Salah satu tema yang dibawa oleh Michel Foucault dalam rangkaian gagasan adalah mengenai geografi yang demikian terkait dengan keruangan. Foucault sering menggunakan istilah-istilah, seperti: ruang, wilayah, simetrisme, dll. Tulisan ini bukan bermaksud untuk membeberkan gagasan Foucault, melainkan kaitannya mengenai ruang kota yang secara menarik digagasnya, yaitu mengenai panopticism (panoptisisme).
Panoptisisme
Foucault menyebut panopticism sebagai suatu model penerapan teknologi disiplin,baik metode-metode maupun sarana-sarananya, yang keras dan ketat menurut model arsitektural panoptikon yang dirancang oleh J. Bentham. Panoptisisme dijelaskan ke dalam konteks keruangan terkait dengan karya Foucault waktu itu, yaitu Dicipline and Punishment. Dalam karya tersebut, Foucault menelusuri kemunculan panoptisisme, yaitu melalui dua model yang berkembang pada masa lampau: kota yang terjangkit pes dan pengasingan orang kusta. Kedua model tersebut memperlihatkan bentuk-bentuk pendisiplinan dalam skala perkotaan yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dalam masyarakat.
Panoptisisme dapat menjadi sesuatu yang disadari maupun tidak oleh warga kotanya. Kehadiran panoptisime pun membentang dalam rentang waktu yang tidak terbatas, namun mengambil bentuk yang berbeda. Gagasan dasarnya bahwa panoptisisme merupakan bentuk pengendalian ruang, sosial, dan ekonomi, yang dilakukan oleh agen-agen sosial (pemerintah, masyarakat, dll) untuk menciptakan pendisiplinan nir-kehadiran fisik oleh pengawas. Pengertian yang rumit, bukan? Jika disederhanakan, gagasan dasarnya adalah objek yang dikenai bentuk-bentuk pendisiplinan tidak menyadari dirinya diawasi, namun pengawasan tersebut senantiasa ada.
Bagaimana kaitannya dengan ruang kota? Pengisolasian warga kota yang terjangkit pes barangkali bukan “pada zamannya” saat ini. Begitu juga dengan pengusiran warga kota yang mengidap kusta. Bentuk-bentuk pendisiplinan yang ada saat ini lebih bersifat menyebar. Hanya saja, kekuasaan pengawasan tersebut menyebar ke dalam beragam agen, baik itu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ruang kota telah menjadi objek bagi pengawasan.
Kemunculan panoptisisme semakin menguat ketika berbagai tindakan teror kian menghantui warga kota. Contohnya adalah peristiwa pemboman di WTC pada 11 September 2001 maupun peristiwa pemboman Kuta tanggal 12 Oktober 2002. Berbagai peristiwa pemboman di Jakarta yang dikaitkan dengan tindakan teroris mendorong kecenderungan tersebut. Dalam konteks ini, sebuah kota menjadi sasaran (target) bagi tindakan kekerasan – city as a target – (Bishop dan Clancey, 2003) atau menjadi apa yang disebut dengan “urban jungle” (Adams, 2003).
City Panopticon: Bentuk-Bentuk Awal
Foucault mengambil dua model strategi yang diambil ketika suatu kota terjangkit pes atau sakit kusta. Berdasarkan arsip militer dari Vicennes, Foucault memaparkan tindakan yang diambil bila kota terjangkit pes. Pertama, dibuat suatu pengisolasian dan pembagian spasial yang ketat. Selanjutnya, dikenakan larangan bagi setiap orang untuk memasuki dan meninggalkan kota tersebut, disertai dengan ancaman hukuman terhadap siapa saja yang melanggar. Setiap orang harus tetap tinggal di dalam rumah. Segala bentuk perjumpaan antarpenghuni dicegah untuk menghindari penularan. Hanya para petugas saja yang bebas berkeliaran melakukan penjagaan di setiap sudut kota.
Setiap hari sindico (pengawas) mengontrol setiap rumah melalui jendela dan mencatat keadaan orang yang tinggal di dalam kawasan secara teliti. Setiap anggota keluarga dimina untuk menyebutkan nama, jenis kelamin, dan keadaan kesehatannya. Seluruhnya dicatat dengan jelas dan hasilnya dilaporkan kepeda intendant (pengawas di atasnya). Selanjutnya, catatan tersebut diserahkan kepada hakim yang akan memberikan catatan tersebut baik kepada dokter maupun pastor yang hendak mengunjungi orang yang dikarantina. Dengan demikian seluruh identitas dan keadaan masing-masing individu tercatat dan diketahui. Pengawasan dilaksanakan melalui pencatatan permanen mengenai seluruh keadaan individu yang diisolasi.
