Setiap tanggal 23 Juli, anak-anak Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Hari Anak Nasional ini, selain disertai dengan acara seremonial, seharusnya mengingatkan semua orang akan hak-hak anak Indonesia.
Menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terdapat lima konteks bagi penyelenggaraan perlindungan anak, yaitu: agama, kesehatan, pendidikan, sosial, dan perlindungan khusus. Selama ini, perencanaan kota berkesan absen terhadap pemenuhan hak-hak anak ini. Ada anggapan bahwa hak-hak anak tersebut, seharusnya telah dipenuhi oleh orang tua yang berkewajiban untuk membesarkan dan memelihara mereka.
Dengan ditetapkan UU PA tersebut, hak-hak anak telah menjadi kewajiban publik (masyarakat dan Negara) untuk pemenuhannya. Tidak terkecuali bagi perencana kota yang selama ini berkutat dalam kepentingan publik. Program penyediaan infrastruktur ibu dan anak perlu mendapatkan perhatian, terutama untuk menumbuhkan anak-anak yang sehat dan berkualitas. Disamping itu, memuka akses bagi anak-anak untuk berkegiatan: rekreasi, bermain, dll tentu harus dijamin dalam rencana kota yang “ramah anak”
Apa itu Kota yang Ramah Anak?
Kota ramah anak adalah kota yang menjamin pemenuhan terhadap hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut, yaitu:
1. Identitas diri dan status kewarganegaraan
2. Pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
3. Pendidikan
4. Berpartisipasi sesuai dengan perkembangan mental dan tingkat kecerdasan
5. Beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul, bermain, berkreasi, dan berekreasi.
Dalam pemenuhan terhadap identitas diri, sebuah kota yang ramah anak harus membuka akses yang seluas-luasnya bagi anak untuk mendapatkan kemudahan layanan administrasi. Pemerintah kota yang tanggap menjamin anak-anak yang dilahirkan di kota tersebut mendapatkan sertifikat kelahiran.
Pemenuhan terhadap kesehatan dan jaminan sosial diwujudkan sejak anak di dalam kandungan. Artinya, sang Ibu yang sedang mengandung harus mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengakses layanan kesehatan. Seringkali ada kesulitan untuk keluarga yang berasal dari kelompok miskin perkotaan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang terjangkau. Dengan demikian, perlu layanan kesehatan yang memudahkan keluarga dari kelompok miskin untuk memeriksakan kehamilan, mengobati anak mereka yang sakit, dan maupun penyuluhan terhadap pentingnya kesehatan.
Untuk kota metropolis, seringkali keluarga miskin sulit untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas di sekitarnya karena segregasi sosial dan spasial. Layanan kesehatan yang berkualitas di pinggir kota dilayani di dalam kawasan permukiman baru yang dikelola oleh swasta. Sementara itu, layanan kesehatan yang berkualitas lainnya hanya dapat dijangkau di pusat kota yang memerlukan layanan transportasi kota untuk mendapatkannya. Dengan demikian, dibutuhkan kebijakan yang integratif yang mengkaitkan antara layanan kesehatan dengan transportasi yang terjangkau bagi warga perkotaan.
Sekolah-sekolah di perkotaan, meskipun dengan kondisi yang tidak sama kualitasnya, memberikan akses yang kepada anak-anak untuk mendapatkan pendidikan. Memang ada perbedaan yang tajam antara sekolah swasta yang menarik bayaran tinggi dengan sekolah negeri di perkampungan miskin. Dalam hal ini, peningkatan kualitas sekolah perlu dilakukan melalui program-program yang mementingkan pemerataan atas kualitas, seperti subsidi terhadap sekolah-sekolah negeri maupun swadaya yang terdapat di perkampungan.
