30 Jul 2010

Lalu Lintas Makin Macet? Becak Udara, Kereta Api, RHK Motor, Asuransi Parkir & Belantara Reklame.

Lalu lintas sepi di Jalan Asia Afrika, Bandung, sekitar pukul 7 pagi, Andai kita bisa menghirup udara segar begitu keluar ruangan, tanpa harus jauh2 ke luar kota. Alangkah bahagianya. Transportasi massal, bike to work, bisa menjadi salah satu cara mewujudkannya.

Malas keluar rumah ? Sebagian orang Bandung mengeluhkan jalanan macet yang tidak hanya weekend dan peak hour saja, sekarang. Tapi tiap hari, dari pagi sampai malam. Gemasnya, antri hampir di setiap perempatan dan ruas jalan yang dilalui. Menguras tenaga, waktu, BBM dan kesabaran. Tua di jalan. Kalau orang Bandung saja sudah malas, apalagi orang dari luar (saya belum mendengar ada yang berwisata ke Bandung demi menikmati kemacetan Kota Bandung). Bandung menjadi tidak kompetitif lagi. Mau ke mana-mana susah. Mungkinkah Bandung ditinggalkan, jika orang sudah bosan dijebak kemacetan? 

Tahun 2014, atau 3 tahun lagi dari sekarang (yang lebih optimis, mengatakan 5 tahun) kendaraan akan stuck. Stagnan. Macet total. Tak bisa bergerak. Kalau kita tak melakukan tindakan besar untuk mencegah ‘kematian’ kota ini. Ibarat plak di pembuluh arteri jantung yang sudah menumpuk, mengeras, lalu terjadi stroke. Silent death. 

Anda bayangkan saja, 17 % pertumbuhan kendaraan di Bandung, sedangkan penambahan ruas jalan hanya 1 %. Tidak seimbang. Sebanyak 1.131.406 kendaraan berjubel di Bandung. (800 ribu sepeda motor, 300 ribu mobil, 285 ribu kendaraan pribadi, 45 ribu kendaraan umum). Perbandingan angkutan umum dengan mobil pribadi, dulu 60 : 40. Kini kebalikannya, 40 : 60. Sebanyak 60-70 % kendaraan yang masuk Bandung berasal dari Jakarta (berplat B). 

Di Jakarta sendiri, yang mengalami kemacetan tak kalah parah, terus ditambah 2000 kendaraan tiap harinya. Saat ini,  9 juta kendaraan yang menyesaki jalanan Jakarta. Melihat sejarahnya, Kota Bandung dirancang Thomas Karsten untuk 300 ribu jiwa dengan fungsi residen (hunian). Kenyataan sekarang, dipadati 2 juta orang, untuk fungsi komersial juga. Plus komuter, menjadi 3 juta pada siang hari. Pantas berjubel. Becak udara berpenumpang 20, solusi kemacetan Bandung ?
 

Kenyataan hari ini, Bandung macet, dan kian menjadi-jadi. Tidak kenal hari libur atau pun jam2 puncak, macet siap menjebak anda, hampir di tiap ruas jalan. Kapan saja. 3 tahun lagi, Bandung akan berhenti berdetak, jika tak ada upaya besar dan dramatis untuk menangani kemacetan dan menghentikan laju pertumbuhan kendaraan. 1 juta kendaraan, dan terus bertambah 17 % tiap tahun ? 1 dari 2 orang memiliki kendaraan.

Orang Perancis merasa salut dengan ketabahan orang Bandung dengan lalu lintas seperti ini setiap hari (ia sendiri stres menjalani kemacetan ini). Menekuri jengkal demi jengkal jalan, waktu demi waktu. Anda merasa tabah ? Atau hopeless ? Bule ini menawarkan moda transportasi massal seperti monorel dan cable car ( kereta gantung). Teknologi kereta yang dicapai hari ini sudah memungkinka  membawa 20 orang per unit. (masih membayangkan becak di udara berpenumpang lebih dari 2 orang seperti di kawasan wisata bersalju, pegunungan Alpen ?). Cable car ini misalnya bisa diletakkan di Bandung Utara, Alun-alun, Jalan Dago dan Jalan Sudirman yang sering macet. Tidak terlalu memakan tempat dibanding monorel, katanya. Studi tentang ini sudah dilakukan sejak tahun 2009.

Para mahasiswa mengusulkan sistim sewa sepeda. Dari ITB ke Unpad, atau kampus2 lainnya. Anak muda sudah bersedia ngaboseh seperti mang becak dari satu tempat ke tempat lainnya (demi lancarnya lalu lintas dan segarnya udara Bandung). Di pinggiran kota Bandung disediakan kantong2 parkir bagi kendaraan dari luar Bandung. Kalau mau hilir mudik di dalam Kota Bandung dipersilakan menggunakan transportasi massal (disediakan yang aman, nyaman, terjangkau, minimal seperti di Yogya). Rel kereta masih menjulur di berbagai lokasi di Bandung, tinggal direvitalisasi dengan keretanya. Kereta Parahyangan rise up again ? Bangkit lagi, kali ini melayani rute dalam Kota Bandung. Isn’t that cool ? Back to the train. Naik kereta api, tut, tut, tut …

 

Halte busway Yogya dekat Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bandung, kapan menyusul ? Sekarang masih darurat, berupa tenda. Transportasi massal menjadi keharusan, untuk mengurangi kepadatan lalu lintas. Bandung harus tetap bernafas. Keluar pagar rumah sudah dijemput angkutan massal yang nyaman. Dengan satu tiket sampai ke tujuan. Hmm..

Reklame megatron di depan Kantor Pos Besar Jl.Asia Afrika, Bandung. Karena keterbatasan dana untuk membangun jembatan penyeberangan, pemkot terkadang menggandeng swasta. Jadilah, pesan sponsor sebagai kompensasinya, tertayang. Yang ini masih mendingan, karena penyeberang tidak sampai tertutup reklame, sehingga aksi kriminal bisa dihindari. Cuma, rada curam menaiki anak tangganya. Di Dago, bahkan hilang railingnya. Setengah akrobatik melaluinya. Anginnya wuss, wuss .. ketika di jalan, mari kita lihat belantara reklame di Bandung, apakah masih mengikuti ketentuan? Menurut Perda no.20 tahun 2009 ( Perubahan Perda no.02 tahun 2007 ), 7 kawasan bebas reklame (tak boleh dipasangi papan reklame) di Bandung adalah Jl. Asia Afrika, Braga, RAA Wiranatakusumah, Pajajaran, Ir.H.Juanda ( Dago ), Dr. Junjunan dan Jl.Pasteur. UU no.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terutama Pasal 3 (c) berbunyi, terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. 

