18 Jul 2010

CEMETERY LANDFILL, MUNGKINKAH ?

Harian Kompas beberapa waktu lalu pernah memberitakan tentang kondisi pemakaman umum di Jakarta yang hampir penuh dan diperkirakan dalam beberapa tahun mendatang tidak akan mampu lagi menampung penghuni baru. Berbagai upaya telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta antara lain menambah  luas pemakaman yang ada. Namun upaya tersebut belakangan ini semakin terkendala selain oleh keterbatasan lahan kota Jakarta yang telah disesaki oleh berbagai macam kegiatan dan bangunan juga oleh harga tanah yang tinggi.


Di masa lalu kebijaksanaan yang ditempuh Pemprov DKI Jakarta adalah menutup pemakaman yang sudah penuh dan setelah masa pakainya habis akhirnya dijual/tukar guling dan beralih fungsi. Sudah banyak pemakaman yang beralih fungsi di Jakarta, antara lain Menteng Pulo menjadi rumah susun, Mangga Dua menjadi pusat niaga dan mal, Jelambar dan Tomang jadi kawasan hunian, Kober jadi kantor walikota Jakarta Pusat dan terakhir Blok P jadi kantor walikota Jakarta Selatan. Dana yang diperoleh saat itu digunakan untuk membangun pemakaman baru di berbagai tempat, yang sekarang kondisinya juga sudah hampir penuh.
Pemakaman memiliki fungsi ganda, selain tempat menguburkan jenazah juga berfungsi sebagai ruang terbuka hijau. Menutup, menjual dan mengalihkan fungsikan pemakaman yang ada akan mengurangi keberadaan ruang terbuka hijau di Jakarta.  Kuburan juga adalah peristirahatan terakhir dari perjalanan umat manusia di muka bumi , dan sungguh tidak bermoral kalau kuburan sampai dibongkar dan digusur. Pomeo semasa hidup kena gusur dan setelah mati  juga kena gusur sebaiknya ditiadakan. Oleh karena itu menjual kuburan tidak bisa ditoleransi lagi dengan alasan apapun terlebih lagi mencari lahan pengganti di Jakarta tidaklah mudah.
Sementara itu upaya yang ditempuh Pemprov DKI untuk mengatasinya adalah  dengan memberlakukan sistim tumpang sari dan rotasi makam. Sistim tumpang sari adalah penggunaan bersama satu liang lahat untuk 2 jenazah atau lebih yang mempunyai pertalian keluarga. Sistim rotasi adalah pembatasan penggunaan makam bagi setiap jenazah selama 3 tahun dan kemudian boleh diperpanjang sebanyak dua kali, sehingga total penggunaan 9 tahun. Setelah itu kerangka jenazah dimusnahkan untuk dipergunakan penghuni lain.
Kedua solusi tersebut kurang berhasil karena ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Sistim tumpang sari oleh masyarakat dianggap bertentangan dengan syariah karena penggunaan liang lahat bersama dianggap kuburan massal. Kuburan massal hanya diperkenankan untuk keadaan darurat. Sedangkan sistim rotasi karena selain dianggap menyalahi kodrat kuburan sebagai peristirahatan terakhir, juga pemusnahan kerangka belum tentu dengan cara yang Islami bagi pengikutnya, misalkan dibakar. Kuburan juga dipandang sebagai jejak lahiriah antara penghuninya dengan sanak saudaranya.
Dulu pernah ada pemikiran untuk membangun semacam cemetery basement. Gagasannya adalah membangun makam bersusun ke bawah seperti susunan laci, hingga empat atau lima susun ke bawah dengan membangun lorong-lorong.  Tetapi kemudian gagasan ini ditinggalkan, karena selain memerlukan investasi yang besar juga ada kesulitan dalam proses penguburan jenazah. Untuk mengangkat jenazah  pada susunan yang lebih tinggi diperlukan forklift. Prosesi pemakaman yang  dihadiri sanak saudara dan kaum kerabat juga sulit dilakukan pada lorong-lorong yang relatip sempit tersebut.
