30 Jul 2010

Konsep Penataan Kota, Tidak Jelas

Belum dilaksanakannya, model pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, mengakibatkan kota menjadi semrawut dan cenderung menyalahi penataan ruang yang sebelumnya telah ditetapkan bersama antara eksekutif dan legilatif. Butuh waktu lama untuk mendesain kembali (redesign) karena banyaknya bangunan yang telah berdiri.


Hal itu dikemukakan Instiawati Ayus SH MH, Anggota DPD asal Riau kepada politikindonesia.com, usai mengikuti dialog “Suara Daerah” di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (22/03).

Lebih jauh lagi, Intsiawati yang akrab dipanggil Iin itu menilai, semrawutnya pembangunan perkotaan juga diakibatkan tidak konsekwennya eksekutif dan legislatif dalam penerapan kebijakan. “Mereka yang menyusun perencanaan tata ruang, tetapi mereka pula yang melanggarnya,” ujar Iin.

Kondisi ini diperparah, katanya, karena UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tidak memberikan sanksi tegas terhadap aparat pemerintah yang melanggarnya. Akibatnya, kesemrawutan pembangunan perkotaan tak dapat dihindarkan. “Ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia.”

Mantan Ketua Bidang Hukum dan HAM Persatuan Perempuan Peduli Melayu, Riau itu, melihat konsep pembangunan antarkota belum terintegrasi. Idealnya, satu kota dibangun, tidak mengesampingkan atau bahkan mengabaikan pembangunan di wilayah sebelahnya. Wanita kelahiran Bengkalis, Riau 4 Mei 1968 itu menyontohkan, banjir di Jakarta diakibatkan konsep pembangunan di kawasan Jabodetabek (Jakarta Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi) yang tidak terintegrasi dengan baik.

Senator perempuan selama dua periode itu menambahkan, pasca pengesahan UU Penataan Ruang, DPD telah merekomendasikan 12 Peraturan Pelaksanan (PP). Namun hingga saat ini belum seluruhnya direalisir.  Karena itu tak mengherankan jika antara perencanaan dan pelaksanaan pembangunan seringkali tidak nyambung.

Lulusan S-2 Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia itu juga mengingatkan RUU tentang Perumahan dan Permukiman, juga tidak dapat dilepaskan dengan implementasi UU Penataan Ruang. Karena itu ia meminta agar penerapan sanksi terhadap pelanggar UU Penataan Ruang harus benar-benar efektif. Pemerintah juga perlu terus didorong untuk membuat grand design Penataan Ruang.

Sulit dan Kompleks
Yasti S Mokoagow, Ketua Komisi V DPR dalam wawancara khusus dengan politikindonesia.com pada Selasa (08/06) lalu mengakui menerapkan penataan ruang di Indonesia ibarat mengurai benang kusut. Sulit dan kompleks.

Yang paling krusial menurutnya adalah sinkronisasi terhadap pelaksanaan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No.26/2007. Pasal itu mensyaratkan,  penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah NKRI yang rentan terhadap bencana. “Itu yang susah,” ujarnya.

Soalnya, banyak sekali pembangunan infrastruktur yang tidak mengacu pada ketentuan dimaksud. Dan jika ketentuan tersebut diterapkan secara tegas, maka bangunan-bangunan yang tidak sesuai, harus dibongkar. “Ini bukan pekerjaan mudah. Tugas Kementerian Pekerjaan Umum, sangat berat,” ujar wanita kelahiran Manado, 8 Maret 1986 itu.

Yasti menegaskan, penataan ruang memiliki peran strategis dalam penanggulangan dan mitigasi bencana. Terkait hal itu, lulusan S-1 FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado itu menekankan perlunya koordinasi antara Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian PU dengan pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota.

Koordinasi tersebut menjadi penting mengingat masih banyak kabupaten/kota yang belum melakukan revisi tata ruang. Beberapa diantaranya sedang melakukan revisi. Sebagian lainnya, dalam tahap persetujuan.

Tidak ada komentar:
Write comments