30 Jul 2010

Kontribusi Thomas Karsten bagi Perencanaan Kota di Indonesia : Refleksi bagi Perencana Kota

Karsten dan Kontribusinya
Karsten merupakan salah figur yang penting dalam perencanaan kota-kota di Indonesia. Selama kehadiran di Hindia Belanda selama periode 1914 – 1941, Karsten telah merencanakan 12 kota di Jawa, tiga di Sumatera dan satu di Kalimantan. Pada saat itu jumlah kota tidaklah sebanyak sekarang. Bahkan dapat disebutkan Karsten telah merencanakan setengah dari kota-kota yang ada saat itu (yang jumlahnya 30 kota).


Kontribusi Karsten berkaitan dengan praktek perencanaan kota dan prinsip-prinsip arsitektur di Indonesia. Karsten mengembangkan gagasan mengenai proses dan upaya mengembangkan wacana ilmiah baru dan visi sosial untuk Hindia Belanda saat itu. Gagasan Karsten terutama tumbuh karena ideologi yang dianutnya, yang kemudian ia terjemahkan ke dalam arsitektur. Karsten merupakan salah satu tokoh yang melihat ruang kota dalam konteks yang lebih liberal, berbeda dengan pandangan yang berkembang saat itu, kolonial konservatif. Sentuhan budaya lokal pun merupakan ciri khas Karsten. Ia memberikan pandangan mengenai upaya reformasi untuk memodernisasi masyarakat Hindia Belanda melalui arsitektur, terutama perumahan. 
Meskipun tidak dilatih sebagai perencana kota, Karsten memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap persoalan-persoalan perkotaan, melewati batas pengkotakkan menurut ras.Kasus pertama yang dihadapi oleh Karsten adalah bagaimana merencanakan Kota Semarang. Pada masa itu (tahun 1914), Kota Semarang menglami persoalan menyangkut saluran air kotor, saluran air bersih, perumahan dan sanitasi.Bersama dengan Plate, kepala Departemen Pekerjaan Umum Kota Semarang, Karsten menekankan rencana kota melalui integrasi estetis, kepraktisan, dan persyaratan sosial yang dapat diterima seluruh kelompok masyarakat.
Terkait dengan gagasan kolonialisme yang berkembang saat itu, seluruh komponen sosial diterjemahkan ke dalam bentuk pertentangan. Perencanaan kota kolonial dimplementasikan secara terperinci melalui tatanan hubungan antara berbagai penduduk kota, baik secara etnis, ras, maupun ekonomi. Karsten secara tegas menolak gagasan yang demikian dan memulai suatu proses yang memungkinkan elemen-elemen lokal untuk beriteraksi dengan lemen-elemen kolonial.
Dalam merencanakan public housing atau volkshuisvesting, pengaruh kolonial sangat dominan membentukan pembentukan lanskap kota, sehingga dalam konteks ini perhatian Karsten diarahkan bagi pengembangan perumahan yang memecahkan “masalah-masalah” kolonial (seperti dominasi rumah tinggal bagi warga Eropa, kepemilikan lahan, dll), perbaikan budaya, dan kesehatan. Pada tahun 1971, Karsten merencanakan Candi Baru, sebagai perluasan dari rencana Semarang yang ada dengan mengakomodasi seluruh kelompok etnis menurut kebiasaan masing-masing. Di Yogyakarta dan Solo, Karsten merencanakan bangunan pasar untuk mengorganisasikan pedagang-pedagang kecil. Karsten juga menghasilkan rencana induk untuk kota-kota di pinggiran Batavia, termasuk pula di pusat kotanya.
Pada tahun 1921, Thomas Karsten mempresentasikan makalah Indies Town Planning di Kongres Desentralisasi. Makalah ini dapat dianggap sangat radikal pada waktu itu. Karsten berpendapat bahwa perencanaan kota merupakan aktivitas yang saling terkait (sosial, teknologi, ekonomi, dll.) yang harus dipertimbangkan bagi terciptanya keselasaran lingkungan perkotaan. Gagasan Karsten untuk pendekatan metodologis adalah untuk menciptakan rencana kota organis dengan dimensi sosial yang dapat diterima di Hindia Belanda, begitu juga di Belanda.
