17 Jul 2010

2.4. Zoning di Indonesia

Quantcast
Penerbitan KTV 1941 (peraturan tentang lingkungan dan jenis bangunan) untuk kota Jakarta oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1941 dapat dikatakan merupakan awal kehadiran peraturan zonasi di Indonesia.
Dalam perjalanannya terutama pada era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, KTV 1941 dianggap sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan pembangunan kota pada saat itu, karena :.
Pertama ; KTV 41 sama sekali belum mengatur tentang pembangunan bangunan tinggi dan kedua ; karena klasifikasi zonasi yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan pertumbuhan kota Jakarta sebagai kota metropolitan. KTV 41 menetapkan klasifikasi zonasi menjadi 3 kategori utama, yaitu zona urban , zona rural dan zona umum. Ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam peraturan pembangunan sub zona rural terutama tentang batasan minimum luas petak, KDB, serta pemanfaatan lahannya semata untuk lahan pertanian menjadi kendala bagi pembangunan Jakarta.
Untuk menutupi kekurangan tersebut maka pada tahun 1975 diterbitkanlah Peraturan Daerah No.4 Tahun 1975 tentang Ketentuan Bangunan Bertingkat di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta . Setelah itu berbagai Keputusan Gubernur yang terkait dengan pembangunan kota juga diterbitkan (SK Gub No. 540, SK 640, SK 678 dan lain sebagainya). Semua peraturan tersebut tersebar dalam beberapa dokumen yang terpisah dan satu sama lainya tumpang tindih dan kadang saling bertentangan. Disamping itu dari sisi hukum, SK Gubernur kekuatan hukumnya sangat lemah.
Akhirnya Perda 6 Tahun 1999 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DKI Jakarta, menyatakan bahwa KTV 41 tidak berlaku lagi dan diamanatkan untuk segera menyusun peraturan zonasi sebagai gantinya. Sebenarnya upaya untuk menyusun peraturan zonasi di Jakarta sudah dimulai pada awal tahun 1980- an dan kebetulan penulis termasuk yang ditugasi menyusun Peraturan dimaksud. Pekerjaan dimulai dengan mengumpulkan dan mempelajari peraturan zonasi yang berlaku pada beberapa kota di dunia  dan setelah mencari model yang kira-kira sesuai dengan kondisi Jakarta, akhirnya peraturan zonasi untuk Jakarta berhasil disusun pada tahun 2002 tetapi masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah. Naskah Raperda tentang zonasi ini bahkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, cq Dinas Tata Kota telah desiminasikan ke berbagai instansi dan perguruan tinggi, antara lain Dinas-dinas teknis di lingkungan Pemda, Bappeda, Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Bappenas, ITB, UI dan lain-lain. Hasil positipnya adalah kesadaran tentang pentingnya peraturan ini semakin meluas dan apa yang selama ini diharapkan yaitu agar peraturan zonasi menjadi salah satu ketentuan perundangan berhasil diwujudkan. Namun sayangnya raperda dimaksud sampai hari ini belum disahkan menjadi perda karena tidak adanya political will ditingkat pimpinan DKI untuk menyelesaikannya.
Sebagai kesimpulan dapat disampaikan bahwa kelahiran zoning di Amerika maupun Inggris mempunyai latar belakang yang hampir serupa yaitu untuk mengendalikan keserakahan pengusaha properti maupun industri. Sehingga tidaklah salah apabila ada beberapa pakar perencanaan kota memberi respons positip tentang zoning antara lain Robert Hood yang menyatakan bahwa zoning adalah langkah awal menuju community planning di mana milik perorangan tunduk terhadap kepentingan kesejahteraan masyarakat dan Hugh Ferris yang menyatakan bahwa zoning adalah dimensi demokratik dalam pembangunan kota karena melindungi hak publik terhadap hak property yang semula tidak terbatas.
Di Indonesia yang mendorong Pemerintah Hindia Belanda menyusun KTV 1941 adalah sebagai respons terhadap berbagai permasalahan lingkungan kota tua saat itu akibat munculnya hunian-hunian kumuh yang tidak hygienis .Perencanaan sebagian daerah Menteng dan Kebayoran Baru dibuat berdasarkan peraturan tersebut. Sampai saat ini tidak ada kawasan yang bisa menandingi perencanaan daerah Menteng dan Kebayoran, sekalipun Pondok Indah ataupun Simprug. Tetapi sayangnya kondisi Menteng dan Kebayoran sekarang ini secara perlahan tetapi pasti sedang menuju degradasi lingkungan yang parah. Semuanya diawali dengan kemunculan berbagai kegiatan yang tidak kompatibel dengan penggunaan lahan di kedua wilayah tersebut.
Sejarah yang terjadi di Inggris dan Amerika Serikat berulang dinegeri ini. Keserakahan pengusaha properti, kevakuman peraturan zonasi, ditambah lagi dengan adanya kewenangan yang tumpang tindih di sini, itulah yang antara lain menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Konon sebelum era otonomi daerah dimulai kewenangan yang tumpang tindih itu memang tidak bisa dihindari. Kanwil-kanwil yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah seperti Kanwil Perdangangan, Perindustrian, Pariwisata, Kesehatan dan lain sebagainya lebih setia kepada pimpinannya di pusat ketimbang pimpinannya di daerah. Dalam menerbitkan izin usaha perdagangan, industri, hotel, rumah sakit, rumah makan dan lain-lain , para Kanwil tidak mau mengacu dan bahkan tidak mau peduli dengan rencana tata ruang . Meskipun peruntukannya tidak sesuai asalkan ada keterangan domisili dari lurah dan rekomendasi Undang-undang Gangguan ( hinder ordonansi ) dari Biro Kamtib maka izin diterbitkan. Sedangkan di negerinya Paman Sam semua perizinan yang bersifat penggunaan non residential diharuskan memiliki Sertifikat Penggunaan Zoning.

Munculnya berbagai kegiatan yang tidak kompatibel di wilayah Menteng, Kebayoran Baru, Kemang adalah akibat kewenangan yang tumpang tindih itu. Dari sisi penataan ruang jelas hal tersebut menyimpang tetapi dari sisi izin usaha seratus persen legal. Anehnya setelah segala kewenangan tersebut diserahkan kepada dinas-dinas terkait di daerah mengapa praktek sesat tersebut masih berlanjut ? Dinas-dinas daerah sampai saat ini  masih meneruskan kebijakan yang salah kaprah tersebut.

Tidak ada komentar:
Write comments