Enjoy Jakarta ! sebuah tagline yang didengungkan oleh pemerintah daerah Ibukota Jakarta dalam mempromosikan kota terbesar di Indonesia ini. Tetapi sebagai seorang yang seringkali mengunjungi Kota Jakarta, sebuah pertanyaan muncul, bagaimana cara menikmati Jakarta ? Kemacetan dimana-mana bahkan di jalan toll sekalipun, waktu yang terbuang untuk perjalanan begitu panjang. Demonstrasi di pusat kota hampir terjadi setiap hari kepada pemerintah, hal ini pun membuat kekhawatiran dan ketidakjelasan waktu tempuh. Berbagai fasilitas transportasi yang jauh dari layak, metromini yang mengeluarkan asap hitam pekat, angkutan kota yang selalu ngetem sehingga tidak ada kepastian pemberangkatan ( apalagi waktu tiba ) bagi para penumpang. Bahkan, sistem jaringan transjakarta dengan buswaynya belum lah menjadi angkutan yang andal. Belakangan muncul ide tentang mass rapid transport, akan tetapi juga tidak menjadi jelas karena tiada investor yang bersedia bergabung.
Jakarta saat ini bersama Bogor, Depok, Bekasi, dan Tanggerang, mengklaim jaringan kota-kota ini dalam sebuah megalopolitan yang disebut dengan jabodetabek. Sebuah jaringan besar yang menghubungkan kawasan pemukiman, kawasan industri dan bisnis. Kesempatan besar tentu terbentuk, Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia memiliki akses dalam hal jaringan nasional maupun internasional. Hampir semua markas utama perusahaan besar nasional maupun multi-nasional bertempat di Jakarta, hal ini memudahkan tentunya bagi Jakarta untuk bisa sebagai pusat perdagangan dan Jasa. Dampak besar dari hal ini tentu adalah jumlah pajak yang sangat besar di Jakarta.
Di sisi lain, adanya pusat pemerintahan di Jakarta menjadi tanda tanya tersendiri, apakah masih layak ada pusat pemerintahan disana. Disaat mesin bisnis bernama Jakarta ini terus berkembang, apakah dekatnya pusat bisnis dengan pusat pemerintahan berdampak baik ataukah justru berdampak buruk, seperti ; kala pemerintahan tidak baik demonstrasi terjadi dan berakibat pada macetnya roda ekonomi, atau seperti kemungkinan terjadi korupsi dengan cepat karena akses yang memang dekat.
Jika melihat beberapa Negara lain di luar negeri, akan kita lihat adanya perbedaan kota dagang dan ibukota. Mereka sengaja menjadikan sebuah kota megalopolitan terpisah dari pemerintahan. Sebagai contoh, Jerman menjadikan Frankfurt sebagai kota dagang dan Berlin sebagai ibukota, Australia menjadikan Sydney sebagai kota Jasa dan Canberra sebagai ibukota, atau Amerika serikat yang menjadikan New York sebagai kota bisnis dan Washington DC sebagai ibukota. Dalam perkembangan lain, negara di Asia lainnya pun juga semakin ingin mengurangi peran Ibukota sebagai Kota Bisnis, seperti China yang mulai mengembangkan kota bisnis selain Beijing seperti Shenzen, Ghuanzou, dan Shanghai, sehingga pada akhirnya beban Beijing semakin berkurang sebagai pusat ekonomi dan bisa fokus sebagai pusat pemerintahan.
Saya memang belum menemukan literatur yang cukup tegas menentukan syarat sebuah ibukota, akan tetapi saya mendapat potongan makalah Prof. Sutikno dari Program Studi Geografi Universitas Gadjah Mada yang memberikan sebuah pandangan bahwa pemindahan ibukota pernah terjadi di beberapa negara dengan berbagai pertimbangan. Bisa dikatakan bahkan, tidak ada alasan yang benar benar sama dari pemindahan ibukota ini. Contoh berikut memberikan gambaran bahwa pemindahan ibu kota negara itu tidak tabu dan dilakukan dengan tujuan memecahkan permasalahan untuk menuju ke perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara.
1) Brasilia ibu kotanya terletak di pedalaman, karena ibu kota lama Rio Jenairo sudah terlalu padat.
2) Pemerintah Korea Selatan da;lam tahun 2004 ibu kotanya pindah dari Seoul ke Sejong, meskipun Seoul itu berarti ibu kota dalam bahasa Korea.
3) Ibu kota tradisional secara ekonomi memudar oleh kota pesaingnya, seperti Nanjing oleh Shanghai.
4) Menurunya suatu dinasti atau budaya dapat juga ibu kota yang telah ada mati/pudar/kalah pamor seperti di Babilon dan Cahokia.
Selain ibu kota negara dipindahkan terdapat juga pemindahan sebagian dari kekuasaan pemerintah, contoh berikut dapat dijadikan salah satu alternatif untuk pemecahan masalah yang terkait dengan ibu kota negara.
1) Bolivia: Succre masih ibu kota konstitusional tetapi pemerintahan nasional telah lama ditinggalkan dan beralih ke La Paz.
2) Chili: Santiago masih dianggap sebagai ibu kota meskipun Kongres Nasionalnya di Valparaiso.
3) Belanda: Amsterdam ibu kota nasional konsitusional, meskipun pemerintahan Belanda, parlemen, istana ratu semuanya terletak di Den Haag.
4) Afrika Selatan: ibu kota administratif di Pretoria, ibu kota legislatifnya di Cape Town dan ibu kota judisialnya di Bloemfontein (Wikipedia, 2007).
Dengan berbagai contoh di berbagai negara tersebut, maka yang akan menjadi perhatian adalah kelayakan dari Jakarta itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa ibukota adalah simbol dari sebuah negara, pada zaman dahulu Paris dan London dipilih oleh Romawi sebagai Ibukota karena alasan pertahanan. Itu mengapa kebanyakan ibukota yang sudah tua secara usia selalu berada di tepi laut dan berkembang menjadi kota pelabuhan. Karena laut adalah simbol kekuatan pertahanan dan peperangan di masa lalu saat kapal terbang belum merajai dunia transportasi dan pertahanan, hingga bahkan ada slogan england rules the sea.
Selain itu faktor koordinat memang menjadi perhatian pula , sangat diharapkan ibukota terletak di pusat dalam konteks ditengah wilayah suatu negara, walau jika melihat amerika serikat dengan washington DC yang terletak di wilayah timur tampaknya teori ini tidak begitu relevan kini karena arus informasi dan komunikasi yang semakin membuat dunia serasa sangat sempit.
Ibu kota menjadi simbol bagi negara dan pemerintahannya, dan sebagai tempat berkembangnya muatan politik. Kota kota abad pertengahan, pemilihan, relokasi, pendirian dari suatu ibu kota modern dilandasi dengan emosional. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut.
1) Athena yang hancur dan hampir tak berpenduduk dijadikan ibu kota baru bagi Greece, sebagai simbul kejayaan masa lalu. Hal yang mirip adalah Perang Dingin dan Reunifikasi Jerman, Berlin menjadi ibu kota lagi bagi Jerman.
2) Suatu relokasi simbolik dari ibu kota ke lokasi periperi geografis dan demografis dengan alasan ekonomi atau strategi (sering disebut ibu kota masa depan atau ibu kota pelopor). Peter I dari Rusia memindahkan pemerintahan dari Mosko ke St.Petersburg untuk memberikan kebesaran Rusia beorentasi ke barat.
