Kota memerlukan energi dalam setiap proses kegiatannya, seperti: transportasi, industri, komersial, infrastruktur, permukiman, dll. Kota “mengumpulkan” sekaligus melepaskan energi ke lingkungan yang dalam beberapa hal menciptakan tekanan yang besar terhadap lingkungan dan menimbulkan dampak-dampak tertentu. Jika terdapat model pemanfaatan energi, kota-kota memiliki tingkat konsumsi energi dibandingkan perdesaan. Dalam konsep ecological footprint, kota memiliki footprint yang lebih besar dibandingkan dengan kawasan perdesaan. Ecological footprint merupakan istilah untuk melihat konsumsi rata-rata warga kota yang dikonversikan ke dalam lahan produktif, termasuk dalam hal energi. Urbanisasi merupakan proses yang memerlukan asupan energi yang cukup besar.
Konsumsi energi cenderung meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, kegiatan, dan luasnya kawasan perkotaan. Dengan tingginya harga minyak dunia, keperluan energi sebagian besar penduduk perkotaan semakin sulit dipenuhi, terutama bagi mereka yang berpendapat rendah. Saat ini kita disuguhi dengan pemandangan semakin tingginya antrian warga kota untuk mendapatkan minyak tanah keperluan sehari-hari. Semakin menurunnya produksi minyak dalam negeri dan tingginya harga minyak dunia, kota-kota di Indonesia mengalami kondisi yang disebut sebagai “krisis energi”. Sayangnya, kota-kota kita tidak siap dengan kondisi krisis ini. Tulisan ini mendiskusikan bagaimana perencanaan kota dapat berkontribusi dalam menghadapi krisis energi.
Pendahuluan
Harga minyak dunia jelas memberikan tekanan terhadap kelangsungan sumber energi kota-kota di Indonesia. Antara tahun 1947 – 2007, telah terjadi dua kali shock dalam harga minyak dunia, yaitu periode 1979 – 1981 dan periode 2001 – 2007. Pada tahun awal tahun 2008, harga minyak dunia telah menyentuh angka US$ 110 yang jelas memberikan tekanan terhadap APBN. Di antara dua periode tersebut, periode terakhir yang paling memberatkan. Pada periode yang pertama Indonesia masih memproduksi minyak bumi dan termasuk ke dalam Negara-negara APEC. Bonanza minyak menyebabkan pemerintah memiliki kelebihan dana untuk pembangunan dalam negeri. Sementara pada periode kedua, Indonesia bukan lagi menjadi ekportir minyak bumi, melainkan telah menjadi net importir. Kondisi ini semakin memberatkan karena lambatnya antisipasi terhadap kekurangan BBM di dalam negeri untuk berbagai keperluan, seperti: pembangkit listrik yang sangat dibutuhkan industri.
Dalam kondisi yang terdesak tersebut, masyarakat diminta untuk menghemat penggunaan energinya. Isu penggunaan energi di Indonesia yang sangat boros barangkali telah menjadi cerita lama. Tetapi, apabila dicermati secara mendalam, penggunaan energi per kapita masih tergolong sangat rendah. Namun, intensitas energi di Indonesia termasuk yang paling tinggi di ASEAN. Intensitas energi merupakan ukuran efisiensi penggunaan energi berdasarkan kinerja ekonomi suatu negara. Semakin tinggi intensitas energi, berarti harga energi relatif tinggi dibandingkan dengan besaran PDB Negara tersebut. Selain itu, intensitas energi memperlihatkan kemampuan Negara tersebut untuk memanfaatkan energi bagi kegiatan-kegiatan produktif. Intensitas energi yang tinggi memperlihatkan tingginya jumlah energi yang “terbuang” bagi kegiatan-kegiatan non-produktif (ekonomi). Dalam perbandingannya dengan negara lain, intensitas energi di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, sementara konsumsi energi per kapita masih tergolong rendah. Dalam Gambar B, terlihat bahwa negara-negara maju cenderung lebih mampu untuk melakukan menekan intensitas energinya (Jepang, OECD, Amerika Utara, dan Jerman). Padahal, konsumsi energi di Negara-negara tersebut sangat tinggi, terutama untuk menyokong industri di dalam negerinya.