Penambahan 17 ruas jalan untuk reklame jenis bando, di Jl.Sunda (1 buah), Jl.Suniaraja (2 buah), Jl.Surya Sumantri ( 3 ), Jl.Gardujati ( 2 ), Jl.Gatot Subroto ( 5 ), Jl. Ahmad Yani (1), Jl.Oto Iskandardinata ( 2 ), Jl. Veteran ( 2 ), Jl. Lengkong Kecil (1), Jl. Naripan (1), Jl.Dipatiukur (2), Jl.Wastukancana ( 1 ), Jl.Aceh ( 1 ), Jl.Kiaracondong ( 1 ), Jl.Jakarta ( 1 ), Jl.Astanaanyar ( 1 ) dan  Jl.Pungkur ( 1 ). Kuota reklame jenis bando di 24 ruas jalan lainnya : di Jl. Laswi ( 2 buah ), Jl.Pelajar Pejuang ( 2 ), Jl.BKR ( 2 ), Jl. Peta ( 2 ), Jl. Jamika ( 2 ), Jl.Moch Toha ( 2 ), Jl.Pasir Koja ( 2 ), Jl.Terusan Pasir Koja ( 2 ), Jl.Kopo ( 2 ),  Jl.Terusan Buah Batu ( 3 ), Jl.Buah Batu ( 4 ), Jl.Kebon Kawung ( 2 ), Jl.Pasir Kaliki ( 5 ), Jl. Sukajadi ( 6 ), Jl.Dr.Setiabudi ( 5 ), Jl.Cihampelas ( 6 ), Jl. Kebonjati ( 2 ), Jl.RE.Martadinata ( 5 ), Jl.Terusan Jakarta ( 2 ), Jl.Ujung Berung ( 5 ), Jl.Jend.Sudirman ( 6 ), Jl.Surapati ( 3 ), Jl.PHH. Mustopha ( 3 ) dan Jl.Merdeka ( 1 buah )

Konsep Penataan Kota, Tidak Jelas

Belum dilaksanakannya, model pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, mengakibatkan kota menjadi semrawut dan cenderung menyalahi penataan ruang yang sebelumnya telah ditetapkan bersama antara eksekutif dan legilatif. Butuh waktu lama untuk mendesain kembali (redesign) karena banyaknya bangunan yang telah berdiri.


Hal itu dikemukakan Instiawati Ayus SH MH, Anggota DPD asal Riau kepada politikindonesia.com, usai mengikuti dialog “Suara Daerah” di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (22/03).

Lebih jauh lagi, Intsiawati yang akrab dipanggil Iin itu menilai, semrawutnya pembangunan perkotaan juga diakibatkan tidak konsekwennya eksekutif dan legislatif dalam penerapan kebijakan. “Mereka yang menyusun perencanaan tata ruang, tetapi mereka pula yang melanggarnya,” ujar Iin.

Kondisi ini diperparah, katanya, karena UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tidak memberikan sanksi tegas terhadap aparat pemerintah yang melanggarnya. Akibatnya, kesemrawutan pembangunan perkotaan tak dapat dihindarkan. “Ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia.”

Mantan Ketua Bidang Hukum dan HAM Persatuan Perempuan Peduli Melayu, Riau itu, melihat konsep pembangunan antarkota belum terintegrasi. Idealnya, satu kota dibangun, tidak mengesampingkan atau bahkan mengabaikan pembangunan di wilayah sebelahnya. Wanita kelahiran Bengkalis, Riau 4 Mei 1968 itu menyontohkan, banjir di Jakarta diakibatkan konsep pembangunan di kawasan Jabodetabek (Jakarta Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi) yang tidak terintegrasi dengan baik.

Senator perempuan selama dua periode itu menambahkan, pasca pengesahan UU Penataan Ruang, DPD telah merekomendasikan 12 Peraturan Pelaksanan (PP). Namun hingga saat ini belum seluruhnya direalisir.  Karena itu tak mengherankan jika antara perencanaan dan pelaksanaan pembangunan seringkali tidak nyambung.

Lulusan S-2 Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia itu juga mengingatkan RUU tentang Perumahan dan Permukiman, juga tidak dapat dilepaskan dengan implementasi UU Penataan Ruang. Karena itu ia meminta agar penerapan sanksi terhadap pelanggar UU Penataan Ruang harus benar-benar efektif. Pemerintah juga perlu terus didorong untuk membuat grand design Penataan Ruang.

Sulit dan Kompleks
Yasti S Mokoagow, Ketua Komisi V DPR dalam wawancara khusus dengan politikindonesia.com pada Selasa (08/06) lalu mengakui menerapkan penataan ruang di Indonesia ibarat mengurai benang kusut. Sulit dan kompleks.

Yang paling krusial menurutnya adalah sinkronisasi terhadap pelaksanaan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No.26/2007. Pasal itu mensyaratkan,  penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah NKRI yang rentan terhadap bencana. “Itu yang susah,” ujarnya.

Soalnya, banyak sekali pembangunan infrastruktur yang tidak mengacu pada ketentuan dimaksud. Dan jika ketentuan tersebut diterapkan secara tegas, maka bangunan-bangunan yang tidak sesuai, harus dibongkar. “Ini bukan pekerjaan mudah. Tugas Kementerian Pekerjaan Umum, sangat berat,” ujar wanita kelahiran Manado, 8 Maret 1986 itu.

Yasti menegaskan, penataan ruang memiliki peran strategis dalam penanggulangan dan mitigasi bencana. Terkait hal itu, lulusan S-1 FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado itu menekankan perlunya koordinasi antara Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian PU dengan pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota.

Koordinasi tersebut menjadi penting mengingat masih banyak kabupaten/kota yang belum melakukan revisi tata ruang. Beberapa diantaranya sedang melakukan revisi. Sebagian lainnya, dalam tahap persetujuan.

DKI Diminta Terapkan Pengaturan Wilayah Dalam Penataan Kota


Untuk menjadikan wajah kota Jakarta lebih tertata rapi dan tidak terjadi tumpang tindih peruntukan lahan dalam penataan kota, Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK) DKI Jakarta mengusulkan, agar Pemerintah Provinsi DKI segera menerapkan sistem zoning regulation (pengaturan wilayah).

Penerapan sistem dilakukan agar penataan ruang di Jakarta lebih teratur, mempunyai karakteristik khusus dan mempermudah pengawasan terhadap suatu kawasan menurut peruntukkan zona. Selain itu juga untuk lebih mempermudah pelaksanaan penindakan atas pelanggaran yang dilakukan.

Anggota TPAK DKI Danisworo, menjelaskan penerapan sistem zoning regulation juga untuk mengatur pendirian tempat usaha di suatu kawasan, agar dapat bersaing dengan sehat. Sehingga pengembang ataupun warga tidak bisa sembarangan dalam membangun di sebuah kawasan. “Artinya, tidak mematikan usaha satu dengan lainnya dalam satu wilayah yang sama,” kata Danisworo di Jakarta, Jumat (9/4/10).