3) Kemal Atarturk memindahkan pusat pemerintahan dari Ottoman Istambul ke Ankara.
4) Kaisar Ming memindahkan ibu kota dari Nanjing ke Beijing untuk menjauhi Mongols dan Manchus.
Ibukota adalah gambaran awal sebuah negara dimata rakyatnya sendiri dan masyarakat asing. Sedangkan Jakarta kini seakan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa Jakarta adalah sebuah Kota yang gagal. Kita akan coba lihat beberapa perspektif yang melemahkan Jakarta agar tetap layak sebagai ibukota.
1. Arus Urbanisasi yang begitu cepat dan tidak bisa dikendalikan membuat Jakarta mengalami ledakan penduduk. Ini membuat Jakarta semakin jenuh, dan salah satu dampak nyatanya adalah semakin banyaknya masyarakat miskin kota Jakarta yang memenuhi ruang kumuh Jakarta
2. Infrastruktur yang sudah tidak memadai, salah satu indikatornya adalah volume jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan, ( atau bisa juga dilihat dari perspektif jumlah kendaraan yang terlalu besar ), dan banjir yang terus terjadi setiap tahunnya. Bahkan, hingga di Jalan utama
3. Penggabungan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi dalam satu kota Jakarta menyebabkan pengkerucutan kekuasaan pada beberapa elit saja yang sangat sulit di kontrol, hal ini sangat mudah memunculkan gejala korupsi dan otoritarian semu. Selain itu, pemerintah yang belum stabil seringkali memicu demonstrasi massa yang tentu juga akan menganggu perekonomian.
4. Kesenjangan sosial masyarakat, sebagaimana kita ketahui bahwa Jakarta tempat tinggal para pengusaha dan ekspatriat hingga menjadi tempat tinggal pedagang kaki lima dan pengangguran. Kesenjangan yang tidak terkendali ini menyebabkan kekerasan, tumbuhnya kawasan kumuh, kriminalitas, dan kerawanan sosial.
Sedikitnya empat pertimbangan ini bisa menjadi penguat bagi pemerintah kita untuk mempertanyakan dan mempertimbangkan kembali, apakah Jakarta masih cukup layak untuk menjadi Ibukota Negara, dalam artian ibukota sebagai pusat pemerintahan. Bukan untuk menambah beban atau sekedar menebar isu di masyarakat, tetapi pemindahan ini adalah bagian dari usaha pemerintah meningkatkan kinerja pemerintah dan pemerataan pembangunan itu sendiri.
Pada akhirnya memang hingga tulisan ini pada penghujung paragrafnya, saya belum bisa memberikan syarat atau kriteria kota yang layak untuk menjadi Ibukota, apalagi hingga menyebut nama kota di Indonesia yang layak untuk menjadi ibukota. Tetapi untuk permulaan, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan judul tulisan yang saya buat, bahwa kita perlu menimbang kembali kelayakan Jakarta sebagai Ibukota Indonesia.
by Ridwansyah Yusuf Achmad
Posted in Urban an regional,
Memindahkan Ibukota dari Jakarta?
Kalau kita perhatikan semuanya ada di Jakarta, mulai dari ibukota negara, kantor-kantor pemerintahan, kantor-kantor pusat BUMN, pusat perdagangan, konsentrasi populasi, pusat perindustrian dan lain-lain. Kondisi ini tentu tidak ideal, fungsi yang satu seringkali menghambat fungsi yang lain. Idealnya, beberapa fungsi tersebut perlu dipindahkan ke kota lain. Memindahkan aktivitas perekonomian akan sangat sulit, tapi bukan tidak mungkin fungsi sebagai ibukota dipindahkan ke kota lain.
Memindahkan ibukota bukan hal baru. Indonesia pernah terpaksa memindahkan ibukotanya ke Yogyakarta dan Bukittinggi akibat perang kemerdekaan. Rencana untuk memindahkan ibukota juga bukan tidak ada. Pemerintah Hindia Belanda pernah mempersiapkan Bandung sebagai ibukota negara untuk menggantikan Batavia, tetapi rencana ini gagal akibat Perang Dunia II. Mantan Presiden Soekarno juga pernah merencanakan Palangkaraya sebagai ibukota negara, tetapi belum sempat terealisasi.
Kalau memang ada niat untuk memindahkan ibukota, maka ada dua pilihan: memanfaatkan kota yang sudah ada, atau merancang daerah khusus ibukota sejak awal. Wikipedia mencatat ada beberapa ibukota negara yang dirancang khusus sebagai daerah ibukota, misalnya Brasilia, New Delhi, Canberra dan Washington, DC. Kelebihan kota-kota ini adalah bahwa kota-kota ini didesain khusus dari awal sebagai daerah ibukota, tidak seperti Jakarta yang terbentuk akibat urbanisasi.
Selain itu, beberapa negara memiliki lebih dari satu ibukota. Sebagai contoh Malaysia memiliki dua kota yang berfungsi sebagai ibukota: Kuala Lumpur dan Putrajaya, atau Belanda yang memiliki Amsterdam dan Den Haag. Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah ibukota sekaligus: Pretoria, Cape Town dan Bloemfontein.
Kemudian ada pilihan untuk menggunakan lahan di dekat ibukota lama, atau memakai lahan di tempat yang sama sekali baru yang posisinya berada lebih di tengah Indonesia. Pilihan pertama memiliki kelebihan dapat memanfaatkan prasarana yang sudah ada di ibukota yang lama. Yang diperlukan hanyalah transportasi yang memadai dari ibukota lama ke ibukota yang baru. Sedangkan pilihan kedua jauh lebih mahal karena semua infrastruktur harus dibuat dari awal, tetapi lebih baik secara politis karena letaknya berada di tengah-tengah negara.
Pilihan pertama dilakukan oleh Malaysia yang sedikit demi sedikit memindahkan fungsi ibukota dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Selain itu Filipina juga melakukannya untuk Quezon City. Sementara itu Brazil memilih pilihan kedua dengan membuat kota Brasilia di tengah-tengah negara. Kabarnya, pilihan Brazil ini sempat melilit negara ini ke dalam jeratan hutang. Tetapi saat ini Brasilia adalah salah satu kota terbaik di Brazil, dan pembangunan Brazil menjadi lebih merata.
Usulan pemindahan ibukota Indonesia kini mulai terdengar lagi. Berdasarkan pencarian di Internet, kandidat-kandidatnya adalah: Jonggol, Palangkaraya, Batulicin, Subang, dan Sukabumi. Kandidatnya memang sudah ada, tapi rasanya realisasinya masih lama sekali.
--------------------
by : Priyadi Iman Nurcahyo, an ordinary human being living in Depok, Indonesia.
Pemindahan Ibukota
Prof. Sutikno
kejadian kritis akibat faktor sosial, ekonomi, politik, lingkungan, dan bencana. Ibu kota negara mempunyai fungsi sentral bagi pemimpin negara didalam melaksanakan tugas kenegaraan. Kondisi yang aman, nyaman, dan kondusif merupakan bagian penting dalam memikirkan dan mengkoordinasikan jalannya pemerintahan. Harapan agar negara dan bangsa dapat maju sejajar dengan negara maju lainnya, rakyatnya cerdas dan sejahtera secara berkeadilan.
