibatkan partisipasi warga. Warga yang rumahnya terkena program rehabilitasi dipindahkan ke kawasan lain.

Pemerintah Kota Palembang menyediakan kawasan siap bangun (kasiba) dan lahan siap bangun (lasiba) bagi keluarga yang rumahnya terkena program tersebut.

Sejak 2004, pemkot berangsur-angsur merencanakan penataan wilayah perkotaan secara berkesinambungan.

Pada 2007, kota dengan wilayah seluas 353.800 kilometer persegi itu bahkan dikukuhkan sebagai kota tebersih se-ASEAN. Kota itu dinilai memiliki area pasar, permukiman, pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan yang tertata dengan rapi dan bersih.

Kebijakan dan Strategi Nasional Penataan Lingkungan Pemukiman Kumuh

Perkembangan lingkungan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena fakor pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini lebih disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah perdesaan dan perkotaan, sehingga memunculkan adanya daya tarik kota yang dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat perdesaan atau luar kota, sementara latar belakang kapasitas dan kemampuan para pendatang sangat marjinal.


Seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan prasarana dan sarana permukiman akan meningkat pula, baik melalui peningkatan maupun pembangunan baru. Selanjutnya pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman ba ik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah, sehingga kapasitas daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada mulai menurun yang pada gilirannya memberikan konstribusi terjadinya lingkungan permukiman kumuh.

Lingkungan permukiman kumuh di perkotaan di Indonesia merupakan permasalahan yang sangat kompleks, diantaranya adalah permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan dan kesenjangan serta ketidak disiplinan sosial maupun yang menyangkut kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan Kota/Kabupaten dalam pengaturan, pengorganisasian spasial maupun sumberdaya yang dimiliki kota sesuai hakekat fungsi kota.

Lingkungan Permukiman Kumuh Sebagai Isu Global.

Lingkungan permukiman kumuh tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga berlangsung hampir diseluruh negara berkembang di Asia dan Afrika, menurut publikasi World Bank (1999) lingkungan permukiman kumuh digambarkan sebagai bagian yang terabaikan dari lingkungan perkotaan dimana kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan, yang diantaranya ditunjukkan dengan kondisi lingkungan hunian yang tidak layak huni, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sarana dan prasarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat, tidak tersedianya fasilitas pendidikan, kesehatan maupun sarana dan prasarana sosial budaya kemasyarakatan yang memadai.

Kekumuhan lingkungan permukiman cenderung bersifat paradoks, bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut, kekumuhan adalah kenyataan sehari-hari yang tidak mereka masalahkan, sedangkan di pihak lain yang berkeinginan untuk menanganinya, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang perlu segera ditanggulangi penanganannya.

Dari fenomena tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus secara sinergis melibatkan potensi dan eksistensi dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik pemerintah maupun masyarakat; dimana dari pihak pemerintah meliputi Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota; sedangkan dari pihak masyarakat meliputi masyarakat sendiri selaku penerima manfaat, masyarakat selaku pelaku dunia usaha maupun pelaku kunci lainnya seperti pemerhati, kelompok swadaya masyarakat, cerdik cendiawan dan sebagainya.

Dampak Dari Masalah Lingkungan Permukiman Kumuh

Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi dimensi diantaranya dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan , tatanan sosial budaya, lingkungan fisik serta dimensi politis.

Di bidang penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan lingkungan permukiman kumuh memberikan dampak citra ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan bahkan ketidakpedulian pemerintah terhadap pengaturan pelayanan kebutuhan-kebutuhan hidup dan penghidupan warga kota maupun pendatang dan pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial budaya, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.

Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi pada umumnya termasuk golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya degradasi kedisiplinan dan ketidaktertiban dalam berbagai tatanan sosial kemasyarakatan.

Di bidang lingkungan/hunian komunitas penghuni lingkungan permukiman kumuh sebagian besar pekerjaan mereka adalah tergolong sebagai pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar / kuli bangunan, sehingga pada umumnya tingkat penghasilan mereka sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman sehingga mendorong terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya munculnya permukiman kumuh.

Keberadaan komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh ini akan cenderung menjadi lahan subur bagi kepentingan politis tertentu yang dapat dijadikan sebagai alat negosiasi berbagai kepentingan. Fenomena ini apabila tidak diantisipasi secara lebih dini akan meningkatkan eskalasi permasalahan dan kinerja pelayanan kota.

