30 Jun 2010

Konsepsi Penanganan Sampah Perkotaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan


Masyarakat awam, membedakan secara mendasar atas pengertian sampah dan limbah. Kedua istilah dimaksud pada dasarnya merupakan sisa (waste) bahan buangan yang tidak digunakan lagi, walaupun masih dapat diproses untuk kegunaan lain. Pengertian sampah terbatas pada sampah padat baik organik maupun anorganik, sedangkan limbah merupakan bahan buangan (waste) yang dalam prosesnya menggunakan air.

Kedua bentuk buangan (waste) baik sampah padat maupun limbah cair yang bersumber dari lingkungan masyarakat, dan secara umum disebut dengan istilah ”limbah domestik”. Pengertian limbah domestik adalah bahan buangan (waste atau limbah), yang bersumber dari lingkungan masyarakat,dimana bentuk dan komposisinya dapat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungannya. Berdasarkansumbernya, limbah domestik bisa berasal dari permukiman pen-duduk, lingkungan perkantoran,pertokoan dan pasar, maupun home industri.

Berdasarkan kandungan zat kimianya limbah domestik dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) anorganik, seperti misalnya plastik, logam-logam, pecahan gelas dan abu, (b) organik, seperti sisa makanan, kertas, dedaunan, sisa makanan buah dan sayur. Berdasarkan mudah tidaknya dibakar, juga dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) mudah dibakar (kertas, karet, plastik, kain dan kayu), dan berbeda dengan karakteristik berdasarkan mudah tidaknya membusuk. Limbah yang sulit membusuk (plastik, pecahan gelas, dan karet), sedangkan yang relatif mudah membusuk antara lain sisa makanan, dedaunan, sobekan kain dan atau kertas.

Fenomena persampahan yang berada pada 384 kota di Indonesia, tercatat meningkat dari 80,2 juta ton/hari pada tahun 2000, menjadi 89,6 juta ton/ha pada tahun 2006.Penanganan sampah yang diangkut dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebesar 10,4 %, dibakar sebesar 24,8 %, hanyut ke sungai 1,9 % dan tidak tertanganisebesar 62,9 %.

Rendahnya penanganan tersebut selain disebabkan oleh semakin meningkatnya penduduk perkotaan, juga terbatasnya kendaraan pengangkut sampah, serta sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan.

Besarnya timbunan sampah yang belum tertangani, menyebabkan berbagai fenomena permasalahan baik langsung maupun tidak langsung bagi penduduk perkotaan.Selain menimbulkan bahu dan sumber berbagai penyakit menular, juga pudarnya nilai-nilai keindahan kota karena maraknya tumpukan-tumpukan sampah.

Aspek Pengelolaan Sampah Perkotaan
Paling tidak ada 3 aspek penting dalam pengelolaan sampah di wilayah perkotaan, yaitu aspek teknik, kelembagaan, keuangan dan manajemen. Ketiga aspek tersebut secara rinci diuraikan sebagai berikut:
1. Aspek Teknik
Untuk menentukan teknik pengolahan sampah, ciri dan karakter sampah sangat diperlukan informasinya. Karakter sampah yang perlu dikenali antara lain; (a) tingkat produksi sampah, dan (b) komposisi kandungan sampah. Berdasarkan karakter sampahnya, secara umum dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dankemakmuran serta gaya hidup dari masyarakat perkotaan.
Tingkat produtivitas sampah di Indonesia tercatat paling rendah dibandingkan dengan tingkat produktivitas di negara-negara tetangga. Rataan produk sampah harian di Jakarta tercatat 0,8 kg/hari/kk, di Bangkok tercatat 0,9 kg/hari/kk, di Singapura 1,0 kg/hari/kk, dan di Seoul sebanyak 2,8 kg/hari/kk. Namun demikian, berdasarkan komposisi sampah organiknya di Jakarta tercatat 16,3% dan sampah anorganik (83,7%), di Bangkok sampah organik 87,4%dan 12,6% sampah anorganik, di Singapura sampah organik 77,8% dan 22,2% sampah anorganik, sedangkan di Seoul sampah organik 89,4% dan sampah anorganiknya 10,6%.
Secara teknis data (informasi) produktivitas dan komposisi sampah, sangat berpengaruh terhadap sistem pengelolaan yang direncanakan. Hal tersebut mengingat rancang tindak penanganan yang hendak dilakukan haruslah mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dari karakter sampah yang ditimbulkan, keterkaitannya dengan sistem pengangkutan, efektifitas waktu timbun sampah, peralatan penunjang dan sarana-prasarana di tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir (TPA).