Ibu kota negara menjadi simbol suatu negara untuk menunjukkan jati diri dan harga diri suatu bangsa dan negara. Kondisi umum yang mencitrakan Jakarta sebagai ibu kota negara adalah tata ruangnya yang semrawut, banyak terjadi kemacetan lalu lintas, tingginya ketimpangan sosial ekonomi, tata guna lahan tumpang tindih, terjadi pencemaran udara dan air, dan sering dilanda bencana banjir. Kondisi umum tersebut memunculkan beberapa pertanyaan: masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara? perpindahan ibu kota suatu keharusan atau wacana? Tulisan ini mencoba mendiskusikan solusi pertanyaan tersebut dari sudut pandang geografis. Untuk mendiskusikan kelayakan Jakarta sebagai ibu kota negara digunakan pendekatan keruangan, ekologis, dan kewilayahan. Dari hasil diskusi terungkap bahwa Jakarta kurang layak sebagai ibu kota negara. Perpindahan ibu kota menjadi suatu keharusan dan bukan lagi sebagai wacana. Beberapa alternatif lokasi untuk memindahkan ibu kota negara memang pernah diwacanakan, namun masih diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk menentukan dimana dan kapan realisasi pemindahannya.
Sepengetahuan penulis, sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum pernah mendirikan kota sebagai ibu kota negara atau ibu kota nasional. Kota-kota besar yang sekarang menjadi ibu kota negara dan ibu kota provinsi, kesemuanya atau sebagian besar merupakan peninggalan kolonialisme Belanda. Hal tersebut sangat berbeda dengan jaman kejayaan kerajaan-kerajaan di nusantara dahulu, dimana sebelum terjadi penjajahan, hampir semua kerajaan mempunyai dan membangun ibu kota (kota raja). Sebagai contoh adalah Majapahit yang mempunyai peninggalan situs Trowulan, yang sampai saat ini dianggap sebagai pusat pemerintahannya oleh para ahli. Berikutnya Mataram dengan Ngayogyokarto (Yogyakarta) sebagai pusat pemerintahannya. Perpindahan pusat pemerintahan pada jaman kerajaan sering terjadi. Apabila suatu kerajaan tertimpa bencana, pusat kerajaan harus dipindahkan karena anggapan terkena kutukan dewa. Pergantian raja pun sering diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan, apalagi jika pergantiannya melalui perebutan kekuasaan.
Bagaimana halnya dengan NKRI? Tampaknya para pemimpin NKRI diawal kemerdekaan mempunyai filsafat 'tiada rotan akarpun jadi' dan narimo. Dalam arti bahwa daripada membangun ibu kota baru dan istana negara baru, lebih baik memanfaatkan saja apa yang ada, yakni memanfaatkan bekas kantor gubernur penjajah sebagai istana kenegaraan. Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena negara yang baru saja merdeka dan terjajah selama lebih dari tiga abad belum mempunyai kemampuan untuk membangun. Setelah merdeka selama hampir 62 tahun, niat untuk mendirikan istana negara dan ibu kota NKRI hasil karya anak bangsa setelah memperoleh kemerdekaan belum juga muncul. Mungkin saja para pemimpin kita telah menikmati kemewahan yang ditinggalkan oleh penjajah dan disibukkan pula untuk memikirkan kedudukan dan golongannya, sehingga kurang memikirkan kesemestaan NKRI ini.
Pemindahan ibu kota negara telah dilakukan oleh banyak negara dengan alasan yang berbeda-beda. Contoh berikut memberikan gambaran bahwa pemindahan ibu kota negara itu tidak tabu. Terlebih lagi jika dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan menuju ke perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara.
1. Ibu kota Brasil terletak di pedalaman karena ibu kota lama Rio de Jenairo sudah terlalu padat.
2. Pada tahun 2004, pemerintah Korea Selatan memindahkan ibu kotanya dari Seoul ke Sejong, meskipun Seoul (dalam bahasa Korea) berarti ibu kota.
3. Ibu kota tradisional secara ekonomi memudar oleh kota pesaingnya, seperti yang terjadi di Nanjing oleh pesaingnya yaitu Shanghai.
4. Menurunnya suatu dinasti atau budaya dapat juga karena ibu kota yang telah ada mati atau pudar atau kalah pamor seperti di Babilon dan Cahokia.
Selain pemindahan ibu kota negara, terdapat juga pemindahan sebagian dari kekuasaan pemerintah. Berikut ini beberapa contoh alternatif pemecahan masalah yang terkait dengan ibu kota negara.
1. Bolivia; meskipun Succre masih tetap menjadi ibu kota konstitusional, namun pusat pemerintahan nasional telah ditinggalkan dan beralih ke La Paz.
2. Chili; Santiago masih dianggap sebagai ibu kota, meskipun Kongres Nasionalnya diadakan di Valparaiso.
3. Belanda; Amsterdam tetaplah ibu kota nasional konsitusional, meskipun pemerintahan Belanda, parlemen, dan istana ratu semuanya terletak di Den Haag.
4. Afrika Selatan; beribu kota administratif di Pretoria, ibu kota legislatifnya di Cape Town, sedangkan ibu kota judisialnya di Bloemfontein (Wikipedia, 2007).
Pemindahan sebagian kekuasaan pemerintah di NKRI sangat dimungkinkan karena di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Amandemennya tidak diatur secara tegas. Dalam Bab II ayat (2) UUD NKRI tertulis: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Dalam UUD tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan dimana dan bagaimana ibu kota negara diatur. Dengan demikian, terdapat fleksibilitas yang tinggi dalam mengatur termasuk memindah ibu kota negara. Dalam pemindahan ibu kota negara, tentu saja diperlukan alasan yang kuat dan mendasar tentang efektifitas fungsinya.
Arti dan Fungsi Suatu Ibu Kota Negara
Ibu kota (a capital; capital city; political capital) adalah kota utama yang diasosiasikan dengan pemerintahan suatu negara; secara fisik difungsikan sebagai kantor pusat dan tempat pertemuan dari pimpinan pemerintahan dan ditentukan berdasarkan hukum. Asal katanya dari bahasa Latin caput yang berarti kepala (head) dan terkait dengan kata capitol yang terkait dengan bangunan dimana pusat pemerintahan utama dilakukan.
Menurut sejarahnya, ibu kota sebagai pusat ekonomi utama dari suatu wilayah sering menjadi titik pusat dari kekuatan politik, kemudian menjadi suatu ibu kota melalui suatu penaklukan atau penggabungan. Ibu kota secara alamiah mempunyai daya tarik politik dan kepegawaian yang diperlukan untuk efisiensi administrasi pemerintahan, seperti: ahli hukum, jurnalis, dan peneliti kebijakan publik. Ibu kota adalah pusat ekonomi, budaya, dan atau pusat intelektual. Ibu kota menjadi simbol bagi negara dan pemerintahannya, serta sebagai tempat berkembangnya muatan politik. Kota-kota di abad pertengahan menunjukkan bahwa pemilihan, relokasi, dan pendirian dari suatu ibu kota modern dilandasi pertimbangan emosional. Contoh-contoh berikut menggambarkan hal ini.
1. Athena yang hancur dan hampir tak berpenduduk dijadikan ibu kota baru bagi Yunani sebagai simbol kejayaan masa lalu. Hal yang juga mirip adalah Perang Dingin dan Reunifikasi Jerman, dimana Berlin kembali dijadikan sebagai ibu kota Jerman.
2. Suatu relokasi simbolik dari ibu kota ke lokasi peri-geografis dan demografis dengan alasan ekonomi atau strategi (sering disebut ibu kota masa depan atau ibu kota pelopor). Peter I dari Rusia memindahkan pemerintahan dari Moskow ke St. Petersburg untuk menunjukkan kebesaran Rusia kepada dunia barat.