Makalah yang disampaikan oleh Karsten memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perencanaan public housing, seperti pedoman kota bagi perluasan perkotaan dan perumahan (1926), prioritas hak atas lahan (1926), dan penyediaan 50% subsidi dalam proyek perbaikan kampung. Tahun 1930, Thomas Karsten bergabung dengan arsitek ternama, politisi, dan birokrat untuk menduduki Town Planning Committee. Komite ini memproduksi rancangan Town Planning Ordinance pada tahun 1938 yang diperuntukan bagi peraturan perencanaan kota, terutama dalam hal mengorganisasikan bangunan dan konstruksi dengan karakteristik sosial dan geografis dan pertumbuhan yang diinginkan. Rencana ini akhirnya tidak mampu diwujudkan karena dimulainya Perang Dunia II.
Kehidupan Karsten: Pandangan Sosial Politik yang Mempengaruhi
Thomas Karsten berasal dari keluarga ningrat. Ayahnya adalah seorang profesor filsafat yang sekaligus adalah seorang wakil rektor. Hal ini yang menyebabkan ia memiliki pandangan yang sangat moderat. Menurut Bogaers (1983) yang menulis biografinya, Karsten adalah seorang yang secara sosial sangat sulit bergaul dan termasuk penyendiri.
Karsten bersekolah di Delf Polytechnische School, dengan mendaftar pada bidang teknik mesin. Dari makalah yang diajukan oleh temannya, Henry Maclaine Pont, fakultas merubah landasan filosofis dan intelektual ketika ia bersekolah disana. Mahasiswa tidak hanya dapat mengajukan proposal kurikulum kepada fakultas, melainkan pula terlibat dalam asosiasi kemahasiswaan ‘Practishe Studie’ (practical study) untuk mendorong aplikasi praktis dari studi teoritis. Keterlibatan dalam asosiasi ini menciptakan jalan hidupnya kemudian. Karsten memiliki perasaan antipati terhadap peradaban Barat yang berlangsung mulai tahun 1920. Ia pun bertekad untuk ‘kembali’ (karena sesungguhnya ia dilahirkan di Jawa) ke Jawa atas undangan temannya, yaitu Henry Maclaine Pont, untuk membantu perusahaan arsitektur yang dimiliki.
Selama empat tahun, tahun 1948, Karsten berhasil mengembangkan sekelompok prinsip-prinsip yang membentuk dasar dari karirnya sebagai perencana kota. Falsfah dasar hidup Karsten dibentuk di Belanda sebelum ia pergi ke Jawa. Kondisi sosial ekonomi yang beragam pada awal abad ke-20 menyebabkan ia memiliki semacam latihan untuk merenungkan kondisi kota kolonial. Dengan mengesampingkan pendidikan yang ia tempuh sebelumnya, Karsten adalah anggota Sociaal Technische Vereeniging, sebuah organisasi profesional yang progresif dan beorientasi terhadap reformasi sosial. Di Amsterdam sendiri, Karsten aktif terlibat dalam debat terkait perencanaan perumahan publik. Karsten pun berteman dengan kelas menengah yang sangat aktif dalam berpolitik (saat itu, Amsterdam merupakan ‘surga’ bagi berkumpulnya intelektual sosialis) yang turut membangun landasan radikal di dalam dirinya. Sebelum pergi ke Jawa, Karsten berkontribusi setidaknya satu laporan perencanaan kota yang signifikan di Belanda berjudul the Volkshuisvesting in de Niuewe Stad de Amsterdam (1909).
Di Jawa, Karsten bekerja di perusahan Maclaine Pont di Semarang. Ia menemkan dirinya berada dalam lingkungan sosial dan ideologis yang menekan. Konteks masalah perkotaan saat itu sangat kompleks. Kesenjangan sosial dimanifestasikan ke dalam kelas sosial sebagaimana halnya ras, di dalam maupun di antaranya kelompok-kelompok tersebut. Secara cepat Karsten mulai terlibat dalam jalinan intrik hirarki kolonial dan lingkungan sosial budaya saat itu. Namun, Karsten mampu menempatkan diri di tengah-tengah yang nantinya akan sangat mendukung bagi upaya mentransformasi kehidupan sosial budaya masyarakat melalui arsitektur.
Prinsip Perencanaan Karsten
Secara umum, perhatian Karsten diarahkan kepada bagaimana merekonsiliasi pertentangan tatanan: perbedaan antara Jawa dan Eropa, begitu juga Cina sebagaimana halnya masyarakat Jawa tradisional dan masyarakat Jawa perkotaan yang kelas menengah. Di dalam peraturan bangunan Buitenzorg (sekarang Bogor), atau disebut Locale Belangen, Karsten menulis sebagai berikut
