Lalu lintas sepi di Jalan Asia Afrika, Bandung, sekitar pukul 7 pagi, Andai kita bisa menghirup udara segar begitu keluar ruangan, tanpa harus jauh2 ke luar kota. Alangkah bahagianya. Transportasi massal, bike to work, bisa menjadi salah satu cara mewujudkannya.
Malas keluar rumah ? Sebagian orang Bandung  mengeluhkan jalanan macet yang tidak hanya weekend dan peak  hour saja, sekarang. Tapi tiap hari, dari pagi sampai malam.  Gemasnya, antri hampir di setiap perempatan dan ruas jalan yang dilalui.  Menguras tenaga, waktu, BBM dan kesabaran. Tua di jalan. Kalau orang  Bandung saja sudah malas, apalagi orang dari luar (saya belum mendengar  ada yang berwisata ke Bandung demi menikmati kemacetan Kota Bandung).  Bandung menjadi tidak kompetitif lagi. Mau ke mana-mana susah.  Mungkinkah Bandung ditinggalkan, jika orang sudah bosan dijebak  kemacetan? 
Tahun 2014, atau 3 tahun lagi dari sekarang (yang lebih optimis,  mengatakan 5 tahun) kendaraan akan stuck. Stagnan. Macet  total. Tak bisa bergerak. Kalau kita tak melakukan tindakan besar untuk  mencegah ‘kematian’ kota ini. Ibarat plak di pembuluh arteri jantung  yang sudah menumpuk, mengeras, lalu terjadi stroke. Silent death. 
Anda bayangkan saja, 17 % pertumbuhan kendaraan di Bandung, sedangkan  penambahan ruas jalan hanya 1 %. Tidak seimbang. Sebanyak 1.131.406  kendaraan berjubel di Bandung. (800 ribu sepeda motor, 300 ribu mobil,  285 ribu kendaraan pribadi, 45 ribu kendaraan umum). Perbandingan  angkutan umum dengan mobil pribadi, dulu 60 : 40. Kini kebalikannya, 40 :  60. Sebanyak 60-70 % kendaraan yang masuk Bandung berasal dari Jakarta (berplat B). 
Di Jakarta sendiri, yang mengalami kemacetan tak kalah  parah, terus ditambah 2000 kendaraan tiap harinya. Saat ini,  9 juta  kendaraan yang menyesaki jalanan Jakarta. Melihat sejarahnya, Kota  Bandung dirancang Thomas Karsten untuk 300 ribu jiwa dengan fungsi  residen (hunian). Kenyataan sekarang, dipadati 2 juta orang, untuk  fungsi komersial juga. Plus komuter, menjadi 3 juta pada siang hari.  Pantas berjubel.
  
  
 Becak udara berpenumpang 20, solusi kemacetan Bandung ?
Kenyataan hari ini, Bandung macet, dan kian  menjadi-jadi. Tidak kenal hari libur atau pun jam2 puncak, macet siap  menjebak anda, hampir di tiap ruas jalan. Kapan saja. 3 tahun lagi,  Bandung akan berhenti berdetak, jika tak ada upaya besar dan dramatis  untuk menangani kemacetan dan menghentikan laju pertumbuhan kendaraan. 1  juta kendaraan, dan terus bertambah 17 % tiap tahun ? 1 dari 2 orang  memiliki kendaraan.
Orang Perancis merasa salut dengan ketabahan orang  Bandung dengan lalu lintas seperti ini setiap hari (ia sendiri stres  menjalani kemacetan ini). Menekuri jengkal demi jengkal jalan, waktu  demi waktu. Anda merasa tabah ? Atau hopeless ? Bule ini  menawarkan moda transportasi massal seperti monorel dan cable  car ( kereta gantung). Teknologi kereta yang dicapai hari ini  sudah memungkinka  membawa 20 orang per unit. (masih membayangkan becak  di udara berpenumpang lebih dari 2 orang seperti di kawasan wisata  bersalju, pegunungan Alpen ?). Cable car ini misalnya bisa  diletakkan di Bandung Utara, Alun-alun, Jalan Dago dan Jalan Sudirman  yang sering macet. Tidak terlalu memakan tempat dibanding monorel,  katanya. Studi tentang ini sudah dilakukan sejak tahun 2009.
Para mahasiswa mengusulkan sistim sewa sepeda. Dari ITB ke Unpad,  atau kampus2 lainnya. Anak muda sudah bersedia ngaboseh seperti  mang becak dari satu tempat ke tempat lainnya (demi lancarnya  lalu lintas dan segarnya udara Bandung). Di pinggiran kota Bandung  disediakan kantong2 parkir bagi kendaraan dari luar Bandung. Kalau mau  hilir mudik di dalam Kota Bandung dipersilakan menggunakan transportasi  massal (disediakan yang aman, nyaman, terjangkau, minimal seperti di  Yogya). Rel kereta masih menjulur di berbagai lokasi di Bandung,  tinggal direvitalisasi dengan keretanya. Kereta Parahyangan rise up  again ? Bangkit lagi, kali ini melayani rute dalam Kota Bandung.  Isn’t that cool ?
  