3. Kemal Ataturk memindahkan pusat pemerintahan dari Ottoman Istambul ke Ankara.
4. Kaisar Ming memindahkan ibu kota dari Nanjing ke Beijing untuk menjauhi serbuan bangsa Mongols dan Manchus.
Ibu kota mempunyai fungsi strategi, selalu menjadi target utama dalam peperangan karena dengan menguasai ibu kota biasanya menjadi jaminan menguasai sebagian besar musuh atau penentang. Paling tidak sudah berhasil memerosotkan moral untuk mengalahkan musuh (militer). Hal ini terjadi di China masa lalu, dimana pemerintahan tersentralisir dengan sedikit fleksibilitas pada tingkat provinsi. Suatu dinasti dapat runtuh dengan ambruknya ibu kota. Oleh sebab itu, Dinasti Ming memindahkan Ibu kota Nanjing ke Beijing dengan alasan agar dapat mengontrol musuh yang berasal dari Mongols dan Manchus.
Ada pandangan lain berkaitan dengan fungsi strategi suatu ibu kota negara, yaitu bahwa ibu kota negara kurang penting sebagai sasaran militer. Hal ini disebabkan karena pusat pemerintahan dapat dipindahkan ke tempat lain. Sebagai contoh, tentara Inggris yang berulangkali menyerang beberapa ibu kota Amerika pada waktu Perang Revolusi dan perang tahun 1812; tentara Amerika tetap dapat bertempur dari luar kota, dimana mereka mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat dan penduduk sipil di perbatasan. Perkecualian adalah Perancis, yang birokrasinya terpusat namun tetap dapat terkordinisasi secara efektif dan terdukung oleh sumberdaya yang sangat luas. Negara Perancis sangat kuat melebihi pesaingnya, tetapi berisiko tinggi jika ibu kota diduduki musuh terutama dalam kaitan dengan strategi militernya. Ancaman tradisional dari Perancis adalah Jerman yang terfokus untuk menguasai Paris. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, ketika Jakarta jatuh oleh tentara Belanda sewaktu perang revolusi, ibu kota negara pernah berpindah ke Yogyakarta dan ke Bukit Tinggi. Dengan demikian pemerintahan tetap berjalan, sehingga NKRI tetap berdiri dengan melakukan perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan.
Kondisi Jakarta sebagai Ibu Kota
Menurut sejarah, kota Jakarta berawal dari pekan pelabuhan kecil yang dikenal sebagai Sunda Kelapa, yang kemudian menjadi Kota Batavia. Seorang pengembara Inggris terkenal, Kapten James Cook mengatakan bahwa pelabuhan di situ adalah kawasan labuhan kapal besar dan kecil terbaik di dunia saat itu. Kota yang telah berumur hampir 500 tahun tersebut telah mengalami perkembangan yang cepat dan sering terlanda banjir. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1872 akibat meluapnya Sungai Ciliwung menjebolkan pintu air dan merendam kawasan Batavia. Kejadian serupa muncul pada 9 Januari 1932, hujan yang turun lebat sepanjang malam menyebabkan hampir semua wilayah kota Batavia terendam dan Jalan Sabang tercatat sebagai yang terparah. Upaya penanggulangan banjir Jakarta sebenarnya telah diusahakan, seperti pada masa pemerintahan Belanda tahun 1920 ketika seorang insinyur Belanda, Van Breen memimpin pembangunan saluran (banjir kanal) dan sejumlah pintu air. Semuanya untuk mengakomodasi air yang datang.
Masalah banjir Jakarta memang sulit diatasi tanpa ada suatu usaha menyeluruh dan terpadu.
Amblesan tanah akibat penurapan airtanah yang berlebih menjadi salah satu penyebab daerah menjadi sasaran banjir. Secara alami, Jakarta memang rawan terhadap banjir karena terletak pada kipas aluvial yang berkembang dari Selatan (Bogor) dan dialiri oleh 13 sungai dengan daerah hulunya bercurah hujan tinggi, yang sebagian lahannya telah terbangun. Faktor alami lainnya adalah di bagian Utara terdapat beting gisik (beach ridges) yang dapat menghambat aliran ke laut Teluk Jakarta. Sebenarnya pada beting gisik itupun terdapat cekungan antar beting yang dapat berfungsi sebagai penampung air, namun itupun sudah terbangun. Demikian juga sebagian besar situ-situ yang berfungsi sebagai penampung dan pengendali air hujan lokal itupun sudah menjadi lahan permukiman.
Hampir setiap tahun terjadi banjir yang besarnya bervariasi. Banjir yang terjadi pada tahun 2007 merupakan yang terbesar, hampir mencakup 70% wilayah Jakarta. Akibat banjir 2007 tersebut menimbulkan pemikiran atau gagasan untuk memindahkan Ibu Kota Jakarta. Banjir dijadikan salah satu pemicu ide untuk memindahkan ibu kota. Gagasan untuk memindahkan ibu kota negara telah mengemuka dalam berbagai kesempatan, antara lain tanggal 20 Mei 1988 ketika berlangsung gerakan reformasi. Waktu itu kondisi Jakarta sangat mengkhawatirkan sehingga muncul gagasan spontan, agar Yogya untuk menerima kembali fungsi ibu kota pemerintahan. Pemikiran untuk memindahkan ibu kota negara juga datang dari Ketua DPR Agung Laksono dengan argumentasi sedikit berbeda, dan menyatakan bahwa Jakarta sudah saatnya kantor presiden yang menjadi pusat pengendali pemerintahan dipindahkan ke tempat yang lebih kondusif. Jakarta saat ini dinilai sudah kelebihan beban, baik secara ekonomi maupun sosial, sehingga Jakarta sudah bersifat multi fungsi. Ibu kota negara yang mempunyai multi fungsi umumnya akan menimbulkan berbagai dampak.
Dampak Multi Fungsi dari Jakarta
Multi fungsi Jakarta merupakan dampak dari sistem pemerintahan sentralistis dan sistem multi fungsi yang memusat di Jakarta.
Akibatnya sejumlah dampak sosial, politik, ekonomi dan ekologi menjadi beban Jakarta, berikut dampak yang dimaksud (Baiquni, 2004).
1. Pemerintahan sentralitis yang dikendalikan secara otoriter dan serba seragam telah mengabaikan kemajemukan sosial budaya masyarakat dan keseragaman ekosistem wilayah negara kepulauan. Sistem kekuasaan yang memusat, membuat sistem pemerintahan daerah kehilangan kemandirian dan fungsi birokrasi tidak dapat berkembang melayani dan memfasilitasi partisipasi masyarakat, tetapi lebih melayani atasan atau pimpinan elitenya.
2. Kedekatan sumber pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang mengerucut pada elite dan hampir tanpa kontrol dari rakyat secara konstitusional maupun publik menyebabkan mewabahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3. Pemusatan fungsi tersebut akhirnya membawa beban bagi Jakarta yang ditandai dengan ledakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, kesenjangan ekonomi, kerawanan sosial, kekerasan, dan kejahatan.
4. Permasalahan tersebut diikuti krisis ekologi, yang berupa pencemaran udara, pencemaran airtanah, air bersih, banjir rutin, tata ruang yang semrawut, munculnya kawasan kumuh, dan lingkungan hidup yang kurang nyaman.