2. Aspek Kelembagaan
Secara umum pengelolaan sampah di Indonesia dilakukan oleh Dinas Kebersihan.Selain berfungsi sebagai pengelola sampah, dinas tersebut juga berperan sebagai pengatur,pengawas, dan pembina pengelola persampahan. Sebagai pengatur, Dinas Kebersihan bertugas membuat peraturan-peraturan, sebagai pengawas selain melaksanakan evaluasi hasil pemantauan kinerja juga memberikan sangsi kepada operator. Agar kinerja para operator meningkat maka peranan Dinas Kebersihan juga melakukan pembinaan melalui pelatihan-pelatihan untuk mendapatkan umpan balik atas pelayanan pengelolaanpersampahan.

Walaupun wewenang Dinas Kebersihan hampir mencakup seluruh alur kegiatan pengelolaan sampah, akan tetapi pada beberapa permukiman elite pengelolaan sampahnya dilakukan oleh masyarakat maupun pihak swasta. Masyarakat lebih banyak terlibat pada aktivitas di tempat pengumpulan sampah, sedangkan pihak swasta umumnya pada aktivitaspengangkutan dan proses-proses pemanfaatannya.

Kurangnya pengetahuan dalam menyusun rancang tindak penanganan sampah berdasarkan kebutuhan alat, jarak tepuh dari TPS ke TPA, serta tumpang tindihnya fungsifungsi dari Dinas Kebersihan, menyebabkan pengelolaan persampahan menjadi tidak efektif. Hal tersebut mengingat bahwa Dinas Kebersihan yang bertindak sebagai pihak pengatur, seharusnya mengukur kinerja keberhasilan pengelolaan sampah, sebagai dasar penyempurnaan rancang tindak penangannya, dan bukan sebagai pelaksana penanganan persampahan.

3. Aspek Keuangan dan Manajemen
Sumber pendanaan pengelolaan sampah selain APBD juga hasil retrribusi jasa pelayanan persampahan yang berasal dari konsumen (masyarakat). Umumnya ketersediaan dana pemerintah untuk menangani persampahan sangat kecil, demikian halnya dengan perolehan yang bersumber dari retribusi. Rata-rata retribusi yang diperoleh berkisar antara Rp 3.500,- dan Rp 5.000,- /bula/konsumen. Kedua sumber pendanaan tersebut masih jauh dari biaya yang diperlukan untuk mengelola pelayanan sampah.
Selain penyediaan dana yang relatif terbatas, kepincangan pengelolaan sampah juga sering diperburuk dengan banyaknya retribusi yang tertunggak, hingga menyebabkanterganggunya pelayanan kebersihan sampah.

Konsepsi Penanganan Sampah Tepadu
Mecermati aspek permasalahan dalam pengelolaan sampah, untuk itu upaya-upaya yang harus dilakukan antara lain meliputi pemantapan kebijakan persampahan, penanganan sampah regional, memacu kearifan masyarakat terhadap fenomena persampahan, dan peningkatan teknologi ramah lingkungan.
1. Kebijakan Pemerintah
Permasalahan sampah perkotaan di Indonesia, telah muncul sejak dekade tahun 1990-an. Meski demikian, kebijakan strategis yang telah ditetapkan oleh pemerintah baru pada tahapan yang erat kaitannya dengan aspek teknis, yaitu: melakukan pengurangan timbulan sampah dengan menerapkan konsep 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle), dengan harapan pada tahun 2025 tercapai “zero waste“. Padahal pada saat sekarang diperlukankebijakan yang handal sebagai payung baik di tingkat pusat maupun daerah keterkaitannya dengan penanganan persampahan.
Pendekatan pengelolaaan persampahan yang semula didekati dengan wilayah administrasi, dapat diubah dengan melalui pendekatan pengelolaan persampahan secara regional. Pendekatan regional dimaksud dengan menggabungkan beberapa kota dan atau kabupaten dalam pengelolaan persampahan. Hal tersebut sangat menguntungkan, karena akan mencapai skala ekonomis baik dalam tingkat pengelolaan TPA, dan pengangkutan dari TPS ke TPA. Berbagai prinsip yang perlu dilakukan dalam menerapkan pelaksanaan pengelolaan persampahan secara regional ini adalah sebagai berikut:
a) Menyusun peraturan daerah (Perda) bersama yang mengatur pengelolan persampahan.
Peraturan tersebut berisi berbagai hal dengan mempertimbangkan aspek hukum dan kelembagaan, teknik, serta aspek keuangannya.
b) Pemantapan kelembagaan dengan memisahkan peranan fungsi tupoksi yang jelas antara pembuat peraturan, pengatur/pembina dan pelaksana (operator), hingga optimalisasi kinerjanya dapat dievaluasi dan dinilai.
c) Penetapan indikator kinerja berdasarkan aspek teknis, memberikan indikasi (1) seluruh timbunan sampah akan diangkat ke TPA dalam waktu 24 jam, (2) teknik pengangkutan sampah tidak menyebabkan pencemaran bau, (3) pengoperasian di TPA telah ditetapkan sistemnya (contoh sistem sanitary landfill), dan (4) pemanfaatan sampah sebagai sumber ekonomi melalui penerapan daur ulang, atau pemanfaatan untuk kompos.
d) Adanya kesepakatan antar kabupaten/kota (regional) dalam kaitannya dengan restribusi persampahan, hingga alokasi antara dana yang dibebankan oleh pemerintah danmasyarakat berimbang.