Ia berharap, dengan adanya sistem ini, permasalahan kota baik secara fisik maupun sosial bisa diselesaikan secara beriringan. Selain itu, dengan karakteristik tersebut, akan lebih cepat memberikan pelayanan kepada warga. Juga dapat mengatur peruntukan lahan dan bangunan yang ada, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih baik pada lingkungan sekitarnya. Semua dilakukan agar Jakarta dapat lebih nyaman dan sejahtera bagi warganya.

Usulan tersebut disampaikan, karena TPAK melihat sistem penataan ruang yang sekarang ini masih belum terpadu. Misalnya, dalam sebuah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan komersil, karena tidak ada zoning regulation maka semua jenis usaha berlomba-lomba dibangun di kawasan itu. Hal tersebut bisa menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan terjadi saling mematikan usaha satu dengan lainnya.

“Apalagi dengan luas Jakarta yang cukup besar dan sangat kompleks, maka penerapan sistem zoning regulation ini mendesak untuk diterapkan,” ujarnya. Sebab selama ini, perencanaan kota cenderung berjalan sendiri-sendiri, sehingga kurang adanya sinergi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya ataupun antara sektor formal dan informal yang umumnya berdiri masing-masing.

Ketua TPAK DKI Gunawan Cahyono mengungkapkan, Kota Jakarta mempunyai potensi besar untuk menjadi kota jasa terbesar di Indonesia dan dunia. Untuk mencapai itu, Jakarta harus menyediakan beragam sarana dan prasarana yang dibutuhkan, terutama dari segi infrastruktur seperti jalan, transportasi, dan komunikasi.

“Tetapi Jakarta tidak bisa hanya mengandalkan penampilan fisik, kota ini juga perlu memerhatikan masalah lingkungan dan budaya yang ada. Agar memiliki ciri khas sebagai kota modern, namun berbudaya dan ramah lingkungan, sesuai dengan komitmennya menjadikan Jakarta sebagai kota yang hijau,” terangnya.

Jika pembangunan fisik, budaya, dan lingkungan di Jakarta sudah bisa dilakukan secara sinergi, maka DKI mampu bersaing dengan kota-kota besar di dunia lainnya.

Menanggapi usulan tersebut, Kepala Dinas Tata Ruang DKI Wiriyatmoko menegaskan, penataan ruang di Jakarta memang sedang diarahkan ke dalam sistem tersebut supaya lebih memiliki karakteristik tersendiri di masing-masing kawasan. Langkah itu sudah mulai dilakukan dengan memberikan kewenangan masing-masing wilayah untuk mengembangkan kawasannya. Agar masing-masing kawasan memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan kawasan lainnya. (Sumber: beritajakarta.com)

Konflik PKL Dalam Penataan Kota

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan dalam tanyangan televisi atau media massa di beberapa daerah dan kota besar upaya penataan kota sering kali terlihat konflik fisik antara aparat pemerintah dengan pedagang kaki lima (PKL) atau pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat penertiban ataupun penataan kota.


Konflik fisik yang kerap terjadi menimbulkan kerugian material dan non material bagi kedua belah pihak. Hal ini tentu sangat disayangkan karena hal tersebut bertentangan dengan amanat pembukaan UUD 1945.

Penertiban ataupun penataan kota dilakukan oleh pemerintah dalam rangka upaya penataan kota agar tempat-tempat umum terlihat rapi, nyaman, aman dan kondusif sehingga sumua elemen masyarakat dapat menikmati suasana perkotaan yang indahh, nyaman dan aman . Hal ini seringkali berlawanan dengan kepentingan pedagang dalam hal ini pedagang kaki lima (PKL) dimana aspek ekonomi menjadi satu-satunya alasan tempat umum tersebut dijadikan areal perdagangan.


Dua sisi mata uang
Upaya penataan kota yang dilakukan pemerintah dilaksanakan guna mencipatakan lingkungan perkotaan yan rapi, indah dan nyaman bagi kepentingan masyarakat. Sedangkan bagi pedagang kaki lima (PKL) tempat yang dinilai strategis tentunya tempat-tampat yang ramai dilewati oleh masyarakat sehingga pedagang kaki lima (PKL) mendapatkan keuntungan dari hasil perdagangannya.

Ibarat dua sisi mata uang yang berbeda, penataan kota yang dihadapkan pada dua sisi yakni keindahan, kenyamanan dan ketertiban serta sisi ekonomi bagi para pedagang kaki lima (PKL).

Rawan Konflik
Adanya tugas dan kewenangan pemerintah dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang nyaman, asri dan indah disatu sisi dan kepentingan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga pedagang kaki lima seringkali menimbulkan konflik.

Seringkali pemerintah dianggap tidak manusiawi, tidak pro pedagang kecil dan berbagai kecaman yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang dirugikan akibat penggusuran yang kerap terjadi di perkotaan besar. Tak jarang konflik ini menimbulkan bentrokan fisik antara PKL dan aparat pemerintah. Tentunya hal ini harus dapat dicegah agar tercipta suasana yang nyaman dan kondusif sehingga pembangunan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Tindakan preventif konflik
Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tentunya telah menyerap aspirasi masyarakat dari berbagai elemen untuk meminimalkan aspirasi masyarakat yang tidak terakomodir. Dalam hal rencana tata ruang dan tata wilayah kota pemerintah tentunya telah memiliki blue print rencana pengembangan tata kota dan tata wilayah yang tentu harus segera dilaksanakan. Disisi yang lain para pedagang yang telah terlanjur menempati suatu tempat tentunya telah nyaman karena telah menikmati keuntungan financial dari hasil pernigaannya.

Agar tidak terjadi benturan kepentingan, pemerintah dapat mensosialisasikan program-programnya kepada pihak-pihak yang berkaitan dan khususnya kepada masyarakat. Kegiatan pensosialisasian ini tentunya memerlukan waktu, tenaga dan kearifan tentunya karena masyarakat pedagang memiliki tingkat pendidikan, pemahaman dan kearifan yang berbeda-beda, sehingga sasaran dan target menjadi jelas, terbuka dan dapat diterima oleh semua pihak.

Bagi para pedagang tentunya harus dapat legowo dan berbesar hati untuk mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan suasana kota yang aman, nyman dan asri untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat. Pedagang adalah bagian kelompok masyarakat yang memiliki peran penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, peran penting ini seyogyanya dapat menjadi sinergi bagi pemerintah untuk memajukan perekonomian suatu wilayah.

Pemerintah dan pedagang tentunya dapat duduk bersama untuk membahas upaya penataan kota yang pas sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Dalam arti pedagang mendapatkan keuntungan dari hasil perniagaan dan pemerintah dapat mewujudkan suasana perkotaan yang nyaman, aman dan tentram serta roda perekonomian masyarakat yang berjalan lancar.

Perbedaan pendapat yang mungkin terjadi harus dapat diimbangi dengan kebesaran hati dan komitmen bersama untuk memajukan daerah untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana bagi pemerintah dan masyarakat pedagang.