5. Konflik mudah terjadi antara kepentingan ekonomi dan ekologi, kepentingan sesaat dan jangka panjang, kepentingan elit dan masyarakat.
Berdasarkan kondisi Jakarta dan berbagai dampak tersebut perlu dipertanyakan, masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara dan apakah pemindahan ibu kota sebagai suatu keharusan atau sekedar wacana.
Pemindahan Ibu Kota Suatu Keharusan atau Wacana
Analisis garis besar aspek keruangan, ekologis, dan kewilayahan; serta dampak sosial, ekonomi, dan politik menghasilkan suatu pemikiran bahwa: (i) pemindahan ibu kota merupakan suatu keharusan, tetapi dengan tenggang waktu dan seharusnya tidak sebagai wacana lagi; (ii) ibu kota negara tetap di Jakarta tetapi pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan dialihkan ke luar Jakarta. Argumentasi dari masing-masing pemikiran adalah sebagai berikut.
Secara keruangan Jakarta sudah terlalu padat penduduk, sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pariwisata dan tata ruangnya semrawut, pemanfaatan lahan yang saling kontradiktif banyak terjadi. Pembangunan fisik terus dipacu tanpa arah yang jelas. Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang sedemikan bagus disusun Bang Ali (1966-1977) dengan mudahnya dapat berubah, sehingga banyak peruntukan kota yang dilanggar. Banyak situ-situ yang berfungsi sebagai penampung air hilang menjadi perumahan. Program kali bersih (prokasih) macet total. Tiga belas sungai yang membelah kota ini tetap menjadi kubangan sampah. Rencana Induk 1965-1985 tidak berkelanjutan pada Rencana Induk 1985-2005, sangat dimungkinkan banyak campur tangan pihak pengusaha, terutama developer dengan para pejabat Pemda Jakarta. Kemacetan lalu lintas setiap saat, dan banjir yang setiap tahun terjadi menunjukkan bahwa tata ruang kurang memperhatikan karakteristik lahan serta kurang mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Secara keruangan, Jakarta sebagai ibu kota negara tidak mungkin menampung datangnya urbanit di masa depan. Jakarta mempunyai daya tarik bagi penduduk di luar Jakarta dan bahkan dari manca negara karena lapangan pekerjaan terpusat dan sebagian besar uang beredar disana. Urbanisasi yang terus-menerus dan urbanit yang kurang ketrampilan dan pendidikan akan menjadi tambahan beban bagi Jakarta.
Urbanisasi dapat dicegah dengan cara memeratakan lapangan kerja dengan membangun pusat pertumbuhan di wilayah lain.
Secara ekologis, sebagian besar wilayah Jakarta telah mengalami degradasi kualitas lingkungannya, dengan indikator banjir, pencemaran udara, pencemaran air, pembuangan limbah cair/padat, dan pencemaran sosial. Banjir yang menggenangi 70% wilayah Jakarta memberikan kerugian yang sangat besar. Hasil pembangunan yang memerlukan biaya yang tinggi dan waktu lama terkadang rusak atau hilang dalam waktu yang singkat. Sanitasi lingkungan menjadi lebih buruk akibat banjir, sehingga banyak penyakit yang mewabah. Ledakan demam berdarah di Jakarta merupakan bukti bahwa sanitasi lingkungan kurang memadai. Momentum banjir Jakarta tahun 2007 perlu dijadikan pemikiran dan perencanaan untuk memindahkan ibu kota Jakarta karena umumnya bencana alam itu cepat dilupakan.
Secara kewilayahan, Jakarta sudah amat padat penduduk dan syarat dengan fasilitas, sedangkan di luar Jakarta, baik di Jawa maupun luar Jawa masih tersedia wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan. Tersedianya jaringan transportasi yang baik memungkinkan kelancaran arus manusia, informasi, dan jasa antar wilayah. Dengan demikian tidak ada alasan dalam koordinasi antar pejabat dan negara dan antar departemen, seandainya terjadi pemisahan antara pimpinan negara dengan menteri atau lembaga. Ditinjau dari stratejik dalam menghadapi situasi kritis (perang), pusat kekuasaan negara yang tersentralisir mempunyai risiko tinggi. Jika ibu kota negara sebagai pusat kekuasaan negara jatuh, maka akan berakibat buruk terhadap keberlangsungan suatu negara.
Uraian di atas menyatakan bahwa pemindahan ibu kota merupakan suatu keharusan, tetapi dengan tenggang waktu. Tenggang waktu diperlukan untuk memperoleh legal formal, menjaring pendapat, menyusun program, memilih lokasi yang sesuai, menyusun rencana, dan membangunnya. Pemindahan ibu kota tidak seperti membalik telapak tangan karena perlu pemikiran yang mendalam.
Alternatif kedua, ibu kota negara tetap di Jakarta dengan pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan ke luar Jakarta, dengan tujuan mengurangi beban Jakarta. Alternatif ini tampaknya lebih banyak menghadapi kesulitan dibandingkan dengan alternatif pertama. Beban Jakarta memang berkurang, tetapi tidak berarti sudah meniadakan permasalahan karena banjir tetaplah menjadi ancaman. Apalagi jika pemindahan pusat kegiatan diarahkan ke selatan Jakarta. Banjir akan semakin meningkat bila tidak diikuti dengan usaha konservasi lahan di bagian atas. Kejadian banjir di Jakarta tidak meliputi seluruh wilayahnya, masih ada sebagian yang tidak terkena. Bagi penduduk yang tinggal di daerah yang tidak terkena banjir tentunya tidak sependapat apabila ibu kota negara dipindahkan, dan menghendaki tetap dipertahankan. Apabila dasar pemikirannya sempit dan jangka pendek maka alternatif ke dua yang dipilih. Namun dalam pemikiran yang lebih luas dan jangka panjang bahwa Indonesia dengan potensi sumberdaya alamnya yang melimpah dan sumberdaya manusia yang cukup besar akan menjadi negara yang besar dan kuat, maka alternatif pemindahan ibu kota ke dua menjadi lemah.
Alternatif Penentuan Ibu Kota Negara
Jejak pendapat terhadap karyasiswa Program S2 Geografi menghasilkan pandangan bahwa ibu kota negara perlu dipindahkan. Banyak alternatif yang disampaikan meskipun belum disertai dengan argumentasi yang matang. Daerah yang diusulkan untuk dipilih sebagai pemindahan ibu kota negara adalah tetap di P. Jawa, di luar Jakarta, Kalimantan, dan Sumatra. Sebelum menentukan alternatif untuk menentukan pilihan lokasi pemindahan ibu kota negara, terlebih dahulu perlu dicari rumusan ibu kota negara yang ideal. Penelusuran pustaka tentang syarat ibu kota negara yang ideal belum ditemukan. Berdasarkan pemikiran geografis ibu kota negara yang ideal harus mempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan; maka perlu antara lain adalah: tersedia lahan yang sesuai, aman, nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana, aksesibilitas dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untuk perwakilan negara sahabat (kedutaan), ketersediaan air bersih, fasilitas umum, fasilitas kesehatan, masyarakat sekitar kondusif dan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah. Berdasarkan rumusan tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia untuk menentukan alternatif lokasi sebagai calon ibu kota negara.