2. Sosialisasi Penyadaran Masyarakat
Fenomena persampahan tampaknya bukan hal yang sederhana, karena sepanjang ada kehidupan manusia permasalahan tersebut akan selalu timbul. Walaupun kebijakan persampahan telah tersedia, ditambah dengan bentuk kelembagaannya, serta indikator kinerja dan tetapan alokasi pendanannya baik yang bersumber dari APBD dan masyarakat, tampaknya belum merupakan jaminan mantapnya pengelolaan sampah secara terpadu berkelanjutan, apabila kesadaran masyarakat tidak dibangun.

Hal tersebut mengingat bahwa keberhasilan penanganan sampah sangat ditentukan oleh ”niat kesungguhan masyarakat” yang secara sadar peduli untuk menanganinya. Atas dasar itulah pentingnya sosialisasi penyadaran masyarakat baik melalui jalur formal maupun informal yang antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Penyadaran formal, diberikan kepada generasi muda di sekolah (SD, SLTP, dan SLA) melalui pemantapan kegiatan ”Krida” mingguan.
b) Penyadaran informal, diberikan kepada masyarakat dalam kaitannya penanganan sampah berbasis kesehatan lingkungan, untuk itu perlunya (1) penyadaran masyarakat, untuk menghargai terhadap alam lingkungannya, agar tidak lagi membuang limbah domestik (sampah padat dan limbah cair) ke bukan tempatnya, dan (2) masyarakat hendaknya mulai sadar dan berkiprah untuk memilah-milah sampah berdasarkan jenisnya, guna menghindari sumber-sumber penyakit menular, sebagai akibat dari limbah domestik yang cepat membusuk.

Uraian Penutup
Persampahan telah menjadi suatu agenda permasalahan utama yang dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan di Indonesia. Pesatnya pertambahan penduduk yang disertai derasnya arus urbanisasi telah meningkatkan jumlah sampah di perkotaan dari hari keharinya.

Keterbatasan kemampuan Dinas Kebersihan dalam menangani permasalahan tersebut menjadi tanda awal dari semakin menurunnya sistem penanganan permasalahan tersebut. Hal tersebut semakin dipersulit dengan terbatasanya lahan TPA sampah, jumlah sarana pengangkutan, serta pengelolaan sampah di TPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan.

Kekurang pedulian penanganan persampahan yang dilakukan oleh pemerintah, dapat dilihat dari kecilnya anggaran yang disediakan. Sementara itu masyarakat secara umum belum menunjukkan adanya indikasi (pertanda) kearah penanganan sampah secara mandiri dan berkelanjutan. Mencermati kecenderungan belum sadarnya masyarakat, upaya penyadaran secara formal dan informal kini menjadi urgen untuk diimplementasikan.

Dalam pada itu kelembagaan yang tersedia pada umumnya telah sesuai dengan tatanan pengelolaan sampah, akan tetapi sumberdaya manusia menjadi urgen, selain untuk mengerakkan roda penanganan sampah juga sosialisasi untuk memacu kesadaran masyarakat.

Daftar Pustaka
  • ACT Government homepage on line [accessed April 1999]. No Waste by 2010.
  • Bureau of Industry Economics. 1993. The Waste Management and Landfill Pricing. A Scoping Study. Canberra: Australian Government Publishing Service.
  • Dinas Kebersihan Kotamadya Bandung. 1999. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Kerja dan Program Kerja Dinas Kebersihan Kotamadya Bandung.
  • Ministry of Public Works Rep. Of Indonesia on line [accessed April 1999). Informasi Peta Departemen Pekerjaan Umum.
  • Rabinovitch, Jonas. 1992. Curitiba: towards sustainable urban development. Environment and Urbanization Vol. 4 No. 2, p62-73.

Tidak ada komentar:
Write comments