Upaya Penanganan Yang Telah Dilaksanakan

Upaya penanganan permukiman kumuh telah diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, yang menyatakan bahwa untuk mendukung terwujudnya lingkungan permukiman yang memenuhi persyarakatan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan permukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sanggat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasaranan lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai lingkungan permukiman kumuh yang tidak layak huni dan perlu diremajakan.

Penanganan peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang diatur dalam Inpres No. 5 tahun 1990, tentang pedoman pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh diatas tanah negara dinyatakan bahwa pertimbanga n peremajaan permukiman kumuh adalah dalam rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang berada di atas tanah negara.
Peremajaan permukiman kumuh dalam Inpres 5/90 tersebut adalah meliputi pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas rumah susun serta bangunan-bangunan lain sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Untuk mempercepat pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh tersebut, perlu didorong keikutsertaan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan dan Perusahaan Swasta serta masyarakat luas yang pelaksanaannya perlu dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.

Selanjutnya kebijakan penanganan permukiman kumuh sesuai Surat Edaran Menpera No. 04/SE/M/I/93 tahun 1993, dinyatakan bahwa perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan serta tidak memenuhi persyaratan ekologis dan legal administratif yang penanganannya dilaksanakan melalui pola perbaikan/ pemugaran, peremajaan maupun relokasi sesuai dengan tingkat/ kondisi permasalahan yang ada.

Tujuan Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh

Tujuan penanganan kegiatan ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh terutama golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah melalui fasilitasi penyediaan perumahan layak dan terjangkau dalam lingkungan permukiman yang sehat dan teratur; serta mewujudkan kawasan permukiman yang ditata secara lebih baik sesuai dengan peruntukan dan fungsi sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota.

Disamping itu melalui kegiatan ini diharapkan mampu mondorong penggunaan dan pemanfaatan lahan yang efisien melalui penerapan tata lingkungan permukiman sehingga memudahkan upaya penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar kawasan permukiman di daerah perkotaan.

Pendekatan Pembangunan Yang Bertumpu Kepada Masyarakat

Pengembangan perumahan dan permukiman di Indonesia diprogramkan sebagai tanggung jawab masyarakat sendiri yang diselenggarakan secara multi sektoral dengan menempatkan peran pemerintah sebagai pendorong, pemberdaya dan fasilitator dalam upaya memampukan masyarakat dan mendorong peran aktif dunia usaha melalui penciptaan iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
Komunitas masyarakat kumuh adalah sebuah komunitas utuh, yang potensial lengkap dengan pola organisasi, kepemimpinan, wilayah, kepentingan yang terbentuk dengan proses. Dengan latar belakang tersebut, maka misi yang dilaksanakan dalam penanganan lingkungan permukiman kumuh adalah melakukan pemberdayaan masyarakat, menciptakan, memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dan membuka akses sumber daya dan informasi serta mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

Implementasi dari konsep pemberdayaan masyarakat disini adalah penyelenggaraan pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat yaitu suatu proses peningkatan peluang kesempatan mandiri dan bermitra dengan pelaku pembangunan yang lain. Proses pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat merupakan suatu proses yang spesifik sesuai dengan karakter masyarakatnya, yang meliputi tahapan identifikasi karakter komunitas, identifikasi permasalahan, perencanaan, pemrograman mandiri, serta pembukaan akses kepada sumber daya dan informasi.

Pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi untuk masyarakat perlu diubah menjadi membangun bersama masyarakat. Persoalannya adalah terletak kepada bagaimana menyiapkan dan menciptakan kondisi masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan.
Dalam rangka menggali potensi komunitas masyarakat, maka peran pendampingan oleh tenaga pendamping/fasilitator adalah sangat strategis. Pendampingan masyarakat merupakan suatu hubungan setara antara masyarakat dengan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan profesional, kepedulian dan menerapkan kaidah kesadaran, keswadayaan, kawajaran didalam proses pendampingan yang dibutuhkan masyarakat dalam memberdayakan pengetahuan mengenai kemasyarakatan, metodologi pendekatan kepada masyarakat dan kemampuan subtantif spesifik yang dibutuhkan dalam sasaran pemberdayaan yang menjadi pilihan masyarakat, misalnya penguasaan terhadap subtansi pengembangan usaha ekonomi mikro, serta kemampuan untuk membuka akses terhadap sumberdaya dan informasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan kepedulian adalah keberpihakan kepada masyarakat yang didasari oleh kebenaran, penyediaan waktu dan kesiapan diri untuk memahami bahasa komunikasi dan budaya kerja dari masyarakat yang didampingi.