Beberapa pandangan tentang alternatif pemindahan ibu kota negara yang muncul pada periode Mei 1998 (gerakan reformasi) adalah Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Malang, dan Kalimantan Tengah (Baiquni, 2004). Beberapa alternatif lokasi tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan. Yogyakarta memiliki keunggulan pernah menjadi ibu kota negara dan berfungsi dengan baik. Fasilitas transportasi sudah tersedia, yaitu Bandara Adi Sutjipto dan Stasiun Kereta Api Tugu). Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, dan kota budaya; sehingga berpenduduk padat dan jalanan sempit menyebabkan kurang memungkinkan untuk ditambahi beban, kecuali dengan pembenahan aksesibilitas, pemilihan lokasi yang tepat, dan tidak menempati lokasi bangunan tinggalan Belanda. Magelang letaknya di tengah P. Jawa, sering dikenal dengan pakuning tanah Jawa berarti daerahnya mantap. Namun demikian, lokasinya berdekatan dengan Gunungapi Merapi yang masih aktif, sehingga bahaya vulkanik merupakan ancaman. Aksesibilitas dapat didukung dari Yogyakarta dan Semarang. Purwokerto mempunyai kelebihan ketersediaan ruang (lahan) yang masih dimungkinkan untuk pembangunan ibu kota. Aksesibilitas laut dapat terdukung dari pelabuhan Cilacap, sedangkan akses darat dapat dicapai dari Yogyakarta dan Bandung. Transportasi udara perlu dibangun. Gunungapi Slamet mungkin merupakan bahaya, tetapi berdasarkan sejarahnya kurang aktif. Selain itu, terdapat Baturaden sebagai tempat peristirahatan yang layak. Malang mempunyai lingkungan pegunungan yang sejuk, didukung oleh aksesibilitas darat dan udara yang memadai, dan dekat dengan Surabaya. Namun demikian, Malang termasuk kota pelajar dan padat penduduk, jalan di dalam kota umumnya sempit.
Alternatif pemilihan lokasi untuk merealisasikan gagasan pemindahan ibu kota negara tersebut harus tidak menempati kota lama, tetapi harus lokasi baru yang sesuai. Lokasi baru yang terpilih harus dibangun sebagai ibu kota yang mencerminkan jati diri bangsa.
Berdasarkan alternatif lokasi di P. Jawa tersebut, Purwokerto merupakan salah satu pilihan ditinjau dari ketersediaan lahan; kota lain yang disebutkan di atas juga mempunyai kemungkinan untuk dipilih dengan mendasarkan pada kelebihan dan kekeurangan masing-masing. Namun demikian evaluasi tersebut baru dilakukan secara dangkal, perlu dukungan data yang lebit banyak dan akurat. Alternatif tersebut bukan harga mati, baru sebagai wacana lokasi yang diperkirakan layak, masih terbuka bagi masukkan dengan pertimbangan dari sudut keilmuan yang lain. Seandainya alternatif yang terpilih tadi menjadi kenyataan itupun berlaku dalam waktu tertentu, mungkin 50 tahun atau 100 tahun. Dasar pertimbangannya adalah setiap pembangunan ibu kota baru tentu diikuti oleh pembagunan ikutannya, sehingga dalam kurun waktu tersebut ibu kota baru sudah penuh dengan beban baru lagi, sehingga perlu pindah lagi. Dengan azas tersebut ketimpangan antar wilayah dapat dihindari.
Alternatif pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa, pilihannya adalah Kalimantan dan Sumatra. Kelebihan dari Kalimantan adalah lokasinya merupakan pusat dari wilayah Nusantara. Lahan masih sangat luas, sehingga dapat menyusun tata ruang ibu kota negara yang sangat ideal. Kelemahannya adalah prasarana dan sarana belum memadai, sebagian besar harus membangun yang baru, berarti biaya mahal. Kelemahan lainnya adalah penyediaan air bersih; kebakaran hutan, banjir dan longsor merupakan bahaya yang perlu dijadikan dasar pertimbangan. Sumatra merupakan alternatif lain, ketersediaan lahan memadai; sebelah barat Bukit Barisan rawan terhadap bencana gempa, sehingga daerah yang sesuai tentunya di sebelah timur Bukit Barisan.
Alternatif pemindahan lokasi ibu kota negara tersebut di atas, baik yang tetap di P. Jawa maupun di luar P. Jawa merupakan embrio pemikiran yang masih perlu didiskusikan secara mendalam. Tentunya masih banyak alternatif lain untuk pemindahan ibu kota negara, mengingat jumlah pulau di Indonesia lebih dari 17.000. Untuk pemilihan lokasi ibu kota perlu peraturan perundang-undangan. Undang-undang tata ruang saat ini sedang digodog di DPR, mudah-mudahan persyaratan ibu kota negara tidak terlewatkan atau terabaikan.
Penutup
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah merdeka hampir genap 62 tahun, ibu kota negaranya (Jakarta) menempati bekas ibu kota penjajah. NKRI belum memiliki ibu kota negara yang merupakan pemikiran dan hasil karya anak bangsa. Jakarta yang sekarang dijadikan sebagai ibu kota negara telah berumur lebih dari 577 tahun, sudah berkembang menjadi metropolitan, mempunyai multi fungsi, dan sarat dengan beban sehingga berdampak pada kondisi ekonomi, sosial, politik, dan ekologis.
2. Ibu kota negara (Jakarta) sebagai simbol kewibawaan negara dan jati diri bangsa saat ini dan masa depan, kurang layak untuk dipertahankan karena sebagai pemusatan kekuasaan dan pemusatan ekonomi banyak menimbulkan KKN, berpenduduk padat, tata ruang sewrawut, kemacetan lalu lintas, berbagai konflik kepentingan, pencemaran, setiap tahun terlanda banjir, dan sanitasi lingkungan kurang memadai. Pemusatan kekuasaan dan kegiatan di ibu kota mempunyai risiko tinggi dalam kondisi kritis (perang) karena ibu kota menjadi sasaran untuk diserang.
3. Pemindahan ibu kota negara (Jakarta) menjadi suatu keharusan, bukan merupakan wacana lagi. Keharusan yang bertenggang waktu, sambil menanti perundangan-undangan tata ruang yang mengatur persyaratan suatu ibu kota negara.
4. Alternatif lokasi pemindahan ibu kota yang pernah muncul sebagai wacana, antara lain: Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Malang, Kalimantan, dan Sumatra. Alternatif lokasi tersebut bukan harga mati, harus didiskusikan secara mendalam. Alternatif lain pun dapat dimunculkan.
5. Dalam menatap ke depan untuk menyongsong NKRI menjadi besar, kuat, dan berwibawa bahwa pemikiran dan gagasan untuk memindahkan ibu kota negara harus terus dikumandangkan, sehingga menjadi realita. Paling tidak terjadi penyebaran pusat-pusat pertumbuhan di seluruh wilayah, sehingga kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi kenyataan.
-------------------
Daftar Bacaan : Diposkan oleh Adawiyah Djamaluddin
Proses perencanaan yang cacat dari rencana tata ruang Jakarta 2030
Jakarta's skyline, originally uploaded by Deden Rukmana. - Administrasi di Jakarta telah menyiapkan rencana tata ruang Jakarta 2030, yang penting dan dokumen komprehensif untuk membentuk masa depan Jakarta, sejak Februari 2008. Sebuah tim yang terdiri dari banyak ahli dalam perencanaan dan pembangunan perkotaan ditunjuk untuk mempersiapkan draf akademis dari rencana tata ruang Jakarta 2030. Berbagai cara untuk mencari masukan dari warga masyarakat dan stakeholder telah dilakukan dari April 2009 sampai Oktober 2009 termasuk road show ke distrik-distrik, konsultasi teknis dengan instansi terkait di tingkat nasional dan provinsi dan diskusi kelompok terfokus di enam kabupaten di Jakarta. Sebuah situs juga diluncurkan pada bulan Desember 2009 untuk mempublikasikan 2030 Jakarta rencana tata ruang dan mencari masukan dari publik. Apakah proses perencanaan 2030 Jakarta rencana tata ruang yang cukup untuk menghasilkan rencana yang valid untuk membentuk Jakarta pada 20 tahun mendatang?