Gambaran situasi di atas memperlihatkan bahwa kota-kota di Indonesia perlu bersiap menghadapi krisis energi, di samping melakukan efisiensi internal dalam pemanfaatan energi. Terutama, kota-kota Indonesia terus-menerus mengalami sprawl yang meluas, tingkat primacy dapat digolongkan cukup besar. Kota-kota di Negara maju, seperti Amerika Serikat telah menerapkan berbagai program sebagai upaya mengatasi krisis energi di negaranya.
Kota-kota di Indonesia: Sebuah Gambaran bagi Pemanfaatan Energinya
Di bawah ini disampaikan berbagai indikator penggunaan energi di perkotaan, di antaranya: fisik, demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Tidak adanya studi yang secara khusus membahas keterkaitan antara karakteristik fisik, demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya kota-kota di Indonesia membuat ulasan di bawah ini sekedar gambaran kasar. Hal ini juga menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada saat ini tidak disadari basis data yang memadai dan berkesan terburu-buru.
Dilihat secara demografis, selama dua dekade terakhir, Indonesia mengalami proses urbanisasi yang lebih lambat dibandingkan dengan kota-kota lain di Asia Tenggara (IGES, 2004). Terdapat pula kecenderungan penurunan tingkat pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan. Namun demikian, tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan di perdesaan. Seiring dengan penurunan pertumbuhan penduduk nasional, yang terjadi adalah pertumbuhan penduduk perdesaan yang negatif. Ada dua hal yang memungkinkan hal tersebut: migrasi penduduk ke perkotaan dan perubahan status area perdesaan menjadi perkotaan. Seiring dengan kecenderungan demografi tersebut, persentase penduduk di kota (bukan perkotaan) meningkat hingga mencapai 42 % pada tahun 2000.
Apabila melihat dari perspektif urban metabolism, kota dengan konsentrasi penduduk yang semakin meningkat memerlukan pengelolaan sumber daya yang memperhatikan asupan sumber daya yang dapat diperoleh dari wilayah sekitarnya yang cenderung semakin bertambah. Dalam istilah Mathis Wackernagel dan William Rees (1996), kota dengan asupan sumber daya (energi, lahan, makanan, jasa, dan jasa) memiliki footprint yang luas. Dengan demikian, kota membutuhkan berlangsungnya aktivitas dengan cara mengekspor air, energi, dan pangan dari wilayah sekitarnya. Sementara itu, penggunaannya di kawasan perkotaannya sendiri masih belum efisien. Penggunaan energi makin yang meningkat seiring dengan penambahan konsentrat gas rumah kaca di udara yang berasal dari kegiatan transportasi dan industri. Studi menunjukkan bahwa Jakarta hanya memperoleh udara bersih sebanyak 6 hari dalam setahun (Husein, 2006).
Apabila dicermati dari pertumbuhan ekonomi, terdapat kecenderungan bahwa lonjakan dalam pertumbuhan nasional diikuti oleh fluktuasi dalam pertumbuhan permintaan energi. Data statistik berikut menunjukkan bahwa kota besar dan metropolitan yang merupakan merupakan “mesin” bagi pertumbuhan ekonomi nasional, yang pada masa krisis mengalami penurunan yang sangat drastis, dan masih tertinggal sampai dengan tahun 2002. Salah satu spekulasi yang dapat dikemukakan adalah terjadinya pemborosan dan produktivitas yang menurun pada kota-kota tersebut. Melihat kepada pola pertumbuhan kota besar dan metropolitan di Indonesia, tidak berlebihan apabila disimpulkan bahwa permintaan konsumsi energi terkonsentrasi di kota-kota besar dan metropolitan.
Gambar C menunjukkan kaitan antara pertumbuhan PDB dengan pertumbuhan konsumsi energi nasional. Pola grafik antara keduanya menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi energi mengikuti pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, nampak bahwa pada masa krisis 97/98 penurunan PDB jauh lebih drastis dibandingkan dengan penurunan konsumsi energi dan sebaliknya pada masa pemulihan kenaikan konsumsi jauh lebih tinggi daripada kenaikan PDB dan kemudian terjadi lagi penurunan konsumsi energi per kapita sejak 1999 sampai 2003 hingga di bawah angka 1993-1994. Dengan demikian, kota-kota besar dan metropolitan merupakan kota yang mempengaruhi konsumsi energi secara nasional karena dampak yang ditimbulkan oleh fluktuasi perekonomian kota tersebut terhadap konsumsi energi. Kesimpulan ini ditarik melalui analogi bahwa penggerak utama perekonomian sebelum krisis ekonomi adalah kota-kota metropolitan dan besar. Seiring dengan surutnya pertumbuhan ekonomi di kota-kota tersebut maka pertumbuhan konsumsi energi pun menurun. Kesimpulan ini pun harus disikapi secara berhati-hati karena adanya pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak yang mengurangi konsumsi BBM secara nasional. Selama belum terdapat statistik yang memilah konsumsi antara perkotaan dan perdesaan, maka kesimpulan ini sifatnya tentatif.