Dalam proses pensosialisasian program tersebut pemerintah pasti akan mendapat input dari masyarakat pedagang dan kelompok masyarakat yang tentunya dapat menjadi feed back bagi kemajuan bersama. Apa dan bagaimana keinginan pedagang kaki lima dapat didengar olah pemerintah. Begitu pula dengan program pemerintah untuk mewujudkan suatu wilayah kota yang aman, nyaman dan asri dapat dipahami oleh masyarakat pedagang kaki lima untuk dapat bekerjasama dengan pemerintah mewujudkan visi misi pemerintah.

Hal ini tentu akan lebih baik hasilnya daripada terjadi konflik yang akan menimbulkan kerugian dikedua belah pihak baik materil maupun non materil, dan yang pasti dengan dapat dihindarinya konflik yang berujung dengan bentrokan fisik masyarakat pedagang kaki lima merasa aman dalam melaksanakan bisnisnya serta merasa terayomi dan pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat bukan hanya sebagai slogan belaka tetapi benar-benar terwujud dalam kehidupan yang nyata.
-----------------------------
Oleh Ahmad Supartono

Strategi Mengerem Laju Perkumuhan

Tahun ini, Hari Habitat Dunia mengambil tema “Planning Urban Future” atau “Merencanakan Masa Depan Perkotaan Kita”.

Peringatan itu ditandai dengan pemberian penghargaan oleh Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum bagi kota-kota yang berhasil melakukan inovasi dan kreatif dalam mengurangi perumahan kumuh.


Penilaian diberikan oleh para akademisi, anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan anggota Real Estat Indonesia (REI).

Ada sembilan kota yang dinilai berhasil mengurangi jumlah perumahan kumuh di kota-kota itu. Ke-9 kota itu, yakni Surakarta, Pekalongan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Blitar, Balikpapan, Bontang, dan Tarakan.


1. Pekalongan
Pekalongan sebelumnya dikenal sebagai salah satu kantong kemiskinan di Tanah Air. Hal itu ditandai dengan banyaknya rumah tidak layak huni, seperti tidak berjendela, tidak memiliki sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK).

Sebelum 2006, ketika program rehabilitasi belum diterapkan, terdapat 5.068 unit rumah tidak layak huni di Pekalongan.

Namun kini, kondisinya telah berubah. Rumah-rumah tidak layak huni itu satu paket dengan lingkungannya telah direhabilitasi. Bahkan, program rehabilitasi yang rencana awalnya rampung pada 2014, bisa dipercepat menjadi tahun 2008.

Penyelesaian persoalan permukiman kumuh tidak berhenti sampai pada program rehabilitasi. Pemerintah Kota Pekalongan menjalankan pula program akselerasi keluarga miskin.

Program itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup warga yang telah mengikuti program rehabilitasi. Menurut M Basyir, Wali Kota Pekalongan, penanganan masyarakat miskin harus dimulai dari program rehabilitasi perumahan kumuh yang didiami warga.

Dia meyakini apabila warga hidup bahagia, maka produktivitas mereka akan meningkat sehingga penghasilan mereka pun akan lebih baik.

Karena keberhasilan program-program yang dijalankan, saat ini salah satu kota sentra batik Nusantara itu sering dijadikan studi banding oleh daerah lain.

Sunarti, dosen jurusan perencanaan wilayah dan kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, yang juga terlibat sebagai dewan juri mengatakan Kota Pekalongan dapat melakukan rehabilitasi perumahan kumuh karena memunyai data-data mengenai jumlah rumah kumuh dan penduduk miskin.

Meskipun terbilang sederhana, data-data itu dapat dipakai sebagai referensi untuk menjalankan rehabilitasi.

Pemerintah Kota Pekalongan juga mendirikan Badan Pemberdayaan Masyarakat yang berperan aktif dalam mengurusi permasalahan ini yang dapat bekerja lintas sektoral.

Keberhasilan program ditunjang pula karena adanya sinergi antara pemerintah dengan keinginan masyarakat.


2. Solo
Daerah lain di Jawa Tengah yang berhasil mengikuti jejak Pekalongan dalam merehabilitasi permukiman kumuhnya ialah Kota Solo atau Surakarta.

Kota itu berhasil mengurangi perumahan kumuh dan lingkungan kumuh. Melalui tangan dingin Wali Kota Solo Joko Widodo, perumahan kumuh di bantaran Kali Pepe ditata ulang.

Permukiman di sepanjang kali dimundurkan dan di pinggirnya dibuat jalan inspeksi.

Perumahan itu kemudian dilegalkan melalui pemberian surat-surat resmi. Masyarakat diberi subsidi untuk memperbaiki rumah dan fasilitas sanitasi mereka.

Bukan hanya di Kali Pepe, semua kawasan kumuh di kota itu juga ditata ulang. Penataan ulang juga berlaku terhadap tempat-tempat berjualan para pedagang kaki lima yang selama ini menambah kekumuhan kota.

Melalui pendekatan personal, wali kota secara langsung meminta para pedagang di pinggir-pinggir jalan kawasan Banjasari pindah dengan suka rela.

Setelah 50 kali pertemuan antara wali kota dengan para pedagang dari beberapa wilayah, seperti Taman Monjari, Pasar Notoharjo, dan Semanggi, mereka pun bersedia pindah tanpa harus digusur paksa atau kucing-kucingan dengan aparat.

Wali kota pun berkomitmen kepada para pedagang untuk membatasi penambahan mal dan minimarket. Kebijakan yang berpihak pada wong cilik itu tentu saja mendapat respons positif dari para pedagang.

Sunarti menyatakan keberhasilan Surakarta dalam membenahi permukiman kumuh tidak Solo tidak terlepas dari peran pemimpin daerahnya. Wali kota mampu melakukan pendekatan persuasif kepada warga.

Dialog yang positif dan terbuka serta pendekatan personal terbukti mampu menjembatani kesepahaman antara warga dan pemerintah.

Menurut Sunarti, pendekatan personal seperti yang dilakukan Wali Kota Solo patut dicontoh oleh pemimpin daerah lainnya. Pemimpin sejatinya dekat dengan rakyat dan melayani kepentingan rakyat.

Tambahan:
Dari sumber yang bisa saya percaya, dalam sebuah seminar tentang keberhasilan Kota Surakarta dalam menata permukiman kumuh, dilakukan dengancara mengundang para masyarakat "sasaran" sampai dengan 50 kali. Acara ke-1 sampai dengan ke-49 berupa acara makan makan dan tanpa diberikan penejelasan kepada warga tentang maksud undangan walikota kepada warga, kecuali acara makan makan. Sampai dengan acara yang ke-50, setelah terlebih dulu diadakan acara makan-makan, Walikota menyampaikan maksud dan tujuan sebenarnya. Dalam kondisi perut kenyang dan rasa kekeluargaan antara Walikota dan warga yang telah tercipta melalui acara ke-1 sampai dengan acara ke-49, akhirnya warga dengan ikhlas menyetujui keinginan Walikota.