Keberatan terhadap rencana tata ruang Jakarta 2030 dari beberapa organisasi di Jakarta adalah jawaban dari pertanyaan di atas. 2030 Jakarta rencana tata ruang tidak rencana yang valid belum. WALHI (The Indonesian Forum for Environment) dan 28 LSM lainnya di Jakarta menentang rencana tata ruang Jakarta 2030 dan akan menawarkan alternatif rencana yang akan diserahkan kepada Dewan Kota. Mereka membentuk aliansi bernama Jaringan Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Jakarta 2030 (jaringan masyarakat sipil untuk rencana tata ruang Jakarta 2030) dan berpendapat bahwa rencana tata ruang 2030 Jakarta membayar kurang perhatian pada orang-orang miskin dan kelestarian lingkungan. Warga Negara Koalisi untuk Jakarta 2030, sebuah organisasi yang dibentuk pada bulan Desember 2009 oleh beberapa warga Jakarta yang bersangkutan, juga mengajukan keberatan terhadap proses perencanaan 2030 Jakarta rencana tata ruang termasuk kurangnya partisipasi masyarakat. Koalisi ini telah memegang beberapa diskusi publik, meluncurkan sebuah situs web dan sebuah kelompok di Facebook dan melakukan survei opini publik secara agresif mencari masukan dari warga.
Keberatan terhadap rencana tata ruang Jakarta 2030 menggambarkan bahwa praktik perencanaan di abad ke-21 menghadapi tantangan yang lebih besar dari itu dalam abad ke-20. Sepuluh tahun yang lalu atau bahkan 25 tahun yang lalu, ada sangat sedikit keberatan terhadap rencana tata ruang dari warga ketika Pemerintah DKI Jakarta menyiapkan 2005-2010 dan 1985-2005 Jakarta rencana tata ruang. Praktek perencanaan di abad ke-21 adalah berurusan dengan pluralisme dan masyarakat terpecah-pecah ditandai oleh kekuasaan dan ketidakpercayaan pemerintah dan para pakar.
Urbanisasi dan Suburbanization di Jakarta
Jakarta adalah metropolitan terbesar di Asia Tenggara dengan tingkat yang luar biasa pertumbuhan penduduk dan berbagai masalah perkotaan. Keseluruhan populasi dari Jakarta meningkat 100 kali pada abad ke-20, dari sekitar 100.000 pada 1900 menjadi lebih dari 9 juta pada tahun 1995. Sebagian besar penduduk ditambahkan dalam dua puluh tahun terakhir abad ke-20 (Han dan Basuki, 2001). Namun, jumlah penduduk Jakarta telah menurun dalam lima tahun terakhir dekade terakhir. Turun dari 9.112.652 pada tahun 1995 sebagaimana dicatat oleh Intercensal Nasional tahun 1995 Penduduk Survey ke 8.389.443 pada 2000 menurut Sensus Penduduk Nasional 2000.
Penurunan populasi di Jakarta dalam 1995-2000 adalah disebabkan oleh suburbanization. Pinggiran Jakarta-umumnya dikenal sebagai Botadebek-telah mengalami peningkatan drastis populasi. Penduduk Botadebek telah tiga kali lipat dari 4,4 juta pada tahun 1980 menjadi 12.6 juta pada tahun 2000, sedangkan penduduk Jakarta meningkat hanya 30 persen. Beberapa penelitian (Firman, 1998; Leaf, 1994; Cybriwsky dan Ford, 2001) mengungkapkan bahwa banyak moderat dan keluarga berpenghasilan tinggi bergerak keluar dari pusat kota ke daerah perifer. Mereka tertarik dengan kualitas tinggi fasilitas yang disediakan oleh kantong pinggiran perumahan. Selain itu, masyarakat miskin asli Jakarta adalah pindah ke daerah pinggiran karena perluasan sektor formal di pusat kota.
Jumlah penduduk di Jakarta Metropolitan Area yang terdiri dari Jakarta dan sekitarnya Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi-disingkat Botadebek-pada tahun 2000 mencapai lebih dari 21 juta. Populasi ini terdiri dari sekitar 80 persen penduduk perkotaan dan 20 persen penduduk pedesaan dan dihuni area dengan luas sekitar 6.400 kilometer persegi. Penduduk ini sekitar 10 persen dari total penduduk Indonesia dan hanya sekitar 0,3 persen dari total wilayah Indonesia. McGee (1994) memperkirakan bahwa jumlah penduduk di Jakarta Metropolitan Area akan mencapai 40 juta pada tahun 2020.
Pinggiran Jakarta adalah sangat bergantung pada pusat kota. Botadebek adalah "pinggiran kamar tidur" untuk komuter harian Jakarta. Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan kantor perusahaan, komersial, dan perusahaan-perusahaan hiburan. Ekonomi Jakarta mendominasi daerah perifer. Pada siang hari, jumlah penduduk di Jakarta hampir dua kali lipat penduduknya di malam hari (Kompas, 18 Juni 2004). Jumlah gerakan harian di Jakarta diperkirakan mencapai enam hingga tujuh juta
Untuk memahami urbanisasi di Jakarta, adalah penting untuk mengenali dualisme sosial-ekonomi yang melingkupi masyarakat perkotaan Indonesia. Manifestasi dari dualisme ini adalah keberadaan kota modern dan kota kampung di daerah perkotaan di Indonesia termasuk Jakarta. Kampung, kata itu berarti desa di Indonesia, terkait dengan informalitas, kemiskinan, dan mempertahankan tradisi pedesaan dalam pengaturan perkotaan. Firman (2000) berpendapat bahwa keberadaan kampung dan kota modern mencerminkan segregasi spasial dan kesenjangan sosial-ekonomi.
Meningkatnya jumlah migran ke Jakarta dan miskin Jakarta pribumi telah menyebabkan pembentukan kampung-kampung pendatang baru di pinggiran Jakarta (Cybriwsky dan Ford, 2001). Banyak bangunan di pusat kota juga disebabkan beberapa penduduk kampung digusur dan pindah ke pinggiran. Pinggiran juga menarik migran karena peningkatan infrastruktur dan fasilitas di daerah pinggiran Jakarta (Goldblum dan Wong, 2000).
Sejak 1950 Jakarta telah menarik banyak orang dari seluruh penjuru Jawa dan pulau-pulau Indonesia lainnya. Banjir migran datang ke Jakarta untuk alasan ekonomi seperti Jakarta menawarkan harapan pekerjaan. Sensus 1961 menunjukkan bahwa hanya 51% dari populasi kota itu benar-benar lahir di Jakarta (Cybriwsky dan Ford, 2001). Beberapa kali di Jakarta pejabat mencoba mengendalikan migrasi dengan mendeklarasikan kota untuk menjadi kota tertutup di mana para pendatang baru tidak diperbolehkan. Namun, upaya ini sia-sia karena jumlah besar migran mengabaikan hukum.