Pertumbuhan kota yang ke segala arah umumnya terjadi di beberapa perkotaan di Indonesia. Kota-kota tumbuh dengan cepat menciptakan fenomena urban primacy. Kehadiran kota-kota metropolitan merupakan bukti dari terjadinya fenomena tersebut. Indonesia memiliki lima metropolitan dengan kecenderungan pembangunan acak ini (Gardiner dan Gardiner, 2006). Beberapa di antara metropolitan tersebut memiliki daerah pusat yang telah jenuh (Samiaji, 2006) sehingga pembangunan mengarah ke pinggiran, terutama untuk permukiman. Pengembangan kota baru pun dilakukan. Kritik terhadap pola pembangunan berbagai kota baru ini adalah jaraknya yang terlalu dekat dengan kota inti (< 20 km). (Kota baru yang tumbuh ternyata belum mandiri dan masih terikat dengan kota inti yang mendorong perjalanan komuting.) Perjalanan komuting yang dilakukan selama ini memakan biaya yang mahal bagi kelas-kelas pekerja. Dari sudut pandang ekologis, kondisi ini mencerminkan kota yang boros energi dan tidak ramah lingkungan.
Gambar D disamping memperlihatkan pertumbuhan penduduk di metropolitan Jakarta dan sekitarnya lebih condong mengarah ke sepanjang koridor Bogor dan Cianjur (ke selatan). Tercatat pula pada tahun 2005, terdapat 1.026 desa yang dapat dikategorikan sebagai urbanized dan 798 desa yang tetap tergolong rural. Kondisi ini menunjukkan menciptakan kawasan-kawasan pinggiran dengan aktivitas tinggi, seperti kawasan peri-urban. Sementara itu, konsentrasi penduduk tertinggi terletak di kota pusat atau Jakarta karena konsentrasi kegiatan ada di sana. Terdapat kaitan yang tidak menguntungkan antara pembangunan perkotaan dengan pola menyebar dengan jaringan dan layanan transportasi yang buruk, yang mendorong penggunaan kendaraaan pribadi yang tinggi. Kemacetan, tingkat polusi yang tinggi, dan pemborosan energi adalah dampak-dampak merugikan yang ditimbulkan, antara lain oleh kegiatan komuting dan penggunaan kendaraan pribadi yang tinggi. Pola perkembangan fisik perkotaan ini menjadi indikator bahwa kota-kota besar semakin tidak ramah lingkungan.
Kemana Kota-kota Kita akan Melangkah? Mencermati Kebijakan Energi Nasional di Perkotaan
Salah satu “kegagapan” pemerintah pusat dalam menyikapi krisis energi adalah tidak adanya kebijakan dalam skala kota dan perkotaan yang mampu diterapkan dengan efektif. Padahal, tidak hanya pemerintah pusat yang disibukkan dengan masalah “energi” ini. Saat ini kita menemukan antrian warga kota yang akan memperoleh minyak tanah. Krisis energi ini merupakan “bom waktu” bagi pemerintah kota bagi penciptaan kestabilan ekonomi dan sosial di daerahnya. Keresahan sosial (social unrest) yang meningkat menciptakan biaya-biaya sosial yang barangkali melebihi tanggungan APBN untuk subsidi masyarakat miskin.
Di sini lain, pemerintah kota tidak pernah mandiri dalam pengelolaan energinya. Pengelolaan energi dianggap sebagai urusan bukan wajib dan dalam kenyataannya memang demikian (lihat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Kondisi ini menyebabkan pemerintah kota berkesan wait and see terhadap krisis energi yang tengah berlangsung. Kebijakan yang berkesan saling lepas, tidak terkait satu sama lain, dan kurangnya sosialisasi menyebabkan persoalan energi di perkotaan semakin mengkhawatirkan. Dalam uraian di atas terlihat bahwa kota merupakan salah satu konsumen energi terbesar seiring dengan pertumbuhan demografi dan fisiknya.