Sekarang ini orang-orang berduit di Jakarta sudah mempersiapkan peristirahatan terakhir mereka karena kondisi pemakaman di Jakarta yang sudah kritis. Hidup di Jakarta, mati di San Diego, begitulah keinginan mereka. Di Amrik ? Bukan ! Di Cikarang, di sana ada komplek pemakaman San Diego untuk semua golongan agama. Harganya cukup mahal, belum lagi ongkos angkut jenazah ke sana, tentu saja hanya kalangan atas yang mampu. Nah untuk orang miskin bagaimana ? Saya punya usul.
Dalam kesempatan ini saya mencoba mengajukan suatu usul / gagasan yang saya namakan Cemetery Landfill, diilhami dari suatu konsep pengolahan sampah yang dikenal dengan istilah sanitary landfill. Sanitary landfill adalah proses pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir dengan cara menyusun timbunan sampah yang sudah dipadatkan menjadi suatu lapisan yang kemudian ditutup dengan lapisan tanah. Kemudian di atas lapisan tanah ini disusun lagi lapisan sampah berikutnya dan kemudian ditutup lagi dengan lapisan tanah berikutnya. Demikian seterusnya sampai ketinggian tertentu yang relatip aman baru pekerjaan dihentikan. Akhirnya akan terbentuk sebuah bukit yang  dapat dimanfaatkan untuk hutan buatan, tempat rekreasi dan lain sebagainya.
Prinsip Cemetery Landfill lebih kurangnya mirip dengan sanitary landfill, yaitu membangun pemakaman secara berlapis. Cemetery Landfill dilakukan bertahap. Pemakaman dibagi ke dalam beberapa blok. Blok kuburan yang sudah penuh dinyatakan tertutup. Setelah tenggang waktu tertentu, blok tersebut kemudian ditimbun lapisan tanah baru setinggi 2 atau 3 meter tanpa membongkar dan memindahkan kuburan lama. Kuburan lama sebaiknya dipetakan dulu dengan menggunakan alat ukur berbasis GPS ( global positioning system) agar setelah permukaan lapisan tanah baru terbentuk dapat diidentifikasi posisi kuburan dibawahnya. Tujuannya adalah untuk kepentingan ziarah bagi para akhli waris maupun keluarga kuburan lama. Di permukaan lapisan tanah yang baru dapat dipasang tanda, misalkan berupa pusara datar. Apabila blok-blok yang lain juga telah dinyatakan penuh dan tertutup maka dilakukan hal yang sama. Setelah lapisan tanah kedua penuh maka dapat dimulai lagi membentuk lapisan tanah ketiga, demikian seterusnya sampai membentuk sebuah bukit dan baru berhenti sampai batas ketinggian yang dianggap masih aman.
Cemetery Landfill dapat memfungsikan kembali pemakaman yang saat ini sudah dinyatakan tertutup yang jumlahnya cukup banyak di Jakarta , dapat mencegah alih fungsi lahan dan juga dapat menyelematkan lahan pemakaman yang sering terendam banjir. Dari segi biaya Cemetery Landfill juga jauh lebih murah ketimbang pengadaan lahan baru.
Gagasan ini mungkin dianggap aneh karena memang belum pernah dilakukan di negara manapun. Tetapi manakah yang lebih baik ; menggusur kuburan , membongkar, memin-dahkan dan memusnahkan kerangkanya,  kemudian menjual dan mengalih fungsikan pemakaman  atau pembangunan kuburan berlapis ( cemetery landfill ).

SOLUSI KEMANG ; PEMUTIHAN ATAU EVALUASI RENCANA ?

Penyimpangan tata ruang di Kawasan Kemang, seperti juga kawasan Menteng, Kebayoran Baru, Pondok Indah, Jalan Jaksa dan beberapa kawasan lainnya di Jakarta sudah lama menjadi ganjalan dalam upaya penegakan hukum di Jakarta. Mengapa tidak ada upaya penertiban ? Jawabannya adalah karena terkendala sindroma buah simalakama. Menertibkan salah tidak menertibkan juga salah. Di satu sisi yaitu dari aspek penataan ruang, perkembangan kawasan komersial memang menyimpang (illegal), tetapi di sisi lain yaitu dari aspek operasional seratus persen legal. Boleh dikatakan hampir semua kegiatan usaha di sana memiliki izin usaha yang legal yang diterbitkan oleh instansi lain dalam lingkungan Pemprov DKI sendiri seperti Dinas Pariwisata, Dinas Pergadangan dan lain sebagainya. Ini sesungguhnya cermin dari tata kelola pemerintahan yang buruk.
Apa pilihan  terbaik untuk penyelesaian masalah Kemang ? Pemutihan ataukah evaluasi rencana ? Pemutihan adalah legitimasi penyimpangan dan bahkan dapat menjadi preseden yang buruk dalam penegakan hukum di Jakarta karena tidak ada landasan hukumnya. Tidak ada satu pasalpun dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007    tentang Penataan Ruang yang menyebut tentang pemutihan, yang ada hanyalah tentang pelanggaran. Setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi pembongkaran dan penalti. Itulah yang seharusnya dilakukan. Maka press release Pemprov DKI Jakarta tentang akan diputihkannya kawasan Kemang adalah tindakan gantung diri. Penyelesaian masalah Kemang  seharusnya diletakkan dalam kerangka evaluasi rencana tata ruang dan bukan pemutihan. Evaluasi rencana adalah hal yang wajar dalam penataan ruang dan bahkan merupakan tuntutan, memiliki dasar hukum yang kuat dan diatur dalam Undang-undang.
Ada beberapa hal yang menjadi pendorong terjadinya perubahan fungsi di kawasan Kemang, selain terjadinya duplikasi perizinan sebagaimana tersebut di atas, juga disebabkan antara lain :
Pertama; Kawasan Kemang sudah sejak lama dikenal sebagai kampung ekspatriat yang memiliki reputasi global terutama di kalangan diplomat dan dunia usaha mancanegara. Di sini banyak terdapat tempat kediaman para duta besar, manajer dan pekerja perusahaan asing dan ekspatriat lainnya. Munculnya berbagai kegiatan komersial di kawasan ini tidak terlepas dari kehadiran mereka yang membutuhkan tersedianya fasilitas kebutuhan sehari-hari yang berkualitas. Peluang   inilah yang disambar  oleh para pengusaha Kemang.
Kedua; sebagian besar pengusaha di sana masih berstatus penyewa lahan / bangunan dan bukan pemilik. Alasan utama pengusaha adalah karena tidak mau mengambil resiko bila terjadi penertiban penggunaan lahan. Tetapi yang jelas dari sisi investasi hal ini jauh lebih menguntungkan karena biaya modal yang dibutuhkan rendah sehingga mempercepat tumbuhnya kegiatan komersial di kawasan ini.
Ketiga ; perubahan fungsi jalan yang tadinya hanya melayani lingkungan menjadi jalan arteri kecil penghubung antar wilayah, telah menimbulkan ketidak nyamanan penghuni rumah di sepanjang jalan tersebut yang kemudian menjual atau menyewakan rumahnya. Pembangunan jalan lingkar luar selatan mempermudah akses dari dan ke Jalan Kemang Raya dan menjadikannya sebagai jalan alternatip selatan utara.
Dampak dari perubahan tersebut ditenggarai telah menimbulkan permasalahan yang akut bagi kawasan Kemang, yaitu :
Pertama ; masalah kemacetan lalulintas yang parah di sepanjang Jalan Bangka Raya/ Kemang Raya.
Kedua: masalah banjir yang beberapa tahun terakhir melanda kawasan ini.
Sebetulnya kedua masalah tersebut merupakan penomena umum  yang terjadi hampir di berbagai pelosok kota Jakarta. Maka pendapat yang mengatakan bahwa kegiatan komersial di kawasan Kemang menjadi penyebab utama dari kedua permasalahan tersebut dapat dikatakan masih bersifat sumir.
Kemacetan lalulintas belum tentu melulu akibat kegiatan komersial, tetapi juga merupakan masalah pada seluruh ruas jalan penghubung selatan –utara Jakarta seperti ruas Pamulang-Kebayoran Lama, Cinere Fatmawati, Jalan Antasari, Ragunan-Warung Buncit, Depok –Pasar Minggu, termasuk juga Jl Kemang Raya. Demikian juga dengan masalah banjir belum tentu melulu disebabkan berkurangnya daerah resapan karena perubahan pekarangan hijau menjadi lahan parkir tetapi juga terkait dengan permasalahan di daerah hulu sungai, pemeliharaan selokan dan lain sebagainya.  Ini perlu pembuktian dengan studi lalulintas dan studi tata air.