Back to the train. Naik kereta api, tut, tut, tut …
Halte busway Yogya dekat Jalan Malioboro,  Yogyakarta. Bandung, kapan menyusul ? Sekarang masih darurat, berupa  tenda. Transportasi massal menjadi keharusan, untuk mengurangi kepadatan  lalu lintas. Bandung harus tetap bernafas. Keluar pagar rumah sudah  dijemput angkutan massal yang nyaman. Dengan satu tiket sampai ke  tujuan. Hmm..
  
Reklame megatron di depan Kantor Pos Besar  Jl.Asia Afrika, Bandung. Karena keterbatasan dana untuk membangun  jembatan penyeberangan, pemkot terkadang menggandeng swasta. Jadilah,  pesan sponsor sebagai kompensasinya, tertayang. Yang ini masih  mendingan, karena penyeberang tidak sampai tertutup reklame, sehingga  aksi kriminal bisa dihindari. Cuma, rada curam menaiki anak tangganya.  Di Dago, bahkan hilang railingnya. Setengah akrobatik melaluinya.  Anginnya wuss, wuss .. ketika di jalan, mari kita lihat belantara  reklame di Bandung, apakah masih mengikuti ketentuan? Menurut Perda  no.20 tahun 2009 ( Perubahan Perda no.02 tahun 2007 ), 7 kawasan bebas  reklame (tak boleh dipasangi papan reklame) di Bandung adalah Jl. Asia  Afrika, Braga, RAA Wiranatakusumah, Pajajaran, Ir.H.Juanda ( Dago ),  Dr. Junjunan dan Jl.Pasteur. UU no.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,  terutama Pasal 3 (c) berbunyi, terwujudnya perlindungan fungsi ruang  dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan  ruang. 
Penambahan 17 ruas jalan untuk reklame jenis bando, di Jl.Sunda (1 buah), Jl.Suniaraja (2 buah), Jl.Surya Sumantri ( 3 ),  Jl.Gardujati ( 2 ), Jl.Gatot Subroto ( 5 ), Jl. Ahmad Yani (1), Jl.Oto  Iskandardinata ( 2 ), Jl. Veteran ( 2 ), Jl. Lengkong Kecil (1), Jl.  Naripan (1), Jl.Dipatiukur (2), Jl.Wastukancana ( 1 ), Jl.Aceh ( 1  ), Jl.Kiaracondong ( 1 ), Jl.Jakarta ( 1 ), Jl.Astanaanyar ( 1 ) dan   Jl.Pungkur ( 1 ).
  
Kuota reklame jenis bando di 24 ruas jalan lainnya : di Jl. Laswi ( 2  buah ), Jl.Pelajar Pejuang ( 2 ), Jl.BKR ( 2 ), Jl. Peta ( 2 ), Jl.  Jamika ( 2 ), Jl.Moch Toha ( 2 ), Jl.Pasir Koja ( 2 ), Jl.Terusan Pasir  Koja ( 2 ), Jl.Kopo ( 2 ),  Jl.Terusan Buah Batu ( 3 ), Jl.Buah Batu ( 4  ), Jl.Kebon Kawung ( 2 ), Jl.Pasir Kaliki ( 5 ), Jl. Sukajadi ( 6 ),  Jl.Dr.Setiabudi ( 5 ), Jl.Cihampelas ( 6 ), Jl. Kebonjati ( 2 ),  Jl.RE.Martadinata ( 5 ), Jl.Terusan Jakarta ( 2 ), Jl.Ujung Berung ( 5  ), Jl.Jend.Sudirman ( 6 ), Jl.Surapati ( 3 ), Jl.PHH. Mustopha ( 3 ) dan  Jl.Merdeka ( 1 buah )
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Write comments