Terdapat jargon bagi sebagian orang, “kota telah berubah”. Dalam benak sebagian besar orang, kota memiliki dinamika yang cepat. Perubahan komponen-komponennya, baik itu yang berasal dari lingkungan fisik, ekonomi, maupun budaya, seringkali tidak dapat diprediksikan. Rencana, kalau pun itu ada, biasanya dituding lebih lambat dibandingkan dengan perubahan yang tengah berlangsung tersebut.
Pada sisi yang lain, ”kota yang berubah” dipahami dari perubahan paradigma kita memandang kota sebagai sebuah entitas. Makna yang lainnya dari ”kota telah berubah” adalah kota dipandang sebagai lingkungan liar yang tak ramah. Apabila dalam kerangka pandang modern, kota merupakan sebagai sesuatu yang memiliki keajegan, maka dalam paradigma baru ini kota identik dengan ”ketidakteraturan”. Dalam kerangka pandang ini pula, sebuah kota dianggap dapat dikendalikan atau dikontrol sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Hal ini berbeda dengan kerangka pandang postmodern, yang melihat kota sebagai entitas kota yang chaotic dan selalu berubah.
Sebuah contoh untuk menggambarkan kondisi kota yang selalu berubah tersebut dapat dilihat di dalam lansekap kota. Kota senantiasa dicirikan dengan dualisme karakter: wilayah produktif – berkembang dan terpencil, pejalan kaki – wilayah padat kendaraan yang macet. Kota senantiasa menampilkan karakternya yang tidak stabil dan tidak ada yang berarti untuk waktu yang relatif lama. Perubahan pada suatu lokasi akan diikuti oleh perubahan pada titik atau area lainnya yang menciptakan adanya organisasi mandiri.
Urban chaos
Kota adalah mikrokosmos dan cermin masyarakat, dan budaya dalam skala besar. Jadi untuk menumbuhkan pemahaman menyeluruh tentang kota, kita harus memikirkan sebanyak mungkin, bila tidak seluruhnya, keragaman yang melahirkan kota yang kontemporer. Ide-ide konvensional tentang kota sebagai gambaran besar arsitektur (architecture-writ-large) tidak dapat dengan mudah dihubungkan dengan teori kota sebagai sistem-sistem sosial, budaya, ekonomi, dan institusi.
Oleh karena itu, sistem-sistem sosial tidak mudah dikaitkan dengan bentuk ruang. Pemahaman perencana diliputi oleh kompleksitas dan keragaman. Ada berbagai dimensi sosial yang harus dipertimbangkan dan memerlukan pendalaman pemahaman. Guna lahan tidak dengan sendirinya mampu menjelaskan mengenai aliran transportasi, melainkan juga karakteristik ekonomi suatu lokasi dan budaya ”berkendaraan” penduduk kota tersebut. Disamping itu, kota senantiasa adalah sebuah sistem terbuka yang menerima aliran energi, orang, dan komoditas dari sekitarnya, yang berpengaruh pula terhadap terbentuknya suatu pola guna lahan.
Adanya ketidakteraturan pada sebagian besar wilayah kota, maka lansekap kota dilihat dalam pemahaman geometri fraktal. Pada kenyataannya pula, kota-kota mempunyai struktur-struktur fraktal yang berbeda dimana fungsi-fungsinya saling menyerupai dirinya sendiri (self similiarity) dalam banyak keteraturan dan skala. Pemahaman terhadap geomtri fraktal ini sangat penting untuk mengamati langsekap kota yang beragam dari skala dan ukurannya.
Chaos Planning
Prof. Batty dari Univerity of College London berpendapat bahwa perencanaan selalu bergantung kepada pembuatan rencana geometris yang ideal yang berakar dari perencanaan kota yang muncul pada abad ke-19. Pada abad tersebut, kota-kota dilihat sebagai entitas yang tidak teratur, menyebar ke segala arah, dan kumuh. Rencana-rencana yang dibuat sangat kental dengan penentuan tatanan yang stabil dan hirakis dalam pengaturan ruang kota. Rencana geometris seperti ini, seperti yang dibuat oleh Ebernezer Howard dengan Garden City mengajukan sebuah rencana kota yang ideal dalam ukuran dan struktur, yang menurut Prof. Batty mengabaikan cara alamiah sebuah kota tumbuh:
”Idealized cities are simply too naive with respect to the workings of the development process and competition for the use of the space that characterises the contemporary city and degree of diversity and heterogenity that the most vibrant cities manifest.”