Konsepsi Penanganan

Kegiatan penataan lingkungan kumuh ini menerapkan konsep dasar Tridaya yang meliputi aspek penyiapan masyarakat melalui pemberdayaan sosial kemasyarakatan, pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman serta pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi lokal/masyarakat.

Dalam penerapannya, kegiatan ini menggunakan pemberdayaan masyarakat sebagai inti gerakannya, dengan menempatkan komunitas permukiman sebagai pelaku utama pada setiap tahapan, langkah, dan proses kegiatan, yang berarti komunitas pemukim adalah pemilik kegiatan. Pelaku pembangunan diluar komunitas pemukim merupakan mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pendukung yang berpartisipasi pada kegiatan komunitas pemukim.

Dengan demikian, strategi program ini menitikberatkan pada transformasi kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas melalui pembelajaran langsung (learning by doing) melalui proses fasilitasi berfungsinya manajemen komunitas. Penerapan strategi ini memungkinkan komunitas pemukim untuk mampu membuat rencana yang rasional, membuat keputusan, melaksanakan rencana dan keputusan yang diambil, mengelola dan mempertanggungjawabkan hasil-hasil kegiatannya, serta mampu mengembangkan produk yang telah dihasilkan. Melalui penerapan strategi ini diharapkan terjadi peningkatan secara bertahap kapasitas sumberdaya manusia dan pranata sosial komunitas pemukim, kualitas lingkungan permukiman, dan kapasitas ekonomi/usaha komunitas.

Seluruh rangkaian kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat dalam program penataan lingkungan kumuh ini memiliki pola dasar yang secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar kegiatan fasilitasi, yaitu pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat, pelaksanaan pembangunan serta pengembangan kelembagaan komunitas Pengorganisasian dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam rangka menempatkan masyarakat sebagai pe laku utama pembangunan, masyarakat yang terorganisasi memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan secara individual. Selain itu kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan potensinya, serta membuat rencana yang rasional juga menjadi persyaratan keberhasilan kegiatan. Oleh karenanya, fasilitasi kepada komunitas dalam pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat ini merupakan bagian dari konsep dasar khususnya dalam aspek penyiapan masyarakat dan aspek pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi dalam satu kesatuan.

Pelaksanaan Pembangunan

Dalam mengaktualkan rencananya, komunitas perlu melakukan pengorganisasian peluang dan sumberdaya kunci yang ada. Dalam kaitannya dengan fasilitasi ini, pemerintah memberikan stimulan dana kepada komunitas untuk merealisasikan rencananya terutama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh, tanpa menutup kemungkinan adanya bantuan tidak mengikat dari pihak lain.

Selanjutnya fasilitasi terhadap komunitas dilakukan untuk pengelolaan hasil pembangunan yang telah dilaksanakannya. Rangkaian fasilitasi ini merupakan bagian dari konsep dasar Tridaya, khususnya dalam aspek pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan dan aspek penyiapan masyarakat dalam satu kesatuan.

Pengembangan Kelembagaan Komunitas

Pengembangan lembaga komunitas merupakan fasilitasi tahap akhir. Dalam rangkaian kegiatannya, fasilitasi ini mengarah kepada pembuatan aturan main lembaga komunitas, formalisasi lembaga komunitas, pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas maupun lembaga komunitas, pembentukan jaringan kerja dengan komunitas lain, pemanfaatan akses sumber daya kunci pembangunan dalam rangka kemitraan, dan pembukaan akses terhadap pengabil kebijakan. Rangkaian fasilitas ini merupakan bentuk utuh dari penerapan konsep dasar Tridaya.