Bagaimanapun perkembangan kawasan Kemang saat ini memang sudah di luar kendali dan memerlukan penataan ulang. Beberapa studi tentang Kemang sudah pernah dilakukan. Bahkan saat ini juga sedang dilakukan studi perencanaan Kemang oleh ITB. Studi-studi sebelumnya dan juga studi yang saat ini sedang dikerjakan tampaknya memang mengarah kepada pemutihan, karena langsung menetapkan perubahan rencana  sebagai kesimpulan (given). Tidak heran studi ini lebih ditekankan pada aspek design guidelinenya. Tetapi suatu studi yang lebih mendasar, yaitu studi pendahuluan tentang layak tidaknya kegiatan komersial dikembangkan pada kawasan ini tidak pernah dilakukan. Studi dimaksud adalah  trade-off analysis, yaitu suatu studi yang menganalisa untung dan rugi atau manfaat dan mudarat dari dua opsi yang ada, yaitu opsi mengembalikan fungsi kawasan Kemang sebagai kawasan hunian dan opsi penyesuaian rencana ke arah pengembangan kegiatan komersial. Opsi yang pertama bila Kemang dikembalikan kepada fungsinya semula yaitu sebagai kawasan hunian, apa manfaat dan mudaratnya. Opsi yang kedua bila Kemang diarahkan kepada kegiatan komersial, apa manfaat dan mudaratnya. Setiap opsi mempunyai 4 kemungkinan hasil, yaitu manfaat besar – mudarat besar, manfaat besar- mudarat kecil, manfaat kecil mudarat kecil, manfaat kecil mudarat besar. Yang terbaik adalah pilihan manfaat besar- mudarat kecil. Tetapi belum tentu hasilnya seperti itu. Melalui trade off analysis inilah akhirnya kita dapat mengetahui upaya apa saja yang harus dilakukan agar opsi terpilih dapat mencapai hasil yang optimal yaitu misalnya dengan rekayasa lalulintas, tata air, urban design, finansial, peraturan waktu operasional kegiatan komersial dan lain sebagainya. Studi pendukung yang diperlukan antara lain studi tentang lalulintas, tata air,  daya tampung tenaga kerja, kontribusi PAD, kepemilikan lahan, building coverage, hardscape coverage, jenis kegiatan yang ada, perizinan dan lain sebagainya. Bila penyesuaian  rencana adalah pilihan yang lebih baik, maka dalam penataan ulang  kawasan Kemang perlu diberlakukan bargaining process yang ketat, misalkan untuk menciptakan fasilitas lingkungan bersama, terutama lahan parkir bersama, maka konsep land consolidation atau land readjustment harus menjadi pilihan.
Evaluasi rencana juga harus dilakukan secara transparan. Seluruh masyarakat yang tinggal baik di dalam ring maupun di luar ring kawasan komersial harus dilibatkan sebelum, sedang dan setelah proses evaluasi dilakukan. Pelibatan peran serta masyarakat ini juga sebaiknya difasilitasi oleh sebuah lembaga yang independen yang terdiri dari asosiasi profesi, bukan dari instansi pemerintah. Dalam evaluasi rencana tidak ada ketentuan tentang penalti. Sebagai gantinya para pengusaha diwajibkan menyediakan biaya perbaikan  infrastruktur lingkungan secara tanggung renteng dan pelaksanaannya diserahkan kepada pihak ketiga.
Demikianlah agar penyelesaian kasus Kemang ini dan juga kawasan lainnya seperti Jalan Jaksa, tidak disikapi dengan pro dan kontra tetapi harus diselesaikan dengan pertimbangan yang bijaksana sehingga tercapai win-win solution. Kemang dengan reputasi globalnya dan Jalan Jaksa yang telah menjadi ikon pariwisata dunia adalah asset penting  yang perlu dipertimbangkan keberadaannya.
Oleh : Ismail Zubir

Tidak ada komentar:
Write comments