Kondisi yang berbeda dapat ditemukan di negara yang lebih maju, seperti Amerika Serikat. Setiap negara negara bagian (state) memiliki kemandirian dalam pengelolaan energinya. Tidak heran, apabila masing-masing negara bagian dan county (setingkat kabupaten/kota) memiliki kebijakan operasional terkait dengan energi, seperti: program efisiensi dan diversifikasi energi, maupun rancangan teknologi inovatif. Program penghematan energi telah diintegrasikan ke dalam sektor-sektor yang selama ini boros terhadap energi, seperti transportasi dan industri. Sebagian besar negara bagian beserta tingkatan di bawahnya memiliki suatu rencana pengembangan energi untuk mengantisipasi krisis energi yang dihadapi. Kondisi yang sangat berbeda dialami di negeri ini yang daerahnya sangat dimanjakan dengan subsidi BBM dan pasokan energi yang diurus oleh satu Badan Usaha Milik Negara (Pertamina).
PP No. 38 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang merupakan penjabaran dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan pada pasal 7 (4) bahwa urusan energi dan sumber daya mineral merupakan urusan pemerintah daerah. Namun demikian, urusan tersebut masih berupa pilihan yang artinya tidak wajib dilaksanakan karena disesuaikan dengan kondisi, kekhasan, dan potensi yang dimiliki oleh daerah. UU ini memberikan penafsiran bahwa daerah tidak perlu susah payah dalam urusan pengelolaan energi.
Terbitnya Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, memperlihatkan tekad pemerintah untuk menjaga keamanan pasokan dalam negeri yang dicapai melalui pengurangan elatisitas energi lebih kecil dari satu dan meningkatkan penggunaan energi non-fosil. Perpres ini kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres No. 1 dan 2 Tahun 2006 untuk mendorong kebijakan energi nasional tersebut pada tingkat daerah, terutama pada penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif, meskipun pada tingkatan penyediaan dan sosialisasi pemanfaatan sumber energi alternatif. Seringkali, daerah kota-kota bukanlah daerah penghasil energi, sehingga ketergantungan terhadap wilayah luarnya sangat tinggi. Pengembangan energi alternatif sangat tepat ditindaklanjuti, terutama dengan pemanfaatan energi dari alam, seperti angin dan matahari.
Dalam UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, secara tegas dinyatakan krisis energi merupakan perhatian bersama dan diatasi melalui kerja sama berbagai pihak, sebagaimana halnya dua Inpres sebelumnya. Pemerintah Daerah dituntut menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang nantinya ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Masyarakat juga didorong partisipasinya dalam penyusunan RUED. Secara khusus, dalam bidang ketenagalistrikan, melalui UU No. tentang Ketenagalistrikan, daerah telah sejak semula dituntut untuk menyusun rencana umum ketenagalistrikan di daerahnya. Entah mengapa, tidak banyak daerah yang menindaklanjuti UU tersebut. Tidak hanya itu, kewenangan pemerintah daerah dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 26 UU Energi, yang di antaranya adalah penetapan kebijakan pengelolaan energi di wilayahnya.
Dalam UU Energi pula disebutkan kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menyediakan dan meningkatkan energi baru dan energi terbarukan. Pemerintah daerah dapat mendorong investasi dalam kedua bidang tersebut melalui insentif bagi badan usaha yang tertarik dalam bidang tersebut. Laporan Clean Edge (2007) memperlihatkan peluang pasar biofuel di dunia tahun 2006 mencapai 20,5 miliar dollar AS. Beberapa daerah di Indonesia, telah mengembangkan biofuel ini, misalnya di Cirebon dan di Riau. Jelas sekali, kebijakan ini belum menyentuh kawasan perkotaan dengan dominasi kegiatan terbangun. Koordinasi dalam pengembangan energi terbaharukan ini pun masih lemah.
Dalam konteks pengelolaan energi, konservasi energi perlu dilakukan bersama-sama oleh pemerintah pusat dan daerah, pengusaha, dan masyarakat. Dengan kewajiban untuk melakukan konservasi energi, pemerintah kota harus turut mendorong penghematan dan efisiensi energi yang berlangsung di dalam industri dan oleh masyarakat, serta memberikan insentif bagi mereka yang berhasil melakukan kegiatan konservasi energi ini. Perangkat kebijakan yang ada di daerah saat ini masih minim dalam kegiatan konservasi ini.Menurut UU Energi pula, penelitian dan pengembangan penyediaan dan pemanfaatan nergi merupakan kewajiban pemerintah daerah. Konteks “penghematan energi” ini yang sedikit mengkhawatirkan karena kota-kota kita masih rendah produktivitas ekonominya. Apabila penghematan dilakukan secara membabi buta, maka akan dikhawatirkan kelangsungan ekonomi kota akan terancam.
Disini terlihat bahwa, kota-kota di Indonesia tidak siap dengan situasi krisis energi yang tengah berlangsung. Padahal, kota termasuk yang paling boros penggunaan energinya karena konsentrasi berbagai kegiatan di dalamnya. Disini diperlukan kebijakan energi yang menyentuh kota sebagai sebuah entitas pengguna energi terbesar di negeri ini dan sangat menentukan.
Kesimpulan: Apa yang Bisa Dilakukan oleh Perencanaan Kota?
Kota memberikan tekanan yang besar terhadap pemanfaatan energi di Indonesia. Kota merupakan konsumen energi yang tinggi di negeri ini, dan dengan demikian sangat mempengaruhi dan dipengaruhi krisis energi nasional yang tengah berlangsung. Dengan pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan tingkat urbanisasi yang sudah mencapai 40%, pemanfaatan energi di perkotaan menjadi sangat penting untuk ditangani. Tantangan lainnya adalah efisiensi dalam pemanfaatannya, sehingga produktivitas kota-kota tersebut tetap tinggi.
Sayang sekali, bahwa kebijakan nasional tidak menyentuh kota secara eksplisit dalam penanganan krisis energi. Padahal, krisis energi telah menjadi perhatian nasional di tengah naiknya harga minyak mentah dunia. Tidak seperti negara-negara maju, kota telah menjadi bagian terintegrasi dari program-program menyangkut keenergian, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pun, hanya menempatkan pengelolaan energi sebagai wewenang pilihan. UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi mewajibkan daerah-daerah untuk memiliki rencana umum energi daerah yang ditetapkan dengan Perda. Dengan demikian, kota-kota pun perlu menyusun rencana umum tersebut.
Namun, kaitan antara kajian mengenai kota dan pengelolaan energi di Indonesia masih sangat kurang diperhatikan. Permasalahan yang harus dihadapi oleh kota-kota ketika menyusun rencana umum energi daerah adalah basis data yang belum lengkap dan akurat. Hal ini dapat menjadi “rangkaian yang hilang” dalam pengembangan kebijakan pengelolaan energi di daerah. Pengambil kebijakan memerlukan data yang akurat, misalnya, mengenai neraca energi di kota-kota tersebut. Data ini pun menjadi bahan informatif perihal konsumsi energi, seperti pemetaan sosial energi maupun spasialnya. Tentu saja tidak hanya menyangkut energi listrik yang menjadi bagian dari Rencana Umum Kelistrikan Daerah (RUKD), melainkan keseluruhan energi yang digunakan warga kota.
Menyangkut efisiensi pemanfaatan energi, perlu melihat kaitan konsumsi energi dengan produktivitas ekonomi perkotaan, serta dampak-dampak dari konsumsi yang berlebihan. Dalam pengertian ini, konsumsi energi memang dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan produktif. Perhitungan terhadap ecological footprint, salah satu ukuran yang dapat diterapkan untuk menghitung dampak, dapat menjadi salah satu bagian riset energi ini. Di samping itu, studi mengenai konsumsi energi oleh berbagai sektor dapat memperlihatkan sektor-sektor mana yang masih dapat ditekan konsumsi energinya.
Kebijakan dan pedoman yang dapat dikembangkan tidak hanya menyangkut energi per se, melainkan telah memperlihatkan kaitannya dengan sektor-sektor pengguna energi, seperti perumahan, industri, komersial, dan transportasi. Tata ruang kota, meskipun bukan pengguna energi secara langsung, turut mempengaruhi pemanfaatan energi di perkotaan. Tingkat kekompakkan (compactness) suatu kota jelas memberikan sumbangan terhadap tingkat konsumsi energi energi karena meminimalkan pergerakan komuting dan penyediaan infrastruktur. Melihat perluasan fisik kota-kota besar yang tidak terkendali memperlihatkan tingkat konsumsi energi yang semakin sulit untuk ditekan.
Sudah saatnya, kita memiliki perencanaan kota yang terintegrasi dengan perencanaan energi. Terlebih dengan semakin mengkhawatirkannya dampak-dampak dari krisis energi di perkotaan kita.
---------------------------------
Sumber :2008 © Gede Budi Suprayoga
Tidak ada komentar:
Write comments