3. Palembang
Palembang termasuk kota yang berhasil menyulap permukiman kumuhnya menjadi permukiman layak huni.

Pemerintah kota, melalui wali kotanya, Eddy Sanatana Putra, berhasil mengubah wajah ibu kota Bumi Sriwijaya itu menjadi kawasan yang enak dipandang.

Melalui pelaksanaan Program Kali Bersih, bantaran sepanjang Sungai Musi ditata dengan baik demi terwujudnya kawasan yang rapi, indah, dan nyaman.

Jembatan Ampera sepanjang 1.117 meter dengan lebar 22 meter sebagai ikon kota pempek itu juga diperbaiki sehingga tampak anggun. Begitu juga benteng peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang letaknya berdampingan dengan Jembatan Ampera.

Usaha rehabilitasi dan perbaikan permukiman kumuh di Palembang melibatkan partisipasi warga. Warga yang rumahnya terkena program rehabilitasi dipindahkan ke kawasan lain.

Pemerintah Kota Palembang menyediakan kawasan siap bangun (kasiba) dan lahan siap bangun (lasiba) bagi keluarga yang rumahnya terkena program tersebut.

Sejak 2004, pemkot berangsur-angsur merencanakan penataan wilayah perkotaan secara berkesinambungan.

Pada 2007, kota dengan wilayah seluas 353.800 kilometer persegi itu bahkan dikukuhkan sebagai kota tebersih se-ASEAN. Kota itu dinilai memiliki area pasar, permukiman, pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan yang tertata dengan rapi dan bersih.

Kebijakan dan Strategi Nasional Penataan Lingkungan Pemukiman Kumuh

Perkembangan lingkungan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena fakor pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini lebih disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah perdesaan dan perkotaan, sehingga memunculkan adanya daya tarik kota yang dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat perdesaan atau luar kota, sementara latar belakang kapasitas dan kemampuan para pendatang sangat marjinal.


Seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan prasarana dan sarana permukiman akan meningkat pula, baik melalui peningkatan maupun pembangunan baru. Selanjutnya pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman ba ik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah, sehingga kapasitas daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada mulai menurun yang pada gilirannya memberikan konstribusi terjadinya lingkungan permukiman kumuh.

Lingkungan permukiman kumuh di perkotaan di Indonesia merupakan permasalahan yang sangat kompleks, diantaranya adalah permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan dan kesenjangan serta ketidak disiplinan sosial maupun yang menyangkut kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan Kota/Kabupaten dalam pengaturan, pengorganisasian spasial maupun sumberdaya yang dimiliki kota sesuai hakekat fungsi kota.

Lingkungan Permukiman Kumuh Sebagai Isu Global.

Lingkungan permukiman kumuh tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga berlangsung hampir diseluruh negara berkembang di Asia dan Afrika, menurut publikasi World Bank (1999) lingkungan permukiman kumuh digambarkan sebagai bagian yang terabaikan dari lingkungan perkotaan dimana kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan, yang diantaranya ditunjukkan dengan kondisi lingkungan hunian yang tidak layak huni, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sarana dan prasarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat, tidak tersedianya fasilitas pendidikan, kesehatan maupun sarana dan prasarana sosial budaya kemasyarakatan yang memadai.

Kekumuhan lingkungan permukiman cenderung bersifat paradoks, bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut, kekumuhan adalah kenyataan sehari-hari yang tidak mereka masalahkan, sedangkan di pihak lain yang berkeinginan untuk menanganinya, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang perlu segera ditanggulangi penanganannya.

Dari fenomena tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus secara sinergis melibatkan potensi dan eksistensi dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik pemerintah maupun masyarakat; dimana dari pihak pemerintah meliputi Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota; sedangkan dari pihak masyarakat meliputi masyarakat sendiri selaku penerima manfaat, masyarakat selaku pelaku dunia usaha maupun pelaku kunci lainnya seperti pemerhati, kelompok swadaya masyarakat, cerdik cendiawan dan sebagainya.

Dampak Dari Masalah Lingkungan Permukiman Kumuh

Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi dimensi diantaranya dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan , tatanan sosial budaya, lingkungan fisik serta dimensi politis.

Di bidang penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan lingkungan permukiman kumuh memberikan dampak citra ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan bahkan ketidakpedulian pemerintah terhadap pengaturan pelayanan kebutuhan-kebutuhan hidup dan penghidupan warga kota maupun pendatang dan pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial budaya, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.

Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi pada umumnya termasuk golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya degradasi kedisiplinan dan ketidaktertiban dalam berbagai tatanan sosial kemasyarakatan.

Di bidang lingkungan/hunian komunitas penghuni lingkungan permukiman kumuh sebagian besar pekerjaan mereka adalah tergolong sebagai pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar / kuli bangunan, sehingga pada umumnya tingkat penghasilan mereka sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman sehingga mendorong terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya munculnya permukiman kumuh.

Keberadaan komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh ini akan cenderung menjadi lahan subur bagi kepentingan politis tertentu yang dapat dijadikan sebagai alat negosiasi berbagai kepentingan. Fenomena ini apabila tidak diantisipasi secara lebih dini akan meningkatkan eskalasi permasalahan dan kinerja pelayanan kota.

Upaya Penanganan Yang Telah Dilaksanakan

Upaya penanganan permukiman kumuh telah diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, yang menyatakan bahwa untuk mendukung terwujudnya lingkungan permukiman yang memenuhi persyarakatan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan permukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sanggat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasaranan lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai lingkungan permukiman kumuh yang tidak layak huni dan perlu diremajakan.

Penanganan peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang diatur dalam Inpres No. 5 tahun 1990, tentang pedoman pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh diatas tanah negara dinyatakan bahwa pertimbanga n peremajaan permukiman kumuh adalah dalam rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang berada di atas tanah negara.
Peremajaan permukiman kumuh dalam Inpres 5/90 tersebut adalah meliputi pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas rumah susun serta bangunan-bangunan lain sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Untuk mempercepat pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh tersebut, perlu didorong keikutsertaan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan dan Perusahaan Swasta serta masyarakat luas yang pelaksanaannya perlu dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.

Selanjutnya kebijakan penanganan permukiman kumuh sesuai Surat Edaran Menpera No. 04/SE/M/I/93 tahun 1993, dinyatakan bahwa perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan serta tidak memenuhi persyaratan ekologis dan legal administratif yang penanganannya dilaksanakan melalui pola perbaikan/ pemugaran, peremajaan maupun relokasi sesuai dengan tingkat/ kondisi permasalahan yang ada.

Tujuan Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh

Tujuan penanganan kegiatan ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh terutama golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah melalui fasilitasi penyediaan perumahan layak dan terjangkau dalam lingkungan permukiman yang sehat dan teratur; serta mewujudkan kawasan permukiman yang ditata secara lebih baik sesuai dengan peruntukan dan fungsi sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota.

Disamping itu melalui kegiatan ini diharapkan mampu mondorong penggunaan dan pemanfaatan lahan yang efisien melalui penerapan tata lingkungan permukiman sehingga memudahkan upaya penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar kawasan permukiman di daerah perkotaan.

Pendekatan Pembangunan Yang Bertumpu Kepada Masyarakat

Pengembangan perumahan dan permukiman di Indonesia diprogramkan sebagai tanggung jawab masyarakat sendiri yang diselenggarakan secara multi sektoral dengan menempatkan peran pemerintah sebagai pendorong, pemberdaya dan fasilitator dalam upaya memampukan masyarakat dan mendorong peran aktif dunia usaha melalui penciptaan iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
Komunitas masyarakat kumuh adalah sebuah komunitas utuh, yang potensial lengkap dengan pola organisasi, kepemimpinan, wilayah, kepentingan yang terbentuk dengan proses. Dengan latar belakang tersebut, maka misi yang dilaksanakan dalam penanganan lingkungan permukiman kumuh adalah melakukan pemberdayaan masyarakat, menciptakan, memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dan membuka akses sumber daya dan informasi serta mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

Implementasi dari konsep pemberdayaan masyarakat disini adalah penyelenggaraan pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat yaitu suatu proses peningkatan peluang kesempatan mandiri dan bermitra dengan pelaku pembangunan yang lain. Proses pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat merupakan suatu proses yang spesifik sesuai dengan karakter masyarakatnya, yang meliputi tahapan identifikasi karakter komunitas, identifikasi permasalahan, perencanaan, pemrograman mandiri, serta pembukaan akses kepada sumber daya dan informasi.

Pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi untuk masyarakat perlu diubah menjadi membangun bersama masyarakat. Persoalannya adalah terletak kepada bagaimana menyiapkan dan menciptakan kondisi masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan.
Dalam rangka menggali potensi komunitas masyarakat, maka peran pendampingan oleh tenaga pendamping/fasilitator adalah sangat strategis. Pendampingan masyarakat merupakan suatu hubungan setara antara masyarakat dengan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan profesional, kepedulian dan menerapkan kaidah kesadaran, keswadayaan, kawajaran didalam proses pendampingan yang dibutuhkan masyarakat dalam memberdayakan pengetahuan mengenai kemasyarakatan, metodologi pendekatan kepada masyarakat dan kemampuan subtantif spesifik yang dibutuhkan dalam sasaran pemberdayaan yang menjadi pilihan masyarakat, misalnya penguasaan terhadap subtansi pengembangan usaha ekonomi mikro, serta kemampuan untuk membuka akses terhadap sumberdaya dan informasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan kepedulian adalah keberpihakan kepada masyarakat yang didasari oleh kebenaran, penyediaan waktu dan kesiapan diri untuk memahami bahasa komunikasi dan budaya kerja dari masyarakat yang didampingi.

Konsepsi Penanganan

Kegiatan penataan lingkungan kumuh ini menerapkan konsep dasar Tridaya yang meliputi aspek penyiapan masyarakat melalui pemberdayaan sosial kemasyarakatan, pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman serta pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi lokal/masyarakat.

Dalam penerapannya, kegiatan ini menggunakan pemberdayaan masyarakat sebagai inti gerakannya, dengan menempatkan komunitas permukiman sebagai pelaku utama pada setiap tahapan, langkah, dan proses kegiatan, yang berarti komunitas pemukim adalah pemilik kegiatan. Pelaku pembangunan diluar komunitas pemukim merupakan mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pendukung yang berpartisipasi pada kegiatan komunitas pemukim.

Dengan demikian, strategi program ini menitikberatkan pada transformasi kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas melalui pembelajaran langsung (learning by doing) melalui proses fasilitasi berfungsinya manajemen komunitas. Penerapan strategi ini memungkinkan komunitas pemukim untuk mampu membuat rencana yang rasional, membuat keputusan, melaksanakan rencana dan keputusan yang diambil, mengelola dan mempertanggungjawabkan hasil-hasil kegiatannya, serta mampu mengembangkan produk yang telah dihasilkan. Melalui penerapan strategi ini diharapkan terjadi peningkatan secara bertahap kapasitas sumberdaya manusia dan pranata sosial komunitas pemukim, kualitas lingkungan permukiman, dan kapasitas ekonomi/usaha komunitas.

Seluruh rangkaian kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat dalam program penataan lingkungan kumuh ini memiliki pola dasar yang secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar kegiatan fasilitasi, yaitu pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat, pelaksanaan pembangunan serta pengembangan kelembagaan komunitas Pengorganisasian dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam rangka menempatkan masyarakat sebagai pe laku utama pembangunan, masyarakat yang terorganisasi memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan secara individual. Selain itu kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan potensinya, serta membuat rencana yang rasional juga menjadi persyaratan keberhasilan kegiatan. Oleh karenanya, fasilitasi kepada komunitas dalam pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat ini merupakan bagian dari konsep dasar khususnya dalam aspek penyiapan masyarakat dan aspek pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi dalam satu kesatuan.

Pelaksanaan Pembangunan

Dalam mengaktualkan rencananya, komunitas perlu melakukan pengorganisasian peluang dan sumberdaya kunci yang ada. Dalam kaitannya dengan fasilitasi ini, pemerintah memberikan stimulan dana kepada komunitas untuk merealisasikan rencananya terutama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh, tanpa menutup kemungkinan adanya bantuan tidak mengikat dari pihak lain.

Selanjutnya fasilitasi terhadap komunitas dilakukan untuk pengelolaan hasil pembangunan yang telah dilaksanakannya. Rangkaian fasilitasi ini merupakan bagian dari konsep dasar Tridaya, khususnya dalam aspek pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan dan aspek penyiapan masyarakat dalam satu kesatuan.

Pengembangan Kelembagaan Komunitas

Pengembangan lembaga komunitas merupakan fasilitasi tahap akhir. Dalam rangkaian kegiatannya, fasilitasi ini mengarah kepada pembuatan aturan main lembaga komunitas, formalisasi lembaga komunitas, pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas maupun lembaga komunitas, pembentukan jaringan kerja dengan komunitas lain, pemanfaatan akses sumber daya kunci pembangunan dalam rangka kemitraan, dan pembukaan akses terhadap pengabil kebijakan. Rangkaian fasilitas ini merupakan bentuk utuh dari penerapan konsep dasar Tridaya.