Dengan demikian, dapat dibuat keputusan terhadap setiap individu berdasarkan pencatatan tersebut. Setelah pengkarantinaan berlangsung lima sampai enam hari, rumah dibersihkan, disucihamakan, dan setelah selesai baru boleh ditempati. Pengawasan terhadap kota yang terjangkit wabah pes berfungsi untuk menyisihkan segala bentuk kekacauan yang mungkin timbul karena tubuh-tubuh orang yang saling bertemu dan bercampur baur. Melalui pengawasan yang ketat dan selalu hadir di mana pun juga, model pendisiplinan ini menentukan bagi setiap individu: tempatnya, tubuhnya, penyakitnya, kematian dan kesehatannya.
Bentuk yang lainnya adalah tindakan yang diambil terhadap orang kusta. Mereka yang ditemukan terjangkiti kusta “dibuang”, disingkirkan, dan dijauhkan dari masyarakat. Pembuangan dimaksudkan untuk memurnikan dan memisahkan elemen-elemen yang dianggap membahayakan.Dalam kaitannya dengan penderita kusta, maka tindakan pengawasan ini merupakan cara untuk “memurnikan” warga kota.
Bentuk Terkini dari Panoptikon
Dua model panoptisisme di atas barangkali tidak berlaku lagi saat ini. Jika yang pertama merupakan bentuk pengisolasian dalam ruang kota, yang kedua merupakan eksklusi, mengusir orang yang tidak diperkenankan untuk berada di dalam kota. Kedua model tersebut sangat menekankan pada pembatasan gerak individual di dalam kota. Pada saat ini, yang berlangsung adalah pengawasan yang dilakukan tanpa membatasi gerak individu, melainkan memungkinkan pengawasan secara mobil.
Saat ini, arsitektur panoptikon melibatkan teknologi canggih, seperti kamera CCTV, GPS, microchip, dan lain-lain. Dengan demikian, pengawasan tidak dilakukan melalui satu lokasi melainkan tanpa ketergantungan sama sekali dengan ruang. Pengawasan dapat berlangsung dimana saja dan kapan pun. Saat ini, hotel-hotel besar diwajibkan untuk menggunakan kamera CCTV. Hal ini ditujukan untuk mengawasi tindak tanduk pengunjung hotel yang mencurigakan terkait dengan dugaan akan terjadinya tindakan teror. Kamera CCTV dipasang di berbagai tempat: seperti lobby, lorong, tempat parkir, ruang makan, dan tempat-tempat yang dianggap strategis. Di beberapa mall juga demikian, kamera CCTV digunakan pada beberapa lokasi strategis yang memungkinkan pengawasan terhadap tindakan kejahatan di dalam mall, seperti pencurian. Kamera CCTV juga dipasang di dalam bank dan museum, yang terutama ditujukan untuk mencegah perampokan.
Bentuk-bentuk pengawasan yang disebutkan di atas dilakukan secara terpusat. Pengawasan dilakukan melalui satu sentral pengawasan yang berada dalam lokasi yang seringkali tidak diketahui oleh publik. Arsitektur panoptikon senantiasa Sebagian besar konteks yang disampaikan di atas merupakan panoptisisme diterapkan dalam ruang semi-privat / semi-publik.
Bagaimana dengan penerapannya dalam konteks ruang publik? Ruang publik pun tidak lepas dari panotisisme. Ingat bagaimana pihak polisi di Inggris mampu menangkap para teroris yang menyerang stasiun KA bawah tanah? Hal tersebut dilakukan melalui kamera yang terpasang di sekitar stasiun. Seluruh scene dari rekaman CCTV tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk menghasilkan kesimpulan mengenai kecurigaan terhadap seseorang, sehingga akhirnya pelaku teror dapat ditangkap.