Arah Kebijakan Dan Strategi Penanganan

Kebijakan:
  • Mewujudkan proses transformasi kapasitas kepada masyarakat melalui pembelajaran dan pelatihan secara langsung di lapangan
  • Mendorong akses bantuan kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh
  • Meningkatkan kemampuan kelembagaan Pemerintah/Pemerintah Daerah dan kelompok masyarakat di bidang perumahan dan permukiman
  • Meningkatkan kesadaran hukum bagi para aparat Pemerintah/Pemerintah Daerah dan Masyarakat
  • Memberdayakan pasar perumahan untuk melayani lebih banyak masyarakat
  • Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana umum dan ekonomi lingkungan permukiman
Strategi:
  • Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh
  • Mendorong usaha produktif masyarakat melalui perkuatan jaringan kerja dengan mitra swasta dan dunia usaha
  • Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan permukiman kumuh
  • Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh
  • Melakukan pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial
  • Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman
Sasaran
  • Terciptanya peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat setempat yang mampu menata lingkungan perumahan mereka
  • Terciptanya pertumbuhan usaha ekomomi produktif dan keswadayaan masyarakat dalam mengembangkan lingkungan permukiman.
  • Terbangunnya perumahan dan permukiman yang layak huni 
  • Terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh
  • Tertatanya lingkungan permukiman kumuh menjadi lingkungan yang sehat, indah, aman dan nyaman 
  • Tercapainya peningkatan derajat kesehatan dan pendidikan masyarakat

Penutup Dan Tindak Lanjut

Kesadaran masyarakat bermukim yang sehat, tertib dan teratur pada umumnya masih rendah, maka dalam upaya meningkatkan kesadaran perlu terus diupayakan penggalangan potensi masyarakat melalui proses pemberdayaan.Upaya melembagakan penataan lingkungan permukiman kumuh dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama perlu terus ditumbuh kembangkan dengan mewujudkan perumahan yang layak dan terjangkau pada lingkungan permukiman yang berkelanjutan, responsif yang mendukung pengembangan jatidiri, produktivitas dan kemandirian masyarakat.
Untuk mendukung pencapaian lingkungan permukiman yang responsif tersebut maka perlu langkah konkrit untuk mendayagunakan potensi masyarakat melalui kegiatan peningkatan kualitas permukiman, penerapan tata lingkungan permukiman, pengembangan perumahan yang bertumpu kepada swadaya masyarakat, pembukaan akses kepada sumber daya perumahan dan permukiman serta upaya -upaya pemberdayaan ekonomi khususnya bagi golongan masyarakat miskin dan berpe nghasilan rendah.

Upaya pendukung yang cukup strategis adalah pemantapan kelembagaan yang mendorong terbentuknya lembaga perumahan dan permukiman yang handal dan profesional baik di lingkungan pemerintahan (Pusat, Propinsi, Kab/Kota), Badan Usaha (BUMN, BUMD dan Swasta), dan Masyarakat; serta melembaganya penyusunan RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah) sebagai bagian dari perencanaan pembangunan daerah, dimana didalamnya termasuk kegiatan penataan lingkungan permukiman kumuh secara berkelanjutan.

Penataan lingkungan permukiman kumuh perlu dikaitkan secara struktural dan fungsional dengan potensi sumber daya yang ada di kota tersebut termasuk di lingkungan permukiman kumuh itu sendiri yang implementasinya dilakukan bersama masyarakat untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Penataan lingkungan permukiman kumuh sangat strategis untuk dikembangkan sesuai potensi dan sumberdaya yang sudah dimilikinya. Pendekatan pemberdayaan masyarakat harus berorientasi kepada tercapainya kemandirian masyarakat yang bertahap dan berkelanjutan.

Penanganan masalah lingkungan permukiman kumuh tidak dapat dilakukan secara sepihak atau parsial, melainkan harus merupakan upaya terpadu yang saling mendukung dan saling bersinergi dalam mencapai sasaran manfaat yang optimal. Perlu ada kesamaan persepsi dalam penetapan sasaran, langkah dan waktu yang tepat untuk mengimplementasinya, dalam hal ini pemerintah perlu berperan sebagai fasilitator dan pemberdaya dari semua tindakan yang akan diambil. Masa depan kota sangat tergantung dari keberhasilan mencapai kehidupan masyarakat yang berimbang, kemajemukan masyarakat harus dilihat sebagai kekuatan untuk menghadapi masa depan kota yang penuh persaingan dan permasalahan yang kompleks, sehingga diperlukan perintisan pembentukan jaringan kemitraan yang saling mendukung.

Implementasi dari produk-produk pengaturan dalam penataan lingkungan permukiman kumuh yang ada pada saat ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut maka selaras dengan era Otonomi Daerah dimana masalah perumahan dan permukiman telah menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota, maka upaya penanganan lingkungan permukiman kumuh perlu terus dikembangkan konsep penangananya sesuai dengan kondisi permasalahan dan potensi lokal yang ada, yang implementasinya dilaksanakan secara multi sektoral, bertahap dan berkelanjutan.
------------------------------
Oleh : Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE