Pantai utara Jakarta mulai direklamasi tahun ini untuk menyediakan lahan bagi pembangunan, bendungan penahan kenaikan permukaan air laut dan sumber air baku untuk Jakarta Utara. Akan ada 6 pulau di atasnya dengan total luas 1700 hektar. Ada areal bisnis, perumahan, perkantoran, perdagangan, area pelabuhan, dermaga kapal cepat dan lapangan golf. 250 hektar untuk hutan bakau. Pulau hasil reklamasi ini diharapkan menjadi penyelamat daratan induk, sebagai tanggul laut. Permukaan air laut diperkirakan naik sampai 30 cm dalam 20 tahun mendatang akibat pemanasan global. Pengurukan laut masih harus menunggu pengesahan RTRW DKI Jakarta 2010-2030. Sepertiga Jakarta tidak jadi tenggelam pada tahun 2015? Atau ibukota RI jadi hengkang ke Kalimantan? We'll see.. Tata Ruang, apa kabarmu? Anda kenal ? (apaan tuh?).
Tapi anda tahu, kan, kalau membangun rumah tanpa IMB bisa dirobohkan. Kasus pembongkaran vila2 di Puncak, anda sering dengar beritanya di koran. Atau, aturan gedung2 di Kota Bandung tak boleh melebihi 17 lantai, demi keamanan penerbangan dari dan ke luar bandara Husein Sastranagara. Bangunan di Bali ditabukan melebihi tinggi pohon kelapa (meski kalangan investor berupaya menggugat hukum adat itu). Bali mempesona dengan seni tradisinya yang terjaga, bukan gedung2 pencakar langit modern seperti keseragaman di banyak tempat dunia. Be yourself, people ...
Dalam perjalanan pulang, anda lihat bedeng liar di bantaran kereta api atau sungai. Warteg di atas saluran air (drainase). Anda lihat ruang hijau mendadak (berubah) pomp bensin (SPBU). Trotoar dipenuhi PKL, sekaligus lalulintas alternatif bagi motor ngepot. Lapangan olahraga jadi kios untuk kas RT. Halaman depan rumah yang dulu taman, resapan air, ruang masuk cahaya matahari untuk kesehatan penghuni rumah (alias tak boleh dibangun karena dikenai aturan sempadan) ternyata dimanfaatkan untuk kandang ayam (yah, daging ayam memang sedang mahal).
Serangkai pemandangan biasa ini adalah contoh pelanggaran Tata Ruang. Ruang ditata agar warga mendapat manfaat maksimal dari penggunaan lahan. Kalau kita yang untung, mestinya kita peduli.
Jalan jebol, overload, karena .. karena ..
Kios liar ukuran 1,5 x 2 meter di atas saluran air, kelurahan Durikosambi, Jakarta, sebelum lebaran lalu. Kegiatan menjajakan makanan, barang elektronik, pulsa, hingga usaha tambal ban, berikut buangannya, mendangkalkan saluran drainase selebar 1,5 meter di bawahnya. Apalagi jarang dikeruk dan dibersihkan. Giliran hujan, permukiman sekitarnya jadi rentan kebanjiran. Jalan cepat keropos dan rusak. Salah siapa ? ( foto : beritajakarta)
Jalan rusak berlubang, semua pun kompak protes. Tapi, adakah yang berpikir, rusaknya jalan karena ulah masyarakat yang tidak tertib Tata Ruang ? Kondisi drainase kota buruk, karena masyarakat gemar buang sampah sembarangan. Enggan merawat lingkungan. Karena pemilik kios di atas saluran (berikut limbah usahanya) terus membandel ketika ditertibkan satpol PP. Karena penyelenggara jalan membuat paket perbaikan jalan terpisah dengan paket perbaikan drainase. Terjadilah tanggul saluran lebih tinggi dari jalan, karena tidak terintegrasi perencanaan dan pelaksanaannya. Jalan berubah fungsi jadi selokan raksasa. Aspal cepat melapuk, lalu rusaklah jalan. Tamat riwayatmu .. (bagi yang tidak gesit berakrobatik menghindari lubang).
Karena antar instansi kurang koordinasi ketika menanam instalasi di bawah jalan. Gali lubang tutup lubang, setelah ratusan milyar dana APBD digelontorkan untuk menghaluskan jalan. Karena pemerintah menangani semua pembangunan infrastruktur. Karena supir melanggar aturan tonase kendaraan saat melintasi jalan. Karena warga berbondong-bondong sepulang mudik membawa orang sekampung, meski minus ketrampilan. Ramai2 menyesaki kota. Karena investor berebut membangun mall di pusat kota yang sudah padat merayap. Karena tak berdayanya para pengambil kebijakan menghadapi manuver dan target produksi industri otomotif. 2 juta motor tahun ini, kata mereka. Pertumbuhan kendaraan 14 % pertahun. Jalan pun menjerit (kelebihan beban). Kalau saja pembangunan merata, penduduk tersebar, Jawa takkan tenggelam. Nasi sudah jadi bubur. Tahun 2015, diprediksi Jakarta tenggelam. Jalan R.E.Martadinata, Jakarta, dini hari amblas sepanjang lebih 100 meter. Rupanya, penurunan tanah di salah satu kota terpadat di dunia ini sudah parah. Sampai 20 cm pertahun. Penyedotan air tanah yang luar biasa rakus akibat beban penduduk yang luar biasa banyak (masih berniat megapolitan ?).
Air laut pun merembes ke daratan (intrusi). Air sumur jadi asin. Muncul wacana pemindahan kota ke Kalimantan. Sisi lain kepadatan penduduk adalah kemacetan jalan yang memboroskan bahan bakar (kita masih bicara Tata Ruang, lho, terutama rencana tata ruang yang keliru atau dampak pelanggaran). Muncul wacana pembatasan subsidi BBM untuk kendaraan tahun 2005 ke atas, atau lebih tepatnya mesin injection. Mobil lama dengan karburator masih diperbolehkan menggunakan premium / oktan rendah / subsidi. Mobil lama jika menggunakan pertamax, mesinnya akan terasa lebih joss (bertenaga). Mesin lebih awet. Mau coba campursari, premium dengan pertamax ? (untuk mobil lama). Boleh. Sesuaikan dengan ketebalan kantong anda. Zat aditif di pertamax, rupanya biang ketokceran mesin mobil. Coba saja. Hitung2 membantu menghemat anggaran negara.
Dulu pengekspor, kini pengimpor minyak. 350 ribu barel perhari. Subsidi bye bye ..
Kenapa kita harus berhemat ? Yah, karena kita sudah keluar dari OPEC (negara-negara pengekspor minyak). Kita sekarang turun status, jadi pengimpor minyak. 350 ribu barel perhari. Tahun 1970, produksi minyak kita sampai 1,6 juta barel perhari. Penggunaan dalam negeri hanya 400 ribu barel. Surplusnya digunakan presiden untuk Inpres dan Banpres. Hari ini, produksi minyak kita cuma 900 ribu barrel, penggunaan dalam negeri 1,3 juta barel. Perhari. Tekor, deh. Konsekuensinya, negara mesti mensubsidi bahan bakar yang kita gunakan sehari-hari. Studinya secara ekonomi (secara sosial budaya belum terdengar, meski kebijakan itu merubah drastis kultur masyarakat, seperti konversi minyak tanah ke gas, sehingga terjadilah ledakan2 beruntun itu), katanya, bisa menghemat anggaran hingga 2 trilyun rupiah. Benarkah ?
Ini pemerintah, otaknya mesti dicuci. Masyarakat, otaknya juga mesti dicuci, kata pengamat migas, berseloroh dengan rekannya, pengamat kebijakan publik. 2 trilyun itu, pada prakteknya akan lain. Jalanan macet, apanya yang bisa dihemat ? Apalagi, kendaraan lawas yang efesiensinya berkurang. Nyedot premiumnya (subsidi) juga banyak. Ide barcode untuk membedakan mobil baru dengan mobil lama, apa ada yang bisa menjamin, bukan orang dekat pengambil kebijakan itu yang mendapatkan proyeknya? Apakah pegawai pomp bensin kuasa menolak, ketika pengendara dengan pangkat dan simbol-simbol tertentu minta mobil barunya diisi premium? Masyarakat kita terkenal ‘kreatif’. Mereka bisa membeli premium dengan mobil lama lalu mengisinya ke mobil barunya di rumah. 3-4 buah berderet di garasi. Atau menjualnya ke teman atau tetangganya. Jadi agen dadakan. Mau adu cerdik? Di pusat kota, hanya ada pomp bensin pertamax. Pomp bensin premium akan ditaruh di pinggiran kota. Laut pun akan kami seberangi untuk mendapatkan BBM murah meriah, kata mereka sambil nyengir. Kami, kok dilawan ....