Ketika terjadi pemboman di depan Kedubes Australia (Bom Kuningan) pada tahun 2003, kita dapat menyaksikan proses meledaknya sebuah mobil yang membawa bom dari rekaman CCTV di luar salah satu gedung perkantoran di sekitar jalan tersebut. Kamera CCTV kemudian berperan sentral dalam melakukan analisis terhadap kasus-kasus teror bom di berbagai tempat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh semakin dibutuhkannya analisis terhadap karakteristik bom yang digunakan untuk mengidentifikasi pelaku lebih cepat. Tidak heran bahwa standar pengamanan gedung-gedung pemerintah, mall besar, maupun hotel berbintang menggunakan setidaknya kemera CCTV ini.
Perkembangan selanjutnya bahwa pengawasan terhadap seseorang yang dicurigai melakukan tindakan kriminal melibatkan teknologi yang lebih canggih. Penyadapan terhadap pembicaraan seseorang yang dicurigai maupun penggunaan teknologi staelit untuk mengidentifikasi letak pembicaraan. Dengan menanamkan pesawat pemancar GPS, pihak kepolisian dapat mengikuti mobilitas para tersangka kriminal. Evolusi model panoptisisme ini menunjukkan bahwa arsitektur panoptikon sudah mengalami perubahan yang dramatis.
Apabila pengawasan semula dilakukan melalui isolasi dan eksklusi terhadap ruang-ruang tertentu di dalam kota, maka saat ini model yang diterapkan tidak melalui proses yang demikian. Pengawasan dilakukan melibatkan teknologi informasi yang sangat canggih yang memungkinkan dilakukan pengawasan terpusat, dengan objek yang lebih mobile. Selain itu, terdapat perubahan dalam konteks penekanan terhadap penerapannya, yang semula dilakukan bagi kepentingan-kepentingan kesehatan menjadi kepentingan terhadap keamanan dan pertahanan. Hal tersebut berlangsung karena kota senantiasa menjadi target tindakan teror, atau dalam sebutan Kathleen M. Adams, sebagai urban jungles.
Apabila panoptikon diterapkan di dalam ruang publik, otomatis mereka yang tidak menjadi sasaran pengawasan akan mengalami kerugian. Ruang publik, dengan demikian, bukan lagi sebuah ruang publik, namun menjadi alat kepentingan bagi pihak-pihak yang memiliki kuasa atas pengawasan (umumnya pemerintah). Bagaimana kita menakar kedua dilema tersebut: di satu sisi pengawasan untuk melindungi kepentingan publik, namun pada sisi lain pengawasan mengurangi kemanfaatan ruang ekspresi sosial?
Saya tidak punya jawabannya.
Panoptisisme
Foucault menyebut panopticism sebagai suatu model penerapan teknologi disiplin,baik metode-metode maupun sarana-sarananya, yang keras dan ketat menurut model arsitektural panoptikon yang dirancang oleh J. Bentham. Panoptisisme dijelaskan ke dalam konteks keruangan terkait dengan karya Foucault waktu itu, yaitu Dicipline and Punishment. Dalam karya tersebut, Foucault menelusuri kemunculan panoptisisme, yaitu melalui dua model yang berkembang pada masa lampau: kota yang terjangkit pes dan pengasingan orang kusta. Kedua model tersebut memperlihatkan bentuk-bentuk pendisiplinan dalam skala perkotaan yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dalam masyarakat.
Panoptisisme dapat menjadi sesuatu yang disadari maupun tidak oleh warga kotanya. Kehadiran panoptisime pun membentang dalam rentang waktu yang tidak terbatas, namun mengambil bentuk yang berbeda. Gagasan dasarnya bahwa panoptisisme merupakan bentuk pengendalian ruang, sosial, dan ekonomi, yang dilakukan oleh agen-agen sosial (pemerintah, masyarakat, dll) untuk menciptakan pendisiplinan nir-kehadiran fisik oleh pengawas. Pengertian yang rumit, bukan? Jika disederhanakan, gagasan dasarnya adalah objek yang dikenai bentuk-bentuk pendisiplinan tidak menyadari dirinya diawasi, namun pengawasan tersebut senantiasa ada.
Bagaimana kaitannya dengan ruang kota? Pengisolasian warga kota yang terjangkit pes barangkali bukan “pada zamannya” saat ini. Begitu juga dengan pengusiran warga kota yang mengidap kusta. Bentuk-bentuk pendisiplinan yang ada saat ini lebih bersifat menyebar. Hanya saja, kekuasaan pengawasan tersebut menyebar ke dalam beragam agen, baik itu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ruang kota telah menjadi objek bagi pengawasan.