Tradisi ini masih muncul sampai saat ini, kota ditata untuk menentukan struktur dan pola ruang yang ideal, yang dirasa menjadi tujuan jangka panjang semua pihak. Apabila pada abad ke-19, pengaruh perencana kota yang visioner yang menentukan bentuk kota, maka saat ini penggunaan teknik-teknik yang terstandar dan melalui prosedur ilmiah menentukan tata ruang kota.
Tata ruang merupakan perwujudan ideal dari teknologi dan ilmu pengetahuan yang diaplikasikan para perencana. Struktur dibuat dengan ketat dengan memperhatikan kaitan-kaitan antar pusat menurut hirarkinya. Terdapat anggapan bahwa kota dapat dikendalikan pada masa mendatang, sehingga persoalan-persoalan seperti kemacetan akan dapat tertangani.
Pola ruang disusun menurut perencanaan yang deterministik. Kota dibagi habis ke dalam blok-blok peruntukan yang menentukan lokasi dari kegiatan – kegiatan utama kota. Peluang perubahan dijaga seminimal mungkin untuk mengarahkan tindakan dan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan ruang kota. Instrumen lain dibutuhkan untuk melakukan pengendalian seperti melakukan penertiban terhadap ”pemanfataan yang tidak sesuai”.
Kota ideal dalam konteks perencanaan terhadap ketidakterturan (chaos planning) memberikan karakteristik perencanaan sebagai kegiatan yang otoriter. Perencana merupakan pihak di belakang rencana yang ideal yang didesakkan ke dalam masyarakat. Di balik itu, terdapat persoalan menyangkut daya tanggap rencana terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam ruang kota. Umumnya, rencana kota sangat jarang mampu dengan cepat menangkap perubahan tersebut, sehingga akumulasi terhadap penyimpangan semakin besar. Kita dapat melihat suatu kawasan yang dilanggar oleh satu pihak akan diikuti oleh pihak lainnya yang menginginkan manfaat yang sama dari pemanfaatan ruang. Tidak sadar, rencana yang baru pun telah menjadi usang.
Planning in Chaos
Menurut Prof. Batty, kota tumbuh secara allometri – tumbuh dalam kecepatan yang berbeda – yang menghasilkan perubahan terhadap proporsi - dan hal ini merubah keseimbangan energi yang digunakan untuk melestarikannya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai network science yang akan:
“… provides a way of linking size to the network forms that enable cities to function in different ways. The impacts of climate change, the quest for better performance, and the seemingly intractable problems of ethnic segregation and deprivation due to failures in job and housing markets can all be informed by a science that links size to scale and shape through information and material and social networks that constitute the essential functioning of cities.”
Dengan menyadari adanya keterbatasan di dalam perencanaan kota yang ideal, dalam merencanakan ketidakteraturan, maka paradigma mengenai ketidakteraturan kota mengarahkan kepada keterbatasan dari perencanaan. Dengan memahami persoalan-persoalan secara mendetil atau fungsi-fungsi dari sistem yang kompleks, kita akan melakukan intervensi lebih sedikit, tetapi dalam cara-cara yang lebih realitis.
Dengan kata lain: sebagus-bagusnya sebuah rencana, dilihat dari visi masa depan dan pemanfaatan sumber dayanya, masih lebih baik tidak ada rencana sama sekali. Disini, perencana perlu memikirkan lagi proses perencanaan kita yang selama ini yang lebih condong kepada: ”penentuan struktur dan pola ruang kota apa yang akan terbentu pada masa mendatang”, menjadi kepada: ”bagaimana rencana itu akan dipahami dan dilakukan”. Mau tidak mau, perencanaan dalam konteks paradigma chaos ini adalah model partisipatif yang luas. [ ]
Tidak ada komentar:
Write comments