Pomp bensin premium khusus angkutan umum?
Mendekati. Kuncinya, beri saingan pada mereka (pemilik mobil baru, industri otomotif yang didukung banyak industri manufaktur). MRT. Transportasi massal yang nyaman (pengendara mobil pribadi yang tak sensitif harga, sudah kepincut) dan terjangkau (pengendara motor yang koceknya ngepas sampai rela mudik antar provinsi dengan moda diperuntukkan dalam kota ini, ikut tergoda). Dikondisikan bermacet ria yang menguras bensin dan kesabaran, atau bersantai asyik di angkutan massal sambil membayangkan istri tercinta (hushh .. baca komik buat yang masih sekolah ), tentu mereka memilih yang terakhir. Setuju ?
Subsidi menyentuh hajat hidup orang banyak. TNI-Polri naik gaji?
Uang hasil penghematan subsidi bisa dialokasikan untuk program-program yang mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum. Langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Seperti membebaskan retribusi terminal, meringankan pajak transportasi umum, memberi insentif bagi pengusaha angkutan umum yang menjaga kualitas prima pelayanannya pada konsumen, memberi kesejahteraan bagi polisi, TNI, aparat keamanan yang menjaga keamanan perjalanan penumpang, membangun infrastruktur dan peralatan navigasi yang baik untuk transportasi massal, dsb. Baru setelah itu, pemerintah boleh menjalankan pembatasan subsidi dsb, karena masyarakat sudah diberi pilihan yang lebih baik. Everybody’s happy ..Demikian juga, Tata Ruang. Pengetahuan tentangnya, akan memberi pilihan pada masyarakat akan hidup lebih berkualitas, di luar kesumpekan yang dirasakan selama ini. Bahwa, ada cara lebih baik menjalani umur. Tak perlu melewati jalan macet, rusak, kumuh dan rawan kamtibmas. Tahu akan diapakan daerah tempat tinggalnya. Ikut aktif mengawasi pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) yang tertuang di perda. Konsistensinya. Ada pelanggaran? Adukan saja ke BKPRN yang akan menggelar Pengadilan Tata Ruang. (Ada gitu?) Tulisan di bawah bisa jadi cikal bakalnya. Sudah saatnya isu Tata Ruang up to the next level. Check this out....UU no 26 dan 27 tahun 2007 disatukan & direvisi. Darat, laut dan udara ..Pantai dan laut diperlakukan seperti halnya ruang kota di UU no.27 tahun 2007. Peruntukannya bisa tambak ikan, rumput laut dan pengeboran minyak. Ketika daerah semau gue membuat kebijakan, pada siapa masyarakat mengadu ? DKP yang mengusung aturan ini juga bingung.
(foto : handajani) Syahibul hikayat ada UU no.26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Ada pula Undang-undang no.27 tahun 2007 tentang Kelautan ( atau Tata Ruang Laut ). Ada pasal yang mengatur pelabuhan perikanan dan zoning pantai. Daerah yang membutuhkan tambak ikan yang bernilai tinggi, rumput laut, tambang minyak bisa mengkavling pantai dan laut, serta memperlakukannya sebagai ruang, kata planolog Imanda Pramana, ST. IAP. It’s about time.
Sayangnya, Departemen (Kementerian) Kelautan dan Perikanan masih bingung jika ditanya soal ini. Padahal mereka yang mengusung aturan ini. Berbeda dengan RTRW yang sudah jelas penjaga gawangnya (Kementerian Pekerjaan Umum), soal zona kelautan dan kebijakan terhadapnya, daerah masih tidak tahu harus ke mana berkomunikasinya. Siapa yang bertanggung jawab secara nasional? Pagi tadi (22/9/2010 di radio Trijaya), pejabat dari Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen PU sudah sampai taraf menghimbau masyarakat agar segera membentuk wakilnya (misalnya, Komunitas Peduli Tata Ruang) untuk berdiskusi dengan pemda, memberi input pada RTRW yang akan / sedang dibuat, juga mengawasi pelaksanaannya nanti. (PP turunan UU RTRW masih dikejar dalam 2 tahun ini).
Daerah juga diminta menunjuk instansi mana yang ditugasi merespon dan menindaklanjuti pengaduan dari komunitas pengawas RTRW ini. Sudah sampai mana Tata Ruang Laut ?Jika masih keteteran, tidakkah lebih baik UU Tata Ruang Laut dimasukkan saja ke UU RTRW? UU no.26 tahun 2007 juga masih belum lengkap. Tidak menyinggung masalah pertahanan dan keamanan, padahal implementasi UU ini menyentuh tingkat Kodim / provinsi sampai Kodam. Meski tidak terploting, seharusnya ada amanat keberadaan institusi ini dalam infrastruktur keamanan, seperti halnya RTH, sehingga tidak kontra produktif. Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Daerah (BKPRD) bisa berperan mengatur kelembagaannya. Sayangnya, BKPRD, saat ini, adalah kumpulan dinas-dinas yang pemimpinnya diangkat Kepala Daerah. Bisakah independen? Jika tidak, mesti dirombak habis, diganti dengan lembaga independen yang memiliki mekanisme persidangan yang jelas, sehingga walikota atau bupati pun tinggal tanda tangan atau menyetujui. Jika menolak harus jelas alasannya.
BKPRD andal & independen, Tata Ruang aman meski pembangunan pesat.
Keputusan BKPRD sering memunculkan persoalan. Sinyal, anggota BKPRD meski ada dari unsur luar dinas, supaya bisa independen. Misalnya, mengacu PP no.34 tahun 2009 ; PNS atau TNI tidak boleh menjadi anggotanya. Sudah waktunya ada satu tim independen dari BKPRD yang bisa bicara bebas, menentukan kehendak bebas, termasuk mengatur kebebasan swasta yang akan memasuki wilayah atau ruang. Pengaturan infrastruktur di suatu wilayah pembangunan memakan APBD. Padahal, anggaran itu tak perlu digunakan, jika bisa membuka ruang untuk swasta. Semacam kawasan strategis tapi otonom seperti Singapura.
Swasta yang berusaha, pemerintah tinggal menghubungkan perencanaannya. Satu blok wilayah membuka usaha pariwisata, pemerintah mengatur dan menentukan kawasan di belakangnya akan dijadikan apa. Pemerintah tinggal mengatur tanah yang ‘dijual’ ( hak pengelolaannya ) tsb. Agar kita cepat maju, pemerintah tak perlu menangani semua pembangunan. UU no.26 tahun 2007, juga belum jelas mengatur hal ini. Harus ada privat yang bisa menguasai lahan, sekaligus tunduk pada aturan pemerintah yang diwakili BKPRD yang independen dan andal, tetapi tetap berkoordinasi.
Emangnya cuma ahli hukum yang pengacara ? Planolog, urban designer, arsitek juga bisa.
Seharusnya, Tata Ruang melibatkan tenaga ahli yang jelas statusnya. Kiprahnya menentukan hajat hidup orang banyak. UU no.26 tahun 2007 tidak memuat klausul para ahli dilibatkan. Para ahli tata ruang diusulkan melakukan pekerjaan seperti pengacara yang bisa membela kliennya, mengajukan usul ke BKPRD, melakukan persidangan dengan BKPRD. Harus ada planner (perencana) yang bisa menjelaskan kepada masyarakat tentang banyak hal, masalah, yang kedetailan sehari-hari mencapai skala 1 : 1000 atau 1 : 500, tapi tidak tertuang dalam RTRW. RTRW, RDTR dan zoning tidak bisa menjawab, padahal masalah harus segera diselesaikan. Pengacara biasa tidak mengerti tata ruang.
Pengadilan Tata Ruang, pengacaranya bisa dari profesi mana saja. Bayangkan BKPRD dengan metode trias politika (ada eksekutif, legislatif dan yudikatif). Yudikatif tidak boleh bermain di Tata Ruang. UU no 26 tahun 2007 belum dilengkapi lembaga yudikatif. BKPRD yang sudah dirombak, bisa jadi cikal bakalnya. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu full menggunakan APBD untuk membangun infrastruktur. Pada titik ini, UU no.26 tahun 2007 perlu direvisi sekaligus disatukan dengan UU no 27 tahun 2007. Daripada, DKP bingung menerapkannya.
UU no 27 tahun 2007 memang bagus, tapi nyatanya ketika daerah berbuat seenaknya membuat aturan turunannya, kita akan mengacu ke mana ? (jadinya seperti macan kertas). PU juga tidak tahu. Induknya tidak jelas. Atau Tata Ruang dikeluarkan dari PU, dialihkan ke badan nasional semacam BKPRN? http://www.bkprn.org. Apakah persidangannya di sana ? Apakah harus seperti itu, tentunya perlu kajian lebih mendalam. (“Tata Ruang” ed.6/2010)
Tidak ada komentar:
Write comments