Kemunculan panoptisisme semakin menguat ketika berbagai tindakan teror kian menghantui warga kota. Contohnya adalah peristiwa pemboman di WTC pada 11 September 2001 maupun peristiwa pemboman Kuta tanggal 12 Oktober 2002. Berbagai peristiwa pemboman di Jakarta yang dikaitkan dengan tindakan teroris mendorong kecenderungan tersebut. Dalam konteks ini, sebuah kota menjadi sasaran (target) bagi tindakan kekerasan – city as a target – (Bishop dan Clancey, 2003) atau menjadi apa yang disebut dengan “urban jungle” (Adams, 2003).
City Panopticon: Bentuk-Bentuk Awal
Foucault mengambil dua model strategi yang diambil ketika suatu kota terjangkit pes atau sakit kusta. Berdasarkan arsip militer dari Vicennes, Foucault memaparkan tindakan yang diambil bila kota terjangkit pes. Pertama, dibuat suatu pengisolasian dan pembagian spasial yang ketat. Selanjutnya, dikenakan larangan bagi setiap orang untuk memasuki dan meninggalkan kota tersebut, disertai dengan ancaman hukuman terhadap siapa saja yang melanggar. Setiap orang harus tetap tinggal di dalam rumah. Segala bentuk perjumpaan antarpenghuni dicegah untuk menghindari penularan. Hanya para petugas saja yang bebas berkeliaran melakukan penjagaan di setiap sudut kota.
Setiap hari sindico (pengawas) mengontrol setiap rumah melalui jendela dan mencatat keadaan orang yang tinggal di dalam kawasan secara teliti. Setiap anggota keluarga dimina untuk menyebutkan nama, jenis kelamin, dan keadaan kesehatannya. Seluruhnya dicatat dengan jelas dan hasilnya dilaporkan kepeda intendant (pengawas di atasnya). Selanjutnya, catatan tersebut diserahkan kepada hakim yang akan memberikan catatan tersebut baik kepada dokter maupun pastor yang hendak mengunjungi orang yang dikarantina. Dengan demikian seluruh identitas dan keadaan masing-masing individu tercatat dan diketahui. Pengawasan dilaksanakan melalui pencatatan permanen mengenai seluruh keadaan individu yang diisolasi.
Dengan demikian, dapat dibuat keputusan terhadap setiap individu berdasarkan pencatatan tersebut. Setelah pengkarantinaan berlangsung lima sampai enam hari, rumah dibersihkan, disucihamakan, dan setelah selesai baru boleh ditempati. Pengawasan terhadap kota yang terjangkit wabah pes berfungsi untuk menyisihkan segala bentuk kekacauan yang mungkin timbul karena tubuh-tubuh orang yang saling bertemu dan bercampur baur. Melalui pengawasan yang ketat dan selalu hadir di mana pun juga, model pendisiplinan ini menentukan bagi setiap individu: tempatnya, tubuhnya, penyakitnya, kematian dan kesehatannya.
Bentuk yang lainnya adalah tindakan yang diambil terhadap orang kusta. Mereka yang ditemukan terjangkiti kusta “dibuang”, disingkirkan, dan dijauhkan dari masyarakat. Pembuangan dimaksudkan untuk memurnikan dan memisahkan elemen-elemen yang dianggap membahayakan.Dalam kaitannya dengan penderita kusta, maka tindakan pengawasan ini merupakan cara untuk “memurnikan” warga kota.
Bentuk Terkini dari Panoptikon
Dua model panoptisisme di atas barangkali tidak berlaku lagi saat ini. Jika yang pertama merupakan bentuk pengisolasian dalam ruang kota, yang kedua merupakan eksklusi, mengusir orang yang tidak diperkenankan untuk berada di dalam kota. Kedua model tersebut sangat menekankan pada pembatasan gerak individual di dalam kota. Pada saat ini, yang berlangsung adalah pengawasan yang dilakukan tanpa membatasi gerak individu, melainkan memungkinkan pengawasan secara mobil.