Akses geografis terhadap sekolah pun perlu mendapatkan perhatian. Lokasi-lokasi sekolah ditempatkan berdekatan dengan lingkungan permukiman bagi penduduk yang dilayaninya dan layanan transportasi yang dengan mudah dapat diakses oleh anak-anak. Anak-anak dapat berjalan kaki di pedestrian yang terjaga kualitas fisik dengan desain yang “ramah” bagi fisiologis anak. Selain itu, lalu lintas di sepanjang permukiman menuju sekolah “disituasikan” sedemikian rupa sehingga menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak ketika bersekolah.
Adanya segregasi spasial antara “gated communities” dan perkampungan di sekitarnya tidak memungkinkan anak-anak bersekolah di lingkungan yang dibatasi tersebut, selain daya beli mereka terhadap sarana pendidikan kurang memadai. Hal ini memperlihatkan bahwa di antara anak-anak sendiri mengalami diskriminasi terhadap akses layanan pendidikan. Kota yang ramah anak jelas mengurangi kemungkinan adanya diskriminasi ini.
Partisipasi anak menjadi penting dalam kota yang ramah anak. Anak memperoleh kemungkinan-kemunkinan untuk menyampaikan pendapatnya terkait dengan kebutuhan terhadap layanan pendidikan dan kesehatan yang menjadi haknya.
Selama ini, perencanaan kota absen dari pelibatan anak dalam menentukan arah rencana kota. Dengan anggapan, suara anak telah diwakilkan oleh orang tua mereka. Selain itu, “perwakilan” anak di lembaga legislatif, selama ini secara formal tidak ada, karena anak tidak memiliki hak pilih. Dalam berbagai rentang kecerdasan anak, perencana kota dapat mendekati “anak” melalui berbagai teknik perencanaan yang disesuaikan. Dalam hal ini, anak dijadikan salah satu informan dan stakeholder bagi arah rencana kota. Beberapa negara di Eropa mencoba menjajagi pendapat anak mengenai kota mereka melalui mengajak mereka menggambar atau mengekspresikan gagasan mereka terhadap visi kota.
Menemukan Ruang bagi Anak Bermain
Anak juga memiliki hak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul, bermain, berkreasi, dan berekreasi. Secara tegas disebutkan di dalam UU PA bahwa pemerintah berperan memberikan dukungan terhadap sarana dan prasarana, misalnya sekolah, lapangan bermain, lapangan olahraga, dan tempat rekreasi.
Kebijakan pemerintah pusat untuk mendorong penyediaan ruang bermain untuk permukiman baru seringkali tidak iikuti oleh developer properti. Seringkali pula disediakan ruang-ruang kosong, yang digunakan untuk lapangan bermain tanpa ditujukan secara khusus untuk bermain anak. Ketika digunakan untuk bermain, anak-anak harus bersaing dengan orang dewasa yang juga menggunakannya untuk berkumpul dan berolahraga. Selain itu, ruang-ruang kosong tersebut sebenarnya merupakan akal-akalan developer untuk mengelabui dinas teknis kota mengenai persyaratan ruang terbuka publik. Untuk beberapa lama kemudian, ruang-ruang kosong tersebut dijual oleh pengembang untuk pengembangan perumahan lebih lanjut. Tidak mengherankan, ditunjang dengan fasilitas bermain yang memadai di rumahnya, anak-anak di perumahan terencana seringkali beralih ke permainan indoor yang sedikit sekali menggunakan aktivitas fisik dan mengasah kemampuan bersosialisasi.
Kondisi yang berbeda di permukiman kumuh, anak-anak bermain di berbagai ruang kosong yang tersedia, baik itu halaman rumah, pinggiran sungai, jalan, dll. Tidak jarang, anak-anak tersebut bermain di jalan yang ramai dengan lalu lintas yang sangat membahayakan keselamatan.
