17 Jul 2010

2.3. ZONING DI AMERIKA

Zoning meskipun di awal kemunculannya di Amerika Serikat sering mendapat kritik tajam dari beberapa pakar karena kuatir akan mengakibatkan rencana kota menjadi rigid, namun pada akhirnya hampir semua sepakat bahwa zoning merupakan instrumen yang sangat penting dalam pembangunan kota.
Bahkan seorang pakar yang juga melakukan kritik tentang zoning mengatakan bahwa zoning for sale is a bad idea. Rigid atau fleksibelnya suatu rencana kota tidak tergantung dari ada atau tidaknya zoning tetapi lebih tergantung pada bagaimana cara menyusun atau membuat aturan-aturan pengendaliannya.
New York adalah kota pertama di Amerika Serikat yang memiliki peraturan zonasi yang disahkan pada tahun 1916, sebagai reaksi terhadap pembangunan The Equitable Building ( sampai sekarang gedung tersebut masih berdiri di 120 Broadway ) . Gedung ini dibangun sangat tinggi dengan building coverage mencakup seluruh lot / petak yang ada sehingga menghalangi pemandangan dari jendela-jendela gedung disekitarnya , mengurangi pancaran sinar matahari dan menimbulkan berbagai macam permasalahan lainnya. Dalam penyusunannya peraturan ini banyak diilhami oleh peraturan serupa yang dimiliki kota-kota di Eropa terutama Perancis dan Jerman. Kemudian peraturan zonasi kota New York dijadikan blueprint peraturan zonasi tingkat nasional yaitu The Standard State Zoning Enabling Act yang diberlakukan bagi seluruh kota di Amerika. Secara kebetulan Edward Basset yang sebelumnya memimpin komisi yang membuat peraturan zonasi kota New York , juga ditunjuk memimpin sekelompok planning lawyer dalam penyusunan naskah tersebut. Peraturan ini diterima tanpa banyak perubahan oleh banyak kota di seluruh Amerika.Setelah melalui perjalanan yang panjang dan seiring dengan terjadinya perubahan yang cepat dalam pembangunan kota akhirnya peraturan zonasi kota New York dinilai tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman karena rigiditasnya. Pada`tahun 1961 akhirnya dilakukan revisi terhadap peraturan zonasi 1916. Beberapa kota lain akhirnya juga mengambil inisiatip untuk menyusun sendiri-sendiri peraturan zonasinya karena memang sebagai negara federasi ada kebebasan setiap negara bagian untuk menyusun peraturan yang berbeda. Namun meskipun begitu hingga sekarang The Standard State Zoning Act masih banyak dipakai oleh kota-kota di Amerika.
Dalam garis besarnya praktek penyusunan peraturan zonasi di Amerika Serikat telah menghasilkan 5 model zoning, yaitu Euclidean zoning, Performance Zoning, Incentive Zoning, Form based zoning dan Euclidean II zoning.
1. Euclidean zoning :
Disebut demikian karena diadopsi dari nama kota di negara bagian Ohio, yaitu Euclid. Peraturan ini pada awalnya digugat ke pengadilan oleh seorang pemilik tanah dan perkaranya sampai ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menolak gugatan tersebut dengan pertimbangan bahwa pertama ; zoning memperbaiki “ nuisance law” , yang disebabkan karena ada beberapa penggunaan tertentu yang tidak kompatibel dengan penggunaan lain dalam distrik yang sama, kedua ; zoningadalah instrumen perencanaan pembangunan kota yang penting. Keputusan Mahkamah Agung tersebut membuat posisi peraturan zoning secara hukum menjadi lebih kuat. Euclidan zoning kemudian menjadi populer dan banyak ditiru oleh banyak kota kecil dan besar di Amerika, disamping itu juga karena Euclidean zoning sangat mudah dilaksanakan, familiar untuk para planner dan designer professional.
Euclidean zoning dicirikan dengan pengelompokan penggunaan lahan ke dalam distrik geografis dan standar dimensi yang menentukan besaran dan batasan kegiatan yang diperbolehkan pada setiap lot / petak yang direncanakan. Klassifikasi penggunaan dalam Euclidean zoning meliputi ; single family, multi family, commercial dan industrial. Beberapa penggunaan pelengkap diperkenankan dengan atau tanpa syarat untuk menampung kebutuhan penggunaan utama. Standard dimensi meliputi posisi bangunan pada tiap petak, setback, minimum luas, ketinggian maximum, koefisien dasar bagunan dan building envelope.
Dalam perjalanannya Euclidean zoning banyak mendapat kritik karena dianggap tidak fleksibel dan akhirnya disadari tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
2. Performance zoning :