Arah Kebijakan Dan Strategi Penanganan

Kebijakan:
  • Mewujudkan proses transformasi kapasitas kepada masyarakat melalui pembelajaran dan pelatihan secara langsung di lapangan
  • Mendorong akses bantuan kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh
  • Meningkatkan kemampuan kelembagaan Pemerintah/Pemerintah Daerah dan kelompok masyarakat di bidang perumahan dan permukiman
  • Meningkatkan kesadaran hukum bagi para aparat Pemerintah/Pemerintah Daerah dan Masyarakat
  • Memberdayakan pasar perumahan untuk melayani lebih banyak masyarakat
  • Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana umum dan ekonomi lingkungan permukiman
Strategi:
  • Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh
  • Mendorong usaha produktif masyarakat melalui perkuatan jaringan kerja dengan mitra swasta dan dunia usaha
  • Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan permukiman kumuh
  • Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh
  • Melakukan pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial
  • Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman
Sasaran
  • Terciptanya peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat setempat yang mampu menata lingkungan perumahan mereka
  • Terciptanya pertumbuhan usaha ekomomi produktif dan keswadayaan masyarakat dalam mengembangkan lingkungan permukiman.
  • Terbangunnya perumahan dan permukiman yang layak huni 
  • Terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh
  • Tertatanya lingkungan permukiman kumuh menjadi lingkungan yang sehat, indah, aman dan nyaman 
  • Tercapainya peningkatan derajat kesehatan dan pendidikan masyarakat

Penutup Dan Tindak Lanjut

Kesadaran masyarakat bermukim yang sehat, tertib dan teratur pada umumnya masih rendah, maka dalam upaya meningkatkan kesadaran perlu terus diupayakan penggalangan potensi masyarakat melalui proses pemberdayaan.Upaya melembagakan penataan lingkungan permukiman kumuh dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama perlu terus ditumbuh kembangkan dengan mewujudkan perumahan yang layak dan terjangkau pada lingkungan permukiman yang berkelanjutan, responsif yang mendukung pengembangan jatidiri, produktivitas dan kemandirian masyarakat.
Untuk mendukung pencapaian lingkungan permukiman yang responsif tersebut maka perlu langkah konkrit untuk mendayagunakan potensi masyarakat melalui kegiatan peningkatan kualitas permukiman, penerapan tata lingkungan permukiman, pengembangan perumahan yang bertumpu kepada swadaya masyarakat, pembukaan akses kepada sumber daya perumahan dan permukiman serta upaya -upaya pemberdayaan ekonomi khususnya bagi golongan masyarakat miskin dan berpe nghasilan rendah.

Upaya pendukung yang cukup strategis adalah pemantapan kelembagaan yang mendorong terbentuknya lembaga perumahan dan permukiman yang handal dan profesional baik di lingkungan pemerintahan (Pusat, Propinsi, Kab/Kota), Badan Usaha (BUMN, BUMD dan Swasta), dan Masyarakat; serta melembaganya penyusunan RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah) sebagai bagian dari perencanaan pembangunan daerah, dimana didalamnya termasuk kegiatan penataan lingkungan permukiman kumuh secara berkelanjutan.

Penataan lingkungan permukiman kumuh perlu dikaitkan secara struktural dan fungsional dengan potensi sumber daya yang ada di kota tersebut termasuk di lingkungan permukiman kumuh itu sendiri yang implementasinya dilakukan bersama masyarakat untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Penataan lingkungan permukiman kumuh sangat strategis untuk dikembangkan sesuai potensi dan sumberdaya yang sudah dimilikinya. Pendekatan pemberdayaan masyarakat harus berorientasi kepada tercapainya kemandirian masyarakat yang bertahap dan berkelanjutan.

Penanganan masalah lingkungan permukiman kumuh tidak dapat dilakukan secara sepihak atau parsial, melainkan harus merupakan upaya terpadu yang saling mendukung dan saling bersinergi dalam mencapai sasaran manfaat yang optimal. Perlu ada kesamaan persepsi dalam penetapan sasaran, langkah dan waktu yang tepat untuk mengimplementasinya, dalam hal ini pemerintah perlu berperan sebagai fasilitator dan pemberdaya dari semua tindakan yang akan diambil. Masa depan kota sangat tergantung dari keberhasilan mencapai kehidupan masyarakat yang berimbang, kemajemukan masyarakat harus dilihat sebagai kekuatan untuk menghadapi masa depan kota yang penuh persaingan dan permasalahan yang kompleks, sehingga diperlukan perintisan pembentukan jaringan kemitraan yang saling mendukung.

Implementasi dari produk-produk pengaturan dalam penataan lingkungan permukiman kumuh yang ada pada saat ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut maka selaras dengan era Otonomi Daerah dimana masalah perumahan dan permukiman telah menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota, maka upaya penanganan lingkungan permukiman kumuh perlu terus dikembangkan konsep penangananya sesuai dengan kondisi permasalahan dan potensi lokal yang ada, yang implementasinya dilaksanakan secara multi sektoral, bertahap dan berkelanjutan.
------------------------------
Oleh : Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota


A. MUATAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA
1. Tujuan penataan ruang kota, kebijakan dan strategi pengembangan kota;
2. Rencana struktur ruang wilayah kota;
3. Rencana pola ruang wilayah kota yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya termasuk:
  • Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
  • Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
  • Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah;
4. Penetapan kawasan strategis kota;
5. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;
6. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.


B. TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI
Tujuan
Arahan perwujudan ruang wilayah kota yang diinginkan akhir masa perencaan (20 tahun mendatang) yang memberikan arahan pada lingkup sasaran yang ada dalam RTRW Kota serta semua programnya.

Kebijakan
Diwujudkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjanjikan suatu kondisi positif tujuan penataan ruang kota sebagai rumusan dari tindak lanjut pencapaian tujuan.

Strategi
Pernyataan yang menjelaskan langkah yang harus ditempuh untuk merealisasikan/ melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ada dalam RTRW Kota, merupakan arahan dari pengembangan kota dimasa mendatang untuk mencapai suatu pengembangan yang diinginkan.


C. RENCANA STRUKTUR RUANG
Rencana struktur wilayah kota / kawasan perkotaan terdiri dari :
1). Arahan Pengembangan & Distribusi Penduduk, Pengelompokan materi yang diatur:
Distribusi penduduk berdasarkan proyeksi distribusi penduduk wilayah kota dibandingkan dengan daya dukung kawasan dalam pengembangan sistem struktur kota.

