Perencanaan dan politik memiliki kaitan yang erat. Meskipun seringkali, keduanya tidak dapat dipertemukan dengan mudah atau tidak dapat dilihat secara kasat mata oleh publik. Tidak dapat dilihat, melainkan dapat dipersepsikan. Perubahan-perubahan yang menyangkut keputusan tata guna lahan dan zoning mempengaruhi kepentingan publik. Seringkali pula, kepentingan itu tidak satu, melainkan beragam dari berbagai kelompok. Konteks keragaman pemangku kepentingan ini menyebabkan perencanaan kota mau tidak mau memasuki ranah politik.
Pada intinya, politik merupakan alat untuk memperoleh keputusan di antara kelompok pemangku kepentingan. Di samping itu, politik adalah arena kekuasaan untuk dijalankan dalam mencapai tujuan-tujuan publik. Perencanaan di suatu Negara sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang dianut oleh Negara tersebut. Misalnya mengenai sistem perimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga Negara. Negara yang otoriter tidak memungkinkan warga kotanya memiliki aspirasi untuk mengubah rencana yang terlah dihasilkan. Sementara itu, Negara yang demokratis memerlukan proses penggalian aspirasi warga untuk memperoleh kesepakatan, sebelum akhirnya keputusan mengenai rencana disahkan.
Pada masa munculnya bidang perencanaan kota, politik masih belum dianggap sebagai bagian yang dipisahkan. Rencana seakan-akan muncul begitu saja dari kepala para perencana yang sebenarnya memyembunyikan kepentingan penguasa atau elit kota untuk melakukan pengaturan. Sebagian besar rencana ini sangat teknis dan visioner yang memberikan kesan bahwa seluruh masalah kota dapat diselesaikan. Tanpa dukungan finansial penguasa kota, tentu saja rencana tersebut tidak dapat diwujudkan dan sekedar berada di awang-awang para perencana tersebut. Namun, beberapa rencana kota memberikan gambaran prospektif akan suatu masyarakat ideal yang terlepas dari birokrasi yang korup. E. Howard memberikan contoh melalui Garden City sebuah pandangan filantropis bagaimana rencana diwujudkan seakan-akan netral dari politik.
Perencanaan kota jelas tidak dapat dilepaskan dari politik. Ada beberapa alasan yang mendukung hal tersebut. Pertama, perencanaan melibatkan banyak aktor yang memiliki kepentingan yang beragam. Dalam wadah Negara demokratis, pendapat warga kota harus dipertimbangkan untuk menghasilkan keputusan publik yang baik, meskipun belum tentu seratus persen benar. Dampak yang menimpa satu kelompok menjadi sangat penting untuk didefinisikan, sehingga keberterimaan rencana menjadi semakin tinggi. Kedua, rencana memerlukan proses legislasi untuk mengesahkannya. Sementara itu, legislatif, dalam konteks pembagian kekuasaan di Negara kita, terdiri dari wakil-wakil rakyat yang bertanggung jawab terhadap konstituennya. Mereka ini adalah “corong” bagi warga kota dari berbagai golongan yang nantinya menentukan alokasi anggaran bagi program-program di dalam rencana. Konteks masalah dalam jangka panjang adalah tidak dapat diprediksikan dengan mudah. Tidak ada individu atau kelompok warga yang memiliki kemampuan meramal dengan tepat masa depan kota mereka. Dengan demikian, masalah perencanaan menjadi sangat sulit untuk dipersepsikan oleh warga kota dan membutuhkan kesepakatan untuk menciptakan pengaturan yang berdampak luas, menyangkut guna lahan, lokasi fasilitas publik, dan pengaturan ruang yang lebih rinci lainnya.
Agen-agen perencanaan memiliki tingkat keterkaitan politik yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks saat ini, rencana kota merupakan produk eksekutif. Berbagai produk rencana, mulai dari tingkat nasional, regional, dan lokal dirancang oleh lembaga eksekutif (Bappenas, Bappeda Kota, Dinas Tata Ruang Kota, atau Departemen Pekerjaan Umum). Agen perencana yang berada dalam wadah eksekutif ini memiliki kepentingan untuk eksekusi terhadap kebijakan-kebijakan publik. Sebelum rencana ditetapkan, eksekutif mendiskusikannya dengan masyarakat dalam tingkat yang ditetapkan oleh peraturan perundangan. Di Indonesia, partisipasi ini masih bersifat formalistik, yaitu untuk memperoleh informasi tentang persetujuan atau ketidakpersetujuan, tanpa ada kewajiban bagi perencana di pemerintahan untuk menindaklanjutinya. Terdapat dilemma dalam melakukan partisipasi publick semakin tinggi tingkat suatu rencana maka partisipasi yang lebih exhaustive sangat sulit dilakukan. Tidak semua kelompok warga dapat diikutsertakan dan dimintakan pendapat.
Sesungguhnya kontrol terhadap substansi rencana dapat dilakukan oleh lembaga legislasi (Dewan Perwakilan Rakyat) agar dapat diselaraskan dengan keinginan-keinginan publik. Sayangnya, seringkali terjadi distorsi antara keinginan publik dengan perwakilan rakyat ini. Proses politik berhenti sampai dalam perencanaan kota berhenti sampai rencana tersebut disahkan sebagai peraturan. Namun, apabila sebuah rencana telah disahkan, maka pihak-pihak yang berkeberatan dapat melakukan uji material terhadap rencana yang sudah disahkan ke lembaga yudikatif (Mahkamah Konstitusi). Dalam dugaan saya, Mahkamah Konstitusi tidak mampu untuk melakukan perubahan mendasar terhadap ketentuan-ketentuan teknis yang mengikat.
Disini menunjukkan bahwa perencanaan tidak dapat dilepaskan dari politik. Perencanaan kota, dalam Negara demokratis, juga dapat menjadi wujud ekspresi politik. Disamping itu, politik perkotaan, salah satu di dalamnya, diwarnai oleh pertarungan “kekuasaan” dalam perencanaan. Fragmentasi dalam perencanaan muncul karena masing-masing tingkatan rencana memiliki agen pemerintahan yang berwenang untuk melakukannya (nasional, wilayah, dan lokal kota). Keputusan menyangkut pengesahan dan pelaksanaan rencana memerlukan proses legislasi yang memperlihatkan publik berhak untuk menentukan arah perencanaan tersebut.
Pada kenyataannya, tidak mudah mempertemukan antara perencanaan dan politik. Sejak lama, perencanaan menjadi bidang yang sangat teknis yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil ahli atau individu yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Padahal, rencana mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Dengan integrasi perencanaan ke dalam politik, maka perencanaan sekaligus menjadi wadah ekpresi keruangan warga kota, disamping penghormatan terhadap hak-hak mereka. Konsultan swasta yang menganggap dirinya netral sekalipun, tidak memungkinkan lepas dari proses politik, dimana perencananya mau tidak mau terlibat di dalam. Dengan demikian, perencanaan tanpa politik adalah buta, dictatorship dan utopian. Yang jelas, perencanaan tanpa politik sama sekali tidak mungkin.
-----------------------------------
Sumber : 2008 © Gede Budi Suprayoga
Sumber : 2008 © Gede Budi Suprayoga
Tidak ada komentar:
Write comments