20 Jul 2010

Terburuk Dalam Penataan Kota? Bandung Mesti Berbenah, Jadi Kota Ideal Lagi

Jalan Asia Afrika, bagian dari Groote Postweg yang diperintahkan Daendels. Termasuk 7 titik yang tak boleh ada PKL dan papan reklame. Jalan paling top di Bandung, kebanggaan warga.


Kota Bandung mendapat predikat baru sebagai kota terburuk dalam aspek penataan kota. Predikat itu diberikan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAPI) yang melakukan survey Indonesia Most Liveable City Index tahun 2009. Hasil survey ini mengindikasikan, warga kota Bandung memang sangat tidak puas dengan kondisi penataan kotanya. Ada lima kriteria paling tidak nyaman yang dirasakan warga, yakni ; penataan kota (3 %), kebersihan lingkungan (9 %), ketersediaan fasilitas untuk kaum difabel (11 %) dan ketersediaan ruang terbuka hijau (14 %).

Predikat ini memang kurang mengenakkan kita semua. Kota yang dulu terkenal dengan Parisnya Jawa, kini menjadi kota yang tidak nyaman. Soal sampah yang tak kunjung tertangani dan drainase kota yang buruk, ikut berpengaruh sehingga kota ini kurang pantas lagi menyandang predikat Kota Kembang. Kesemrawutan lalu lintas mengakibatkan tingkat polusi udara sudah mengancam kesehatan warga. Banyak sungai tercemar dan mengalami pendangkalan di sana sini, menyebabkan banjir sering terjadi. Komersialisasi yang bergerak terlalu jauh hingga merampas ruang2 publik.

Hanya 5 kriteria paling nyaman yang dirasakan penduduk Bandung, yaitu ; telekomunikasi (97 %), fasilitas pendidikan (94 %), ketersediaan listrik (91 %) dan angkutan umum (89 %). Soal angkutan umum pun masih perlu ditata lagi. Selama ini, angkutan kota menyebabkan kemacetan lalu lintas hampir di semua jalan yang dilaluinya. Idealnya sebuah kota harus dilengkapi dengan ketersediaan; berbagai kebutuhan dasar masyarakat perkotaan, seperti hunian yang layak, air bersih dan listrik berbagai fasilitas umum dan sosial, seperti transportasi publik, taman kota, fasilitas ibadah, kesehatan, ruang dan tempat publik untuk bersosialisasi dan berinteraksi keamanan, bebas dari rasa takut, mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya sanitasi dan keindahan lingkungan fisik.

Beberapa masalah yang dimaksud ; plafon merana di Jl. Asia Afrika, depan Gedung Dezon. Pengemis, gelandangan dan PKL bertebaran sepanjang lorong ini.

Banjir cileuncang di Jl. Stasiun Timur. Ini sungai atau jalan, sih? Siap-siap dandanan rusak terciprat. BTW, grup band ST 12 mengambil singkatan nama jalan ini.

Rumah bedeng di pinggiran sungai Jl. Siliwangi. Jarak 50 meter untuk bantaran anak sungai tak diindahkan. Dilema antara ruang hidup yang mahal dan bencana hanyut saat banjir besar.

Dari berbagai kriteria tsb, hanya beberapa yang sudah cukup memuaskan warga kota Bandung. IAPI melakukan risetnya tidak hanya di Bandung, melainkan juga di 121 kota besar lain di Indonesia, diantaranya ; Medan, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Pontianak, Palangkaraya, Makasar, Manado, dan Jayapura. Yang membuat kita prihatin adalah hasil penilaian IAPI ini menunjukkan Bandung memiliki rapor paling buruk. Namun, masuk akal jika kita memperhatikan kota Bandung saat ini yang padat, sumpek, lalu lintas semrawut, trotoar banyak berubah fungsi dan minimnya ruang terbuka hijau.

Rapor terburuk ini harus disikapi Pemkot Bandung dan warganya dengan langkah bersama mewujudkan kota yang dulu pikabetaheun, kembali menjadi kota ideal. Warga makin betah dan wisatawan makin sering datang dan berbelanja, tanpa mengeluh lalu lintas semrawut, kotor dengan sampah dan udaranya makin panas. (PR, 4/1/2010)

Mejelang pergantian tahun 2010, saya sempat melihat buku2 karya mendiang Ir. Haryoto Kunto, alumni jurusan Planologi ITB, kelahiran Bandung, 23 Juli 1940. Bagi pria yang berkiprah di Bappeda Jabar ini, Bandung adalah kota penuh pesona, seperti tergambar di beberapa karya tulisnya, diantaranya ; “Wajah Bandung Tempo Doeloe” (1984), “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (1986), “Savoy Homann : Persinggahan Orang-orang Penting” (1989), “Balai Agung di Kota Bandung” (1996), “Tempo Doeloe Cepat Berlalu” (1996) dan “Ramadhan di Priangan” (1996).

Vila Isola, sekarang kompleks UPI (dilihat dari udara). Inset : tampak depan Isola. 

Beberapa turis Perancis yang datang ke Bandung mengatakan, tak melihat kemiripan antara kotanya dengan Bandung. Andai mereka membuka buku-buku Haryoto Kunto, mengamati foto2 ilustrasinya yang antik, kemiripan itu ada. Saya sempat terpukau melihat rapinya penataan kota dan asrinya taman-taman di seantero Bandung. Wajah Braga tempo doeloe, wanita2 bule berpakaian ala Cinderella di Gedung Merdeka (dulu Societeit Concordia) dan Gedung Pusat Kebudayaan Asia Afrika (dulu bioskop Majestic) dan kemegahan markas Kementerian Peperangan Hindia Belanda (kini kawasan Kodam III Siliwangi). Desain jalannya begitu indah, layaknya Garden City. Ada sequence2 yang memikat, jalan lebar, teduh dan berbunga. Kabut nan sejuk menghiasi rumah2 besar berhalaman luas. Satu2nya yang mengganggu ; para pribumi leluhur kita di situ bukan sebagai pemilik rumah atau pengunjung opera. Tetapi sebagai budak dan pelayan para londo penjajah itu.

Sedihnya setelah merdeka, kota indah bakal ibukota Hindia Belanda ini, lambat laun menurun kualitasnya sampai dijuluki kota terburuk (dalam penataan kota). Justru setelah anak negeri yang mengurusnya. Apa kita kekurangan ahli penataan kota yang andal? Atau pihak pamong praja tidak cukup paham cara menata kota yang baik dan implementasinya di lapangan ? Atau warga kota kurang peduli dengan perkembangan kotanya, sekaligus kurang displin terhadap aturan yang telah dibuat pemkot, seperti K3 ? Atau kurangnya dana dan pengawasan sehingga oknum petugas bisa main mata dengan oknum pengusaha untuk membengkokkan peraturan? Atau memang kota ini sudah berlebihan beban, karena begitu banyaknya buruh migran / pengadu nasib yang masuk, melebihi kapasitas desain awal kota Bandung. Atau warga Bandung sendiri (responden) sangat tinggi tuntutan pemuasannya ?  (ingat, banyak band yang grogi tampil di Bandung, karena “sadis”-nya penonton Bandung mengkritisi performance band2 di bawah standar mereka). Atau a, b, c, d, e sekaligus ? (seperti multiple choice saja).

Yang jelas, banyak PR buat kita semua, para pemangku kepentingan (stake holder). Blog ini salah satunya bertujuan memberi wawasan perkotaan bagi orang awam agar terketuk berbuat lebih baik bagi lingkungan kotanya. By the way, dalam kondisi kurang tertata pun, pengunjung Bandung kian membludak dari hari ke hari, khususnya weekend. Jumlah unit kamar penginapannya lebih banyak dari kota2 di Bali, yang menjadi pilot destination kunjungan wisata Indonesia, bersama Jakarta dan Batam. Fully booked. Bandung punya magnet luar biasa. Keramahan sebagian besar warganya, produk kreatif anak mudanya ( distro, craft, dll ), ragam factory outlet-nya, banyaknya jenjang pendidikan bermutu, plus jangan lupa, kekayaan wisata kulinernya. 

Mungkin diawali dari kualitas beras Jabar yang kampiun seantero nusantara. Kata orang, kalau nasinya pulen, makan dengan garam pun enak. Kalau nasinya tidak enak, makan dengan rendang pun kurang enak. Apalagi kalau nasinya pulen dan lauknya nan lezat. Beragam pula. Makanan dari seluruh dunia ada di Bandung, tinggal pilih. Mau karedok atau kebab ? Makanan nusantara atau Eropa ? Timur Tengah ? Afrika ? Oriental ? Murah meriah. Setiap hari ada pilihan baru. (Wah, jadi promo terselubung).

Hawanya relatif sejuk pula. Dilihat dari permukaan laut, posisi Bandung (715 m dp) setelah Gunung Malabar (2.347 mdpl), Tangkuban Perahu (2.075 mdpl), dan Lembang (1.320 m dpl). Di bawah Bandung, baru ada Garut (715 m dpl), Sukabumi (600 mdpl), Bogor (266 m dpl), Yogyakarta ( 113 m dpl), Solo ( 104 mdpl), Madiun (62 mdpl), Kediri ( 62 mdpl), Cirebon, Surabaya, Semarang dan Jakarta. Terpikir juga, kalau kota Bandung kian tertata, saya benar2 harus ngumpet di rumah, terutama akhir pekan. Pasalnya, orang akan makin tumplek bleg di jalanan Bandung. Lalu lintas padat merayap. Sudah sejak jaman kolonial, jumlah turis lebih banyak dari jumlah penduduk Bandung sendiri. 

Sebagian dari keindahan masa lalu kota Bandung. Dirancang oleh Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker (1882-1949). Karya lainnya ; 1918, Villa Merah ITB, Jalan Tamansari 78 1918, Gedung Sabau, Jl. Kalimantan 1920, KOLOGDAM (Jaarbeurs), Jl. Aceh 50 1921, Gedung Merdeka, Jl. Asia Afrika 65 1922, Landmark (Van Dorp), Jl. Braga 1922, Gereja St. Petrus, Jl. Merdeka 1925, Bioskop Majestic, Jl. Braga 1925, Centre Point (Ruko), Jl. Braga 117 1925, Gereja Bethel, Jl. Wastukencana 1 1925, Observatorium Bosscha, Lembang 1929, Hotel Preanger, Jl. Asia Afrika 81 1933, Mesjid Cipaganti, Jl. Cipaganti 85 1934, Gedung PLN (Gebeo), Jl. Asia Afrika 63 1935, Penjara Sukamiskin, Jl. Ujung Berung

Tidak ada komentar:
Write comments