25 Jul 2010

Diperlukan Re-inventing Planning dalam Menata Kota

“Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di perkotaan, yang mampu menjawab sekaligus berbagai tantangan seperti urbanisasi, penanggulangan kemiskinan, permukiman kumuh, kualitas lingkungan, dan masalah transportasi, penataan kota-kota di Indonesia memerlukan kualitas rencana tata ruang kota yang dapat mengoptimalkan potensi sumber-daya lokalnya, karena dengan proses ‘pembangunan bermula dari dalam’-endogenous development-kepemilikan warga kota terhadap nasib kotanya akan semakin tumbuh, dan akan lebih tercipta sinergi dari berbagai pemangku kepentingan’, demikian disampaikan oleh Imam S Ernawi, Dirjen Penataan Ruang Departemen PU, dalam acara Sarasehan “Merencanakan Masa Depan Perkotaan Kita”, memperingati Hari Habitat Dunia, di Palembang, 5 Oktober 2009.


Tak dapat dipungkiri, bahwa terbitnya Undang-undang Penataan Ruang No. 26 tahun 2007 (UUPR) merupakan sebuah langkah reformasi di bidang penataan ruang yang cukup signifikan serta telah mengubah pola pikir kita selama ini dalam menyikapi problematik penataan ruang, termasuk di perkotaan. Beberapa terobosan yang diamanatkan dalam UUPR tersebut antara lain pentingnya penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pertimbangan untuk mitigasi bencana, persyaratan minimal ruang terbuka hijau 30% di kawasan perkotaan, pengenaan sanksi yang tegas, dan lahirnya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di bidang penataan ruang. Namun, Undang-undang saja tidak cukup, dalam hal perencanaan tata ruang saja, misalnya dikaitkan dengan tema World Habitat Day 2009 yang bertemakan “Planning Our Urban Future”, diperlukan reformasi pula dalam perencanaan dan bahkan perancangan kota.


Dalam re-inventing planning tersebut, kawasan perkotaan harus dilihat sebagai kawasan yang memiliki hubungan organik dengan kawasan di sekitarnya, sehingga kesaling-tergantungan kota-desa menjadi pertimbangan utama. Selain itu, optimalisasi potensi dan asset kota, seperti yang antara lain diterapkan oleh pemerintah kota Palembang, tuan rumah peringatan Hari Habitat Dunia 2009, misalnya dalam merevitalisasi kawasan Benteng Kuto Besak, ternyata telah cukup efektif untuk mendorong perencanaan dan pembangunan kawasan yang melibatkan warga kotanya.

Imam menambahkan, pembangunan berbasis asset kotanya tersebut akan berhasil menuju cita-cita kota lestari, setelah mengakomodasi minimal kriteria: (1) memenuhi kebutuhan dasar warganya, seperti hunian dan kesehatan, (2) tumbuh-kembangnya kegiatan masyarakat madani di bidang perkotaan, seperti komunitas hijau dan gerakan pelestari kota, (3) kualitas kawasan pusaka dan kehidupan budaya, (4) tumbuh-kembangnya daya kreatif dan inovasi warga di perkotaan, (5) pemanfaatan yang lestari dari sumber daya alam kota, seperti wilayah sungai dan hutan kota, (6) kualitas lingkungan fisik, seperti air dan udara, serta (7) kualitas dan kemanfaatan infrastruktur kota bagi mayoritas warga kotanya.

Selain itu, pengembangan inklusif dan pro-poor, peran dunia usaha, penerapan perancangan kota, serta pengembangan ketrampilan perencanaan dan penguatan kelembagaan asosiasi profesional di bidang perencanaan, juga harus seiring dilakukan .


Tidak ada komentar:
Write comments