Saat ini, arsitektur panoptikon melibatkan teknologi canggih, seperti kamera CCTV, GPS, microchip, dan lain-lain. Dengan demikian, pengawasan tidak dilakukan melalui satu lokasi melainkan tanpa ketergantungan sama sekali dengan ruang. Pengawasan dapat berlangsung dimana saja dan kapan pun. Saat ini, hotel-hotel besar diwajibkan untuk menggunakan kamera CCTV. Hal ini ditujukan untuk mengawasi tindak tanduk pengunjung hotel yang mencurigakan terkait dengan dugaan akan terjadinya tindakan teror. Kamera CCTV dipasang di berbagai tempat: seperti lobby, lorong, tempat parkir, ruang makan, dan tempat-tempat yang dianggap strategis. Di beberapa mall juga demikian, kamera CCTV digunakan pada beberapa lokasi strategis yang memungkinkan pengawasan terhadap tindakan kejahatan di dalam mall, seperti pencurian. Kamera CCTV juga dipasang di dalam bank dan museum, yang terutama ditujukan untuk mencegah perampokan.
Bentuk-bentuk pengawasan yang disebutkan di atas dilakukan secara terpusat. Pengawasan dilakukan melalui satu sentral pengawasan yang berada dalam lokasi yang seringkali tidak diketahui oleh publik. Arsitektur panoptikon senantiasa Sebagian besar konteks yang disampaikan di atas merupakan panoptisisme diterapkan dalam ruang semi-privat / semi-publik.
Bagaimana dengan penerapannya dalam konteks ruang publik? Ruang publik pun tidak lepas dari panotisisme. Ingat bagaimana pihak polisi di Inggris mampu menangkap para teroris yang menyerang stasiun KA bawah tanah? Hal tersebut dilakukan melalui kamera yang terpasang di sekitar stasiun. Seluruh scene dari rekaman CCTV tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk menghasilkan kesimpulan mengenai kecurigaan terhadap seseorang, sehingga akhirnya pelaku teror dapat ditangkap.
Ketika terjadi pemboman di depan Kedubes Australia (Bom Kuningan) pada tahun 2003, kita dapat menyaksikan proses meledaknya sebuah mobil yang membawa bom dari rekaman CCTV di luar salah satu gedung perkantoran di sekitar jalan tersebut. Kamera CCTV kemudian berperan sentral dalam melakukan analisis terhadap kasus-kasus teror bom di berbagai tempat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh semakin dibutuhkannya analisis terhadap karakteristik bom yang digunakan untuk mengidentifikasi pelaku lebih cepat. Tidak heran bahwa standar pengamanan gedung-gedung pemerintah, mall besar, maupun hotel berbintang menggunakan setidaknya kemera CCTV ini.
Perkembangan selanjutnya bahwa pengawasan terhadap seseorang yang dicurigai melakukan tindakan kriminal melibatkan teknologi yang lebih canggih. Penyadapan terhadap pembicaraan seseorang yang dicurigai maupun penggunaan teknologi staelit untuk mengidentifikasi letak pembicaraan. Dengan menanamkan pesawat pemancar GPS, pihak kepolisian dapat mengikuti mobilitas para tersangka kriminal. Evolusi model panoptisisme ini menunjukkan bahwa arsitektur panoptikon sudah mengalami perubahan yang dramatis.
Apabila pengawasan semula dilakukan melalui isolasi dan eksklusi terhadap ruang-ruang tertentu di dalam kota, maka saat ini model yang diterapkan tidak melalui proses yang demikian. Pengawasan dilakukan melibatkan teknologi informasi yang sangat canggih yang memungkinkan dilakukan pengawasan terpusat, dengan objek yang lebih mobile. Selain itu, terdapat perubahan dalam konteks penekanan terhadap penerapannya, yang semula dilakukan bagi kepentingan-kepentingan kesehatan menjadi kepentingan terhadap keamanan dan pertahanan. Hal tersebut berlangsung karena kota senantiasa menjadi target tindakan teror, atau dalam sebutan Kathleen M. Adams, sebagai urban jungles.
Apabila panoptikon diterapkan di dalam ruang publik, otomatis mereka yang tidak menjadi sasaran pengawasan akan mengalami kerugian. Ruang publik, dengan demikian, bukan lagi sebuah ruang publik, namun menjadi alat kepentingan bagi pihak-pihak yang memiliki kuasa atas pengawasan (umumnya pemerintah). Bagaimana kita menakar kedua dilema tersebut: di satu sisi pengawasan untuk melindungi kepentingan publik, namun pada sisi lain pengawasan mengurangi kemanfaatan ruang ekspresi sosial?
Saya tidak punya jawabannya.
2008 © Gede Budi Suprayoga
Tidak ada komentar:
Write comments