Perencana bekerja dalam lingkungan yang luas dengan kekuasaan yang terdistribusi. Perencanaan juga melibatkan kepentingan-kepentingan yang beragam. Dalam kaitan tersebut, bagaimana perencana melakukan tugas-tugasnya? Dalam konteks ini, gaya perencanaan berbeda untuk setiap individu dan juga tempat. Sangat jarang perencana menjalankan lebih dari dua tipe gaya dalam menjalankan peran mereka sebagai professional.
Levy (2003) membagi gaya perencanaan menjadi lima, sebagai berikut:
1. Perencana sebagai pelayan publik yang netral (The planner as neutral public servant).
Dalam peran ini, perencana menerapkan keahlian mereka tanpa mendorong warga kota untuk memilih apa yang ingin dikerjakan. Dalam peran ini, bahasa yang dipakai oleh perencana adalah ‘what if’ bukan ‘should’ atau ‘should not’.
Peran inilah yang seringkali digambarkan oleh sekolah-sekolah perencanaan di Indonesia. Perencana dianggap pihak yang netral yang bekerja untuk menemukan berbagai alternatif pilihan pada masa mendatang. Para pemilih adalah warga kota atau pihak yang mewakilinya. Pendidikan perencanaan pun memberikan tekanan yang lebih besar kepada mahasiswa untuk memiliki kemampuan teknis yang memadai, terutama untuk menghasilkan berbagai skenario perencana pada masa mendatang.
Umumnya, masalah kota disampaikan terlebih dahulu oleh masyarakat. Selanjutnya, peran perencana adalah menentukan dimana lokasi suatu kegiatan, lingkungan yang ingin direncanakan, atau pemintakatan yang akan disajikan. Peran perencana sebagai pelayan publik biasanya dikenal dengan produk perencanaan komprehensif. Gaya ini sangat kental mewarnai perencanaan di Indonesia, dimana perencana (dalam konsep yang ideal) bertindak sebagai pelayan publik yang mencoba murni dari berbagai kepentingan. Produk yang dihasilkan berupa rencana komprehensif yang mencoba memasukkan berbagai pertimbangan di dalamnya. Namun, dalam peran ini perencana tidak mampu untuk mempengaruhi keputusan publik, hanya memberikan saran dan pertimbangan atas alternatif.
2. Perencana sebagai pembentuk konsensus (The planner as builder of community concensus).
Melalui peran ini, perencana memasuki arena politik yang sebelumnya tidak disentuh oleh sebagian besar perencana. Masuknya perencana sebagai pembentuk konsensus semakin populer, terutama setelah Perang Dunia II.
Dalam peran ini, perencanaan dipandang tidak dapat dipisahkan dari politik. Ketika perencanaan tidak apat diimplementasikan tanpa kemauan politik dan tindakan politis, yang seringkali terjadi, maka perencana harus terlibat di dalam proses politik itu sendiri. Dengan demikian, perencana harus menjadi bagian dari birokrasi atau struktur politik dimana keputusan dibuat. Dalam pandangan ini, perencana mengekspresikan nilai-nilai yang mereka miliki dan mencoba menggerakkan masyarakat ke arah yang dianggap tepat. Meskipun seringkali perencana tipe ini tidak mampu untuk menangkap nilai dan keinginan yang berkembang di dalam masyarakat atau tidak populis. Perencana seperti iniakan ditinggalkan oleh masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap publik.
3. Perencana sebagai pengusaha (The planner as entrepreneur).
Perencana yang bekerja untuk tugas-tugas tertentu, seringkali bertindak sebagai pengusaha. Sebagai contoh, perencana yang bekerja untuk program kosolidasi lahan, dana publik yang digunakan untuk menyiapkan kawasan, yang kemudian dijual atau disewakan kepada pihak lain. Perencana yang bekerja pada program ini harus mampu memasarkan kawasan, mencari pengembang, dan menegosiasikan kontrak. Dalam beberapa kasus, kita dapat menemukan contoh-contoh lain untuk peran ini.Perencana yang mencoba untuk menyediakan lokasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah harus mampu pula mengembangkan ekonomi golongan masyarakat tersebut. Perhitungan finansial dan pengelolaan pasar lebih dominan dalam menjalankan peran perencana ini dibandingkan aspek-aspek lain.