Halaman sekolah dapat menjadi ruang bermain anak yang mudah diperoleh. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan mengenai kewajiban bagi satuan pendidikan (sekolah-sekolah) untuk memliki sarana, salah satunya, tempat olahraga. Melalui Permendiknas No. 24 / 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMU/MH mewajibkan sekolah-sekolah memiliki sarana bermain/olahraga yang memenuhi standar tertentu, diantaranya:
1. tempat bermain / berolahraga memiliki rasio luas minimum 3 m2 / peserta didik
2. tempat bermain / berolahraga sebagian ditanami pohon penghijauan
3. tidak mengganggu proses pembelajaran
4. tidak digunakan sebagai tempat parkir
5. sarana yang disediakan distandarkan
5. ruang bebas yang memiliki permukaan yang datar, drainase yang baik dan tidak terdapat pohon, saluran air, dan benda-benda yang mengganggu.
Sayangnya, tidak seluruh sekolah mampu memenuhi standar tersebut. Hal ini sangat bergantung dari ketersediaan lahan dan dana yang mampu disediakan oleh pemerintah kota untuk memenuhi standar tersebut. Rasionalisasi terhadap pemanfaatan ruang kota dalam bentuk efisiensi pemanfaatan lahan mendorong “mahalnya” lahan di perkotaan, sehingga penyediaan untuk sarana bermain ini tidak menjadi prioritas.
Perencanaan Kota yang Ramah Anak
Bagaimana perencanaan kota yang ramah anak? Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan struktur dan pola ruang. Untuk lingkup perkotaan, bahwa pembentukan struktur ruang dilakukan dengan menetapkan hirarki bagi penyediaan ruang publik. Pada skala perkotaan dilayani oleh ruang publik yang disediakan oleh pemerintah kota, yang meliputi: taman kota pada skala metropolitan sampai dengan kota. Pada tingkat lingkungan permukiman (RT/RW) dilayani oleh ruang terbuka, berupa lapangan bermain anak dan taman lingkungan.
Kota ramah anak adalah yang juga memiliki prasarana pergerakan yang “ramah” bagi anak. Dalam pengertian ini, anak dapat menggunakan pedestrian dan angkutan umum yang tidak mengancam keselamatan anak. Selain itu, jalan-jalan yang padat dengan lalu lintas dilengkapi dengan jembatan penyebarangan yang disediakan pada area-area yang sering dikunjungi oleh anak, seperti taman kota dan sekolah-sekolah. Mobilitas anak di dalam kota harus mampu menciptakan rasa aman melalui perancangan kawasan yang melindungi anak dari kejahatan, seperti pengawasan dari orang dewasa setiap saat.
Kota yang ramah anak adalah yang memberikan layanan kesehatan yang mudah terjangkau, baik dari segi lokasi maupun segi finansial keluarga. Penyusunan hirarki layanan dibuat untuk menciptakan agar layanan kesehatan ini dapat dijangkau secara geografis. Untuk menciptakan layanan kesehatan yang murah dan berkualitas, pemerintah kota harus memiliki kewajiban untuk menyediakannya.
Partisipasi dalam proses perencanaan juga perlu melibatkan anak-anak. Anak-anak dapat berkontribusi terhadap penyusunan rencana kota, sehingga aspirasi mereka pun dapat ditampung dalam rencana kota. Untuk anak-anak yang mendekati remaja, anak-anak ini memiliki pendapat mandiri terkait dengan keinginan maupun visi mereka terhadap arah pembangunan kota ke depan. Meskipun begitu, diperlukan kehatian-hatian perencana untuk menggali aspirasi anak disesuaikan dengan tingkat perkembangan mereka, melalui teknik yang accessible bagi anak.
Kota yang ramah anak adalah kota yang memungkinkan anak untuk menggunakan waktu luangnya secara leluasa. Penyediaan ruang bermain dan berekreasi yang memadai di sekitar lingkungan akan memungkinkan hal ini, untuk berbagai tingkat perkembangannya.
Kapan kota-kota di Indonesia dapat dikategorikan sebagai ramah anak?
Tidak ada komentar:
Write comments