“[t]he problem was – and is – always the great variation in the buildings that need to be regulated; that extends from intense building (even if not consisting yet of many storeys) to extensive landholdings in the outer suburbs, encompassing both the most modern construction methods and the simplest desa homes, and all differentiated according to the completely different living styles and level of economic development of three, sharply separated races. And, apart from the fact that all these variations have to developed separately as regard technical regulations, is the need to prevent the constantly occurring danger of disorganized intermingling which, from both technical and hygienic, as well as from social and aesthetic reasons is unacceptable.”
Solusi yang ditawarkan oleh Karsten merupakan kombinasi dari berbagai pengendalian – pemahaman terhadap sejumlah perbedaan bentuk - di dalam keseluruhan rencana. Karsten juga menemukan cara untuk mengatasi perbedaan ini melalui pemisahan ras menurut zona atau distrik maupun kelas atau tipe bangunan. Hal inilah yang kemudian membangun prinsip ilmiah dari perencanaan kota. Perencana kota dapat memahami perbedaan kelompok sosial dan nilai yang dianut masing-masing, sembari mencoba untuk lebih fleksibel terhadap perubahan gradual. Disini Karsten memperkenalkan, apa yang disebut oleh Cote (2004), sebagai cultural pedagogy – melalui konsep ini, arsitektur berkontribusi terhadap emansipasi budaya dalam memodernkan lingkungan kota kolonial.Dalam pandangan Karsten, sebuah bentuk kota yang baik merupakan kombinasi makna sosial dan spiritual secara umum, yang dalam konteks rumah, seharusnya mengekspresikan perasaan sosial dan individu yang bernilai bagi penghuninya.
Penutup: Refleksi Singkat
Thomas Karsten merupakan tokoh utama dalam perencanaan kota di Indonesia. Ia memberikan landasan bagi perencanaan kota selanjutnya di Indonesia. Pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran perencanaan kota, muncul dari gagasannya yang sangat radikal di kalangan masyarakat kolonial saat itu. Karsten mencoba untuk mengintegrasikan elemen-elemen lokal dan kolonial ke dalam lingkungan perkotaan, serta mencoba mentransformasikan kehidupan masyarakat Jawa tradisional ke dalam lingkungan sosial kolonial yang modern.
Sayang sekali, saat ini rencana kota kita sedikit sekali memiliki landasan ideologis yang kuat seperti yang dicerminkan dalam pemikiran Karsten. Rencana kota pun lebih beorientasi kepada pemecahan persoalan perkotaan yang seringkali fragmented, ketimbang membantu masyarakat untuk melakukan transformasi sosial budaya yang diharapkan. Terdapat kecenderungan bahwa perencanaan kota telah semakin mekanistik dengan menekankan kepada prosedur yang harus dilalui oleh perencana. Sementara itu, hal-hal mendasar menyangkut visi dan misi bagi perubahan masyarakat sangat jarang sekali disentuh.
Prinsip perencanaan kota oleh Karsten jelas menampakkan posisi keberpihakan perencana terhadap kelompok sosial tertentu, terutama yang dimarjinalkan, meskipun muncul secara samar-samar. Karsten melihat adanya persoalan struktural yang melingkupi masyarakat jajahan, sehingga arsitektur menjadi instrumen yang turut mendorong emansipasi sosial masyarakat jajahan. Pada saat itu, gagasan ini memang mendapatkan ‘angin segar’ melalui Politik Etis maupun UU Desentralisasi saat itu. Karsten-lah yang kemudian menerjemahkannya ke dalam perencanaan kota-kota di Indonesia.
Thomas Karsten memberikan pemikiran yang berani pada masanya. Ia juga menyeimbangkan antara seni dan teknologi, serta transformasi masalah sosial. Mungkinkah perencana kita mampu memiliki gagasan demikian saat ini? Atau setidaknya para perencana mampu mencontoh tentang keberpihakan terhadap kelompok masyarakat yang ditindas dan dimarjinalkan? Semoga saja. 


2008 © Gede Budi Suprayoga

Tidak ada komentar:
Write comments