4. Perencana sebagai advokat (The planner as advocate).
Dalam peran ini, perencana berada di pihak salah satu kelompok dan berupaya untuk mengekspresikan kepentingan kelompok tersebut. Dalam peran ini, perencana memiliki klien, yaitu masyarakat yang minoritas, yang akses mereka terhadap sumber-sumber politik dan ekonomi sangat minim. Dengan demikian, kelompok tersebut membutuhkan perwakilan dalam proses perencanaan. Perencanaan ini berawal dari gagasan Paul Davidoff yang berkembang sejak tahun 1960-an. Davidoff mengambil posisi bahwa selama ini peraturan zonasi mengabaikan kelompok miskin dan minoritas dalam penyusunannya. Perencana advokasi bertindak sebagai pengacara, dengan merepresentasikan kepentingan klien tertentu.
Dalam perkembangan, gaya perencanaan ini menjadi advokasi untuk suatu program, seperti taman, parkir, angkutan umum massa, atau bangunan bersejarah. Selain itu gaya perencanaan ini diadopsi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap suatu program pada masa mendatang.
Peran perencana sebagai advokat ini menempatkan diri mereka sebagai bagian dari proses perencanaan yang penuh dengan kepentingan mayoritas atau menyembunyikan kepentingan yang sesungguhnya merugikan golongan minoritas. Oleh karena itu, klien yang diterima oleh perencana ini berasal dari kelompok miskin dan minoritas. Gaya perencanaan ini seringkali diadopsi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka bukanlah pengacara dalam arti sesungguhnya, melainkan secara jeli melihat potensi pengabaian suara-suara mereka yang tidak disertakan dalam kerangka perencanaan. Meskipun tidak seluruhnya berhasil diterima ke dalam rencana yang lebih luas, perencana sebagai advokat memberikan harapan adanya perhatian terhadap kelompok-kelompok yang tidak dianggap sebagai ‘stakeholder’ kota.
5. Perencana sebagai agen perubahan radikal (The planner as agents of radical change).
Sedikit sekali perencana yang mengambil peran sebagai perubahn sosial. Mereka yang terlibat dalam pemikiran yang radikal dalam perencanaan tidak memungkinkan untuk bekerja dalam sistem mainstream yang seringkali membuat frustasi. Beberapa kademisi mengambil posisi idelogis neo-Marxian atau menganut teori kritis dan mempromosikan perubahan radikal ekonomi dan politik sebagai tujuan jangka panjang perencanaan.
Berbagai gaya perencana tersebut hadir secara bersama-sama. Persoalan tempat dan karakter perencana sendiri yang menentukan adopsinya. Masing-masing memiliki kelemahan maupun kelebihannya, yang tentu saja dapat ditututpi oleh salah satu peran perencana profesional dengan gaya tertentu. Gaya perencana sebagai pelayan publik diingatkan lagi tentang makna ‘publik’ yang mereka layani. Apakah sudah mengikutsertakan kepentingan mereka yang miskin atau minoritas? Perencana sebagai pembangun konsensus jelas menutupi kelemahan gaya yang pertama yang menganggap perencanaan sebagai sesuatu yang netral. Atau perencana sebagai agen perubahan radikal akan menilai bahwa gaya perencana yang pertama sebenarnya menyembunyikan ideologi tertentu yang diekspresikan perencananya. Program-program khusus dalam perencanaan harus mempertimbangkan kemampuan finansial dan bekerja dengan pengembang swasta untuk meningkatkan neraca anggaran dan ekonomi kota.
Tidak ada gaya perencanaan yang terbaik atau terbenar. Pendidikan perencanaan di Indonesia masih melihat perencanaan dalam gaya pertama, meskipun mulai berkembang menjadi yang kedua, ketiga, dan keempat. Hal yang harus disadari oleh perencana adalah karakter, pendidikan, dan dimana ia berada (pemerintahan, konsultan swasta, LSM, akademisi, dll.) menentukan gaya yang dipilihnya. Dengan memahami kaitan antara perencanaan kota dan politik, maka kita dapat menyadari bahwa tidak ada perencanaan kota yang netral yang seakan-akan diatas segalanya untuk menentukan arah perencanaan kota.
---------------------------------
Sumber : 2008 © Gede Budi Suprayoga
Tidak ada komentar:
Write comments