Dikenal juga sebagai “effect based planning”, impact zoning dan point system. Performance zoning menggunakan performance based atau kriteria yang berorientasi kepada tujuan melalui penyiapan parameter penilaian terhadap proyek pembangunan yang diusulkan. Performance zoning menggunakan sistim “point based” ( batasan nilai –nilai dasar dari berbagai parameter pembangunan) dimana pengembang properti untuk pertimbangan bisnisnya dapat meminta keleluasaan /dispensasi terhadap ketentuan tersebut dengan pilihan berikut sebagai kompensasi antara lain membangun perumahan yang terjangkau, menyediakan publicamenities ( ruang terbuka hijau dll ) atau pembangunan mitigasi lingkungan. Beberapa kriteria tambahan juga disiapkan sebagai bagian dari proses penilaian.
Performance zoning memiliki tingkat flexibiltas yang sangat tinggi, rasional, transparan dan akuntabilitas. Performance zoning dapat menampung prinsip-prinsip pasar dan hak kepemilikan pribadi dengan melindungi lingkungannya. Namun performance zoning memiliki prosedur yang rumit dan sulit untuk dilaksanakan.
3. Incentive zoning :
Incentive zoning diberlakukan pertama kali di kota Chicago dan New York, ditujukan untuk menyiapkan reward based system untuk mendorong pembangunan agar mencapai tujuan pembangunan kota sebagaimana yang diinginkan. Batasan-batasan dasar pembangunan ditetapkan dan sebuah daftar kriteria insentip juga disiapkan untuk para pengembang, sehingga mereka dapat memilih akan memanfaatkan atau tidak keleluasaan yang diberikan. Skala reward dikaitkan dengan kriteria insentip memberikan suatu peluang bagi para pengembang untuk membangun proyek sesuai dengan yang mereka inginkan asalkan memenuhi beberapa persyaratan, seperti misalnya untuk pembangunan perumahan yang terjangkau di lokasi yang sama akan memperoleh bonus floor are ratio ( FAR ) atau untuk penyediaan fasiltas umum di lokasi yang sama akan memperoleh bonus ketinggian bangunan. Incentive zoning memungkinkan tingkat fleksibiltas yang sangat tinggi tetapi terlalu rumit untuk dilaksanakan karena harus sering melakukan revisi terhadap zoning.
4. Form based zoning :
Form based zoning berpijak pada peraturan yang diterapkan pada lokasi pembangunan dengan menggunakan 2 kriteria, yakni sesuai dengan ketentuan atau tidak sesuai. Kriteria tersebut bergantung kepada ukuran petak, lokasi, penggunaan dan lain sebagainya. Sistim ini lebih fleksibel dibanding Euclidean Code tetapi juga banyak mendapat kritik karena tidak dilengkapi dengan ilustrasi maupun diagram sehingga sulit untuk diinterpretasikan.
5. Euclidean II Zoning.
Euclidean II zoning masih menggunakan klasifikasi zoning Euclidean yang tradisional, namun sistim zoning diklasifikasikan secara hirarkis dilihat dari dampak negatip yang akan ditimbulkannya. Konsep ini hampir mirip dengan konsep Planned Unit Development ( mixed uses ). Contohnya begini, semua zona disusun dalam suatu peringkat dimana zona industri misalnya ditempatkan pada peringkat tertinggi karena dampak negatipnya yang besar, kemudian disusul oleh kegiatan komersial, rumah susun , rumah tunggal dan seterusnya. Kegiatan yang lebih rendah hirarkinya dapat dapat hadir pada zona yang lebih tinggi misalnya rumah susun diizinkan pada zona komersial atau zona industri, kegiatan komersial dapat diizinkan pada zona industri. Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku sebaliknya. Ueclidean II juga menyertakan sarana kota ( transportasi dan utilitas ) sebagai zoning district yang baru didalam matrix zona yang dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu Publik, Semi Publik dan Privat. Ueclidean II zoning memperkuat konsep mixed use dan menjamin tercapainya pengunaan yang terbaik dan berkualitas tinggi. Juga relatip mudah merubah klasifikasi zona yang sudah ada ke dalam sistim Euclidean II zoning.
Satu-satunya kota di Amerika Serikat yang menolak zoning adalah Houston. Para pemberi suara menolak upaya untuk memberlakukan zoning pada tahun 1948, 1962 dan 1993. Houston dalam pembangunan kotanya menerapkan konsep increamental planning, yaitu suatu prinsip melakukan perencanaan land use secara bertahap sesuai permohonan atau usulan yang diajukan tanpa melalui zoning plan. Namun setiap usulan dinilai dengan menggunakan peraturan tata guna lahan yang sebetulnya pada hakekatnya tidak lain adalah juga peraturan zonasi.
Source : Ismail Zubir

Tidak ada komentar:
Write comments