Leaf (1994) mengidentifikasi pertumbuhan cepat kantong perumahan di pinggiran kota Jakarta selama awal 1990-an. Kantong perumahan untuk bertarget sempit moderat dan keluarga berpenghasilan tinggi ditandai di Jakarta di pinggiran (Firman, 1998; Leaf, 1994). Terletak di pinggiran kota, pemukiman ini dibangun di mobil-diakses dan berbagai fasilitasnya berkualitas tinggi seperti lapangan golf modern. Keluarga berpenghasilan tinggi di pusat kota juga pindah ke pinggiran mencari kualitas hidup yang lebih baik (Goldblum dan Wong, 2000). Biaya tinggi dari rumah dan kebutuhan Pembatasan kepemilikan mobil masuk keluarga berpenghasilan rendah ke pasar perumahan pinggir kota. Satu dari lima keluarga di pinggiran kota Jakarta yang dimiliki sebuah mobil (Leaf, 1994).
Leaf (1994) berpendapat bahwa suburbanization di Jakarta adalah hasil langsung dari setidaknya dua kebijakan: subsidi program pembiayaan perumahan dan kota sistem perizinan pengembangan lahan. Kebijakan-kebijakan ini memiliki paling diuntungkan beberapa pengembang yang sangat terkait dengan rezim Orde Baru. Setengah dari pengembangan lahan izin diberikan kepada 16 dari 183 perusahaan pembangunan (Leaf, 1994).
Selain zona perumahan, pinggiran kota Jakarta juga merupakan zona khusus komersial dan perusahaan industri. Ada bagian yang melengkapi kabupaten lain di kota: pusat distrik bisnis di koridor Thamrin-Sudirman, kantor-kantor pemerintah di sekitar Medan Merdeka, pelabuhan internasional Tanjung Priok, dan jaringan yang berkembang jalan raya. Diprakarsai oleh sebuah proyek kolaboratif Bumi Serpong Damai pada awal 1980-an, pinggiran Jakarta juga lokasi dari beberapa kota-kota baru. Pertama kota baru Bumi Serpong Damai direncanakan untuk suatu 600.000 penduduk di wilayah total 6.000 hektar. Proyek ini dikembangkan oleh beberapa pengembang swasta dan dipimpin oleh pengembang swasta terbesar-di Ciputra Group. Kota-kota baru lainnya di pinggiran kota Jakarta termasuk Bukit Jonggol Asri, Pembangunan Jaya, Lippo City, Cikarang Baru, Tigaraksa, Kota Legenda, Kota Cileungsi, Royal Sentul, Bintaro Jaya, Lido Lakes Resort, Gading Serpong, Modernland, Kot Citra Raya, Alam Sutera dan Kedaton (Firman, 1998).
Di sejumlah kota-kota baru, Penyedia Perumahan Negara Badan (Perumnas) bergabung dengan pengembang swasta untuk memastikan bahwa beberapa perumahan menjadi sasaran mereka untuk rendah dan moderat-pendapatan keluarga (Cybriwsky dan Ford, 2001). Sebagian besar kota-kota baru menawarkan relatif sedikit employments. Konsep awal mereka untuk menciptakan masyarakat yang mandiri yang hampir tidak dilaksanakan. Sebaliknya, kota-kota baru adalah "kamar tidur pinggiran kota untuk kota-bound commuters" (Cybriwsky dan Ford, 2001).
Kota baru masih sangat bergantung pada pusat kota (Firman, 2000). Pembangunan perumahan skala besar proyek semakin meningkatkan interaksi harian antara daerah-daerah pinggiran dan pusat kota Jakarta. Memburuk ini masalah lalu lintas di metropolitan Jakarta. Pengembangan kawasan industri di pinggiran Jakarta juga merupakan indikasi spasial manufaktur restrukturisasi yang bergeser dari pusat kota ke pinggiran. Menggunakan data dalam negeri dan investasi asing di berbagai sektor ekonomi di Jakarta dan perifer (Bogor, Tangerang dan Bekasi), Firman (1998) menemukan bahwa pusat kota telah menarik investasi yang tidak proporsional dalam industri jasa, perdagangan dan hotel, dan restoran konstruksi, sementara di pinggiran telah menarik sebagian besar pembangunan industri. Industri utama di Jakarta pinggiran termasuk tekstil, pakaian jadi, alas kaki, plastik, bahan kimia, elektronik, logam produk dan makanan (Cybriwsky dan Ford, 2001).
Sebagai modal dan ekonomi, komersial, budaya dan pusat transportasi Indonesia, Jakarta dan daerah-daerah diperpanjang pertumbuhan willl tetap menarik. Urbanisasi dan suburbanization di metropolitan Jakarta akan terus terjadi. Metropolitan Jakarta yang diperkirakan oleh United Nations Population Prospek pada tahun 2015 akan meningkat menjadi 7,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Tumbuh dari hanya 6,3 persen dan 4,4 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005 dan 1985 masing-masing.
Well Jakarta dan daerah-daerah diperpanjang dapat mengakomodasi urbanisasi dan suburbanization? Jakarta akan mempertahankan pertumbuhannya? I doubt it. Seperti yang saya sebutkan di posting sebelumnya, banjir baru-baru ini adalah bukti kuat untuk mengurangi urbanisasi di Jakarta. Banjir hanya salah satu dari banyak bukti lain, termasuk kemacetan lalu lintas dan perkotaan kemiskinan. Yang sedang berlangsung dan suburbanization urbanisasi di Jakarta akan menciptakan lebih banyak masalah tidak hanya bagi Jakarta tetapi juga untuk Indonesia.
Referensi:
1. Cybriwsky, Romawi dan Ford, Larry R. (2001). Profil Kota: Jakarta. Kota-kota 18 (3): 199-210.
Ernst, John P. (2004). Memulai bus rapid transit di Jakarta, Indonesia. Sebuah makalah tahun 2004 TRB Pertemuan Tahunan.
2. Firman, Tommy. (1998). Restrukturisasi Jakarta Metropolitan Area: Sebuah "kota global" di Asia. Kota-kota 15 (4): 229-243.
3. Firman, Tommy. (1999). Dari "kota global" menjadi "kota krisis": Jakarta Metropolitan Region bawah gejolak ekonomi. Habitat International 23 (4): 447-466.
4. Firman, Tommy. (2004). Pembangunan kota baru di Jakarta Metropolitan Region: Sebuah perspektif segregasi spasial. Habitat International 28 (3): 349-368.
5. Goldblum, Charles, dan Wong, Tai-Chee. (2000). Pertumbuhan, krisis dan perubahan spasial: Sebuah studi tentang urbanisasi sembarangan di Jakarta, Indonesia. Land Use Policy 17: 29-37.
6. Han, Sun Sheng dan Basuki, Ann. (2001). Pola spasial nilai tanah di Jakarta. Urban Studies 38 (10): 1841-1857.
7. Leaf, Michael. (1994). The suburbanization dari Jakarta: Sebuah persetujuan ekonomi dan ideologi. Dunia Ketiga Perencanaan Review 16 (4): 341-356.
8. McGee, T. (1994). Masa depan urbanisasi di negara-negara berkembang: kasus Indonesia. Dunia Ketiga Perencanaan Review 16: iii-xii.
----------------------------
Translate By : Deden Rukmana Assistant Professor of Urban Studies and Planning at Savannah State University, Savannah GA 31404 USA
Tidak ada komentar:
Write comments