30 Jul 2010

Melihat Sejarah Perencanaan Kota di Indonesia

Sejarah perencanaan kota di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pendudukan kolonial Belanda yang berlangsung selama hampir 350 tahun. Pada tahap-tahap awal perkembangannya, kota-kota di Nusantara tidak memiliki basis perencanaan yang dapat dipelajari oleh generasi saat ini. Untuk menyebutkan sebuah “kota” pada masa pra-kolonial, berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait dengan urbanisasi sama sekali tidak pernah dicatat dan menjadikan sedikit sekali yang diketahui tentang perencanaan kota pra-kolonial.


Perencanaan sendiri merupakan preseden modern yang melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah melalui intervensi yang sifatnya teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan keberadaan perencanaan kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah muncul. Dalam konteks perencanaan kota saat itu, pengaruh kepercayaan terhadap Roh atau Kekuatan Alam menentukan pola pengaturan ruang masyarakat. Meskipun dapat ditelusuri bahwa pola pengaturan ini berkaitan erat dengan praktek kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan terkait pula dengan hirarki sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keseimbangan kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai penguasa wilayah yang berada di kota, merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang tersebut, sehingga menempati kedudukan sentral pada sebuah kota.


Dalam hal tersebut, perencanaan kota di Indonesia tidak diawali dari sesuatu yang disebut “masalah perkotaan”. Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan ruang dalam upaya penyeimbangan antara kekuatan roh, alam, dan hubungan antarmanusia. Praktik seperti ini masih sangat kental untuk warga kota di Bali, meskipun diterapkan semakin terbatas karena pengaruh kapitalisme ruang yang tidak dapat dibendung.

Pada pengetahuan lokal tersebut, ruang diatur dengan pusat sentral di tengah-tengah kota. Ada elemen-elemen umum yang berada di pusat, seperti tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di sekeliling dari pusat adalah rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian menyebar ke seluruh bagian kota sebagai permukiman warga kota biasa.
 
Evers dan Korff (2000) menyebut adanya tiga tipe dari kota-kota di Asