Kali ini saya akan membahas mengenai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, yang berarti keluar dari lingkup perencanaan, yaitu peraturan zonasi. Meskipun demikian, antara perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang keduanya tidak dapat dipisahkan. Perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan komponen-komponen dari pelaksanaan penataan ruang, yang nantinya menentukan wujud dan struktur tata ruang.
Pemahaman tentang peraturan zonasi merupakan sesuatu yang relatif baru. Banyak sekali persoalan-persoalan terkait peraturan perundangan yang mengatur mengenai penyusunannya, disamping persoalan-persoalan praktis di lapangan. Dengan disebutkannya secara eksplisit di dalam UU Penataan Ruang, maka mau tidak mau pengerucutan terhadap pemahaman mutlak diperlukan. Oleh karena itu, saat ini praktik di lapangan berpotensi akan sangat beragam diseusikan dengan interpretasi masing-masing konsultan tata ruang. Begitu juga dengan instansi terkait yang memerlukan penyusunan peraturan zonasi. Tulisan ini hanya memberikan overview perihal persoalan-persoalan tersebut, meskipun akan banyak pertanyaan yang mengikuti. Tulisan ini dapat menjadi pemicu untuk lebih mendiskusikannya bersama-sama. [ ]
Persoalan-persoalan yang Melingkupi Peraturan Zonasi
Saat ini, seringkali terjadi kesalahpahaman mengenai peraturan zonasi dengan rencana tata ruang. Banyak orang menganggap, terutama para profesional, bahwa pengerjaan rencana tata ruang dan peraturan zonasi adalah sama. Oleh karenanya, pengerjaan keduanya disatukan. Padahal, jelas disebutkan bahwa antara keduanya berbeda. Peraturan zonasi (zoning regulation) ditujukan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, sementara itu, rencana tata ruang masuk ke dalam lingkup perencanaan yang merupakan proses untuk menentukan struktur dan pola ruang. Dalam Ketentuan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian peraturan zonasi sama sekali tidak disebutkan. Hal ini sama sekali tidak mengherankan karena instrumen-instrumen lainnya dalam konteks pengendalian pun tidak diuraikan lebih lanjut. Namun, dalam penjelasan umum angka 6, peraturan zonasi dijelaskan sebagai:
“Ketentuan yang mengatur tentang tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.”
Pada penjelasan pasal 36 ayat 1 disebutkan:
“Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci ruang.”
Dalam pengertian ini, peraturan zonasi dibuat sebagai penjabaran dari zona peruntukan yang termuat di dalam rencana rinci, yang merupakan pengaturan terhadap pemanfaatan ruang dan pengendaliannya. Apa yang disebut sebagai rencana rinci? Rencana rinci tediri atas:
- Rencana tata ruang pulau/kepulauan, dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
- Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
- Rencana detail tata ruang kabupaten/kota, dan rencana tata ruang kawasan strategisnya.
Hanya saja, terdapat ketentuan yang menyatakan rencana detail tata ruang didasarkan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi. Hal ini didasarkan atas interpretasi terhadap Pasal 14 ayat (6) UU No. 26 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa:
“Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.”
Dengan demikian, terdapat kesulitan untuk menerjemahkan dalam lingkup mana sebaiknya peraturan zonasi diterapkan. Pasal 14 (6) ini memberikan arahan bahwa peraturan zonasi hanya meliput kepada tata ruang kabupaten/kota. Sementara itu, pada Pasal 36 ayat (2) disebutkan peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Kebingungan mulai muncul dari ayat selanjutnya (Pasal 36 ayat 3) yang menyebutkan bahwa peraturan zonasi ditetapkan peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional, peraturan daerah propinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem propinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi. Apakah ini berarti bahwa nasional dan propinsi juga memiliki peraturan zonasi? Apakah muatan peraturan zonasi yang terdapat dalam RTRWN, RTRWP, RTRWKabupaten/Kota, dan rencana rinci dapat dibedakan? Apabila benar ada demikian, apa saja muatan dari peraturan zonasi yang disusun oleh nasional dan propinsi? Belum lagi pertanyaan-pertanyaan teknis seperti: bagaimana menyusun amplop ruang pada kedalaman sistem nasional dan propinsi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membingungkan bagi mereka yang akan menyusun peraturan zonasi. UU Penataan Ruang menetapkan adanya istilah “indikasi arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional” untuk arahan pengendalian pemanfaatan ruang pada tingkatan RTRWN dan RTRWP, “ketentuan umum peraturan zonasi” untuk RTRWKabupaten/Kota dan arahan peraturan zonasi untuk RTR Kaw. Metropolitan/Megapolitan, dan Agropolitan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengani: apa perbedaan peraturan zonasi tersebut dengan yang disusun dari rencana rinci tata ruang? Persoalan lainnya adalah: siapa yang menetapkan peraturan zonasi untuk RTR Kaw. Metropolitan/Megapolitan/Agropolitan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan ketetapan yang mengatur pelaksanaannya secara lebih operasional. Saat ini saja, sudah terdapat “suara-suara” untuk melakukan revisi terhadap UU Penataan Ruang, sehingga pemahaman yang “membingungkan” di atas dapat diperjelas.
“Kebiasaan-Kebiasaan” dalam Menyusun Peraturan Zonasi
Saya sebutkan dengan “kebiasaan-kebiasaan” disini adalah praktik yang umum diterapkan dalam menyusun peraturan zonasi, terlebih yang diinterpretasikan di kalangan akademisi di PWK – ITB.
Dalam kaitannya dengan pengendalian pemanfaatan ruang, Denny Zulkaidi, salah satu anggota Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota Institut Teknologi Bandung (KK PPK – ITB), menempatkan peraturan zonasi sebagai perangkat utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Di bawahnya terdapat perangkat insentif dan disinsentif, perizinan, dan sanksi. Dalam pernyataan UU Penataan Ruang, keempat instrumen tersebut (termasuk peraturan zonasi dibuat sejajar), namun pertimbangan praktis bahwa ketiga perangkat yang disebut belakangan didasarkan atas peraturan zonasi. Hal inilah yang menyebabkan peraturan zonasi berkesan dominan dan perlu mendapat perhatian lebih dalam melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal tersebut memang tidak salah, namun dalam hemat sama, perizinan pun dapat dilakukan tanpa menunggu disusunnya peraturan zonasi, melainkan mengacu kepada rencana. Namun, apabila peraturan zonasi telah ada, maka keterkaitannya dengan perizinan menjadi tidak terhindarkan lagi.
Lebih mudah memahami penyusunan peraturan zonasi dalam kaitannya dengan penyusunan rencana rinci (atau RDTR Kawasan Perkotaan). Dalam praktiknya, keduanya (rencana dan peraturan zonasi) dapat dilaksanakan bersamaan dalam penyusunannya. Hal ini dapat menghemat biaya penyusunan RDTRK dan peraturan zonasi, karena ada bagian-bagian yang overlap. Peraturan zonasi berisi: guna lahan, intensitas bangunan dan tata massa, dan aturan pemanfaatan ruang. Dua hal pertama yang disebutkan sebelumnya merupakan bagian yang harus ada di dalam RDTRK. Dalam konteks selanjutnya, antara rencana rinci kota dan peraturan zona dapat menjadi pedoman dalam penyusunan RDTRK dan rencana yang lebih teknis (RTRK / RTBL). Pelaksanaan survei lapangan akan lebih menghemat waktu dan biaya apabila dilaksanakan secara berbarengan, namun tetap keduanya adalah entitas yang berbeda.
Di berbagai negara, peraturan zoning terdiri dari dua unsur, yaitu zoning text/zoning statement dan zoning map. Zoning map berisi aturan-aturan (atau menjadi sisi dari regulasinya), yang menjelaskan mengenai tata guna lahan dan kawasan, pemanfaatan yang diizinkan dan diizinkan dengan syarat, standar pengembangan, minumum lot requirement, dll.. Sementara itu, zoning map berisi pembagian blok peruntukan dengan ketentuan aturan untuk tiap blok peruntukan. Selain itu, zoning map menggambarkan mengenai tata guna lahan dan lokasi tiap fungsi lahan dan kawasan. Dalam praktiknya peta zonasi dibuat dalam kode zonasi yang digambarkan dalam bentuk huruf dan angka. Kuncinya adalah membuat sistem pengkodean yang konsisten yang dapat dengan mudah diingat dan dibaca.
Dilihat dari rincian materi yang diatur, dapat diuraikan sebagai berikut:
- Kegiatan yang diperbolehkan
- Kegiatan yang dilarang
- Aturan khusus untuk kegiatan
- Kegiatan tambahan dan aturannya
- Kegiatan bersyarat dan aturannya
- Pengecualian khusus
- Ketentuan luas persil
- Ketentuan luas pekarangan (sempadan depan, samping, belakang)
- KDB maksimum
- Luas minimum/maksimum lantai bangungan
- Batas tinggi bangunan
- Variansi
Sebagai kritik atas teknik peraturan zonasi yang kaku, maka terdapat varian zoning yang berkembang. Teknik-teknik tersebut tidak akan dibahas lebih lanjut disini karena beragam sesuai kebutuhan. Intinya, bahwa persepsi zoning sangat ketat dan sukar diubah, tidaklah benar. Zonasi mengalami revisi dengan mengikuti tahapan proses pengubahannya. Pertimbangan-pertimbangan lokal pun akan sangat banyak mewarnai persoalan: kapan diperlukan revisi? Bagaimana prosesnya? Siapa saja yang mengajukan?
Kesimpulan
Tidak ada komentar:
Write comments