2). Rencana Sistem Pusat Pelayanan Perkotaan, Pengelompokan materi yang diatur:
Berdasarkan pada unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam perkotaan, lingkungan sosial perkotaan, dan lingkungan buatan perkotaan.
  • distribusi penduduk per unit permukiman perkotaan.
  • sebaran pusat-pusat pelayanan perkotaan, dilengkapi dengan bentuk keterkaitan antar pusat kegiatan
3). Rencana Sistem Jaringan Transportasi
a) Sistem jaringan Transportasi Darat
  • Jalan, terdiri dari: Jalan Umum, Jalan khusus dan Jalan Tol Sistem Jaringan, terdiri dari: Jaringan arteri sekunder, kolektor sekunder, sistem primer; Kelas jalan, terdiri dari : Jalan Bebas Hambatan, Jalan raya, jalan sedang, jalan kecil; - Angkutan kereta api, terdiri dari: Jaringan jalan kereta api; stasiun kereta api;depo/balai jasa.
  • Angkutan sungai dan penyeberangan, terdiri dari:Jaringan transportasi danau, penyebrangan, jembatan antar pulau, dan jaringan transportasi jembatan dan terowongan antar pulau.
b) Sistem jaringan Transportasi Laut
  • Pelabuhan laut utama meliputi pelabuhan laut utama primer, sekunder, tersier, pelabuhan pengumpan regional dan lokal.
  • Alur Pelayaran laut.
c) Sistem jaringan Transportasi Udara
  • Klasifikasi bandar udara , terdiri dari: bandar udara pusat penyebaran primer, sekunder, tersier, bandar udara bukan pusat penyebaran.
  • Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan.

4). Rencana Sistem Jaringan Utilitas, Pengelompokan materi yang diatur:
  • Sistem penyediaan Air bersih, terdiri dari : mata air; intake; jalan transmisi; instalasi produksi; bak penampung; pipa jaringan air bersih; jalur distribusi air bersih; bendungan; kanal besar; waduk penampungan air bersih.
  • Sistem penyediaan Air pembuangan, jaringan air limbah terdiri dari : saluran primer; saluran sekunder; bangunan pengolahan; waduk penampungan. Dan jaringan air pembuangan limbah rumah tangga dan limpasan air hujan terdiri dari : saluran primer; saluran sekunder; waduk penampungan.
  • Sistem prasarana Persampahan, terdiri dari : tempat pembuangan sementara; tempat pemrosesan akhir; bangunan pengolah sampah.
  • Sistem prasarana Sumber Daya Energi, untuk sistem energi listrik terdiri dari: bangunan pembangkit; gardu induk ekstra tinggi; gardu induk listrik; SUTET; SUTT; jaringan transmisi menengah. Untuk jaringan gas terdiri dari : instalasi distribusi gas; jaringan gas.
  • Sistem prasarana Telematika, terdiri dari : stasiun bumi; jaringan transmisi; kantor pos besar dan kecil; stasiun telepon otomat; rumah kabel.

D. RENCANA POLA RUANG
Rencana ini merupakan bentuk pemanfaatan ruang Wilayah Kota yang akan dituju hingga akhir tahun perencanaan yang menggambarkan ukuran, fungsi serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam.
Materi yang diatur :
+ Kawasan Lindung, rencana disesuaikan dengan tipologi kota beserta intensitasnya:
  • Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
  • Kawasan perlindungan setempat;
  • Kawasan suaka alam dan cagar budaya;
  • Kawasan rawan bencana alam; dan
  • Kawasan lindung.

+ Kawasan Budidaya, rencana disesuaikan dengan muatan masing-masing aspek perkotaan dan sosial budaya lingkungan setempat. Rencana kawasan ini mencakup:
  • rencana penanganan lingkungan perkotaan;
  • arahan kepadatan bangunan;
  • arahan ketinggian bangunan.

E. RUANG TERBUKA HIJAU
Arahan umum penempatan RTH sesuai dengan fungsi dan pemanfaatanannya RTH harus disediakan minimal 30% dengan standar minimal 20% untuk publik dan 10% dipenuhi dari privat.

F. RUANG TERBUKA NON HIJAU
  • Dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, atau kolam-kolam retensi.
  • Rencana ruang terbuka non hijau memberikan arahan terhadap tipologi kebutuhan dan penyediaan ruang terbuka non hijau berdasarkan bentuk dan tipe penyediaan termasuk kriteria pemanfaatannya.

G. RENCANA KEGIATAN SEKTOR INFORMAL (PKL)
  • Arahan lokasi pengelolaan sektor informal seperti pedagang kaki lima, pasar loak, penjualan barang bekas.
  • Lokasi dan luas difokuskan pada integrasi dengan kegiatan sektor informal terhadap kawasan sekitarnya sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kemacetan, kebersihan, kriminalitas, dll.
  • Kemungkinan dikelola secara khusus untuk meningkatkan nilai tambah ruang.

H. RUANG EVAKUASI BENCANA
  • Arahan ruang yang dipersiapkan sebagai tempat sementara evakuasi para korban bencana (keamanan terjamin, akses yang cukup tinggi dan terjangkau dari luar daerah.
  • Lokasi disesuaikan dengan jenis dan resiko bencana, skala pelayanan, dan daya tampung.

I. PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Kawasan ini merupakan kawasan yang didalamnya berlangsung kegiatan yang berpengaruh besar terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, antara lain :
  • Kawasan strategis pertahanan dan keamanan;
  • Kawasan strategis pertumbuhan ekonomi;
  • Kawasan strategis sosial budaya;
  • Kawasan strategis pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi;
  • Kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Penetapan kawasan ini harus didukung oleh kepentingan tertentu dengan pertimbangan aspek-aspek strategis, kebutuhan pengembangan tertentu, serta kesepakatan dan kebijakan yang ditetapkan diatasnya.

J. ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
Penentuan prioritas pembangunan wilayah kota ditinjau dari kebutuhan pembangunan wilayah, sarana dan prasarana prioritas, ketersediaan dana, komponen kawasan utama dengan fungsi multiplier effect, penduduk pendukung, serta arahan pembangunan dalam mewujudkan rencana tata ruang melalui pola penatagunaan tanah, air dan udara, usulan program utama pembangunan, perkiraan dana, dan sumber dana pembangunan, instansi pelaksana, waktu dan tahap pelaksanaan.

Muatan dasar meliputi:
  • Indikasi program utama
  • Perkiraan pendanaan beserta sumbernya
  • Intansi pelaksana
  • Tahapan pelaksanaan

K. KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
+ Ketentuan umum peraturan zonasi
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Indikasi arahan peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

+ Ketentuan perizinan
perizinan yang terkait tentang izin pemanfaatan ruang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.

+ Ketentuan insentif dan disinsentif
a. Arahan insentif berupa:
  • Keringanan pajak, Pemberian kompensasi, Subsidi silang, Imbalan, Sewa ruang, Urun saham;
  • Pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
  • Kemudahan prosedur perizinan;
  • Pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.

b. Arahan disinsentif berupa :
  • Pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
  • Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.

+ Arahan sanksi
a. Jenis-jenis pelanggaran :
  • Tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
  • Tidak memanfaatkan ruang sesuai dengan ijin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang
  • Tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan ijin pemanfaatan ruang
  • Tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum

b. Jenis-jenis sanksi :
  • peringatan tertulis;
  • penghentian sementara kegiatan;
  • penghentian sementara pelayanan umum;
  • penutupan lokasi;
  • pencabutan ijin; pembatalan ijin;
  • pembongkaran bangunan;
  • pemulihan fungsi ruang; dan/atau
  • denda administratif.
---------------------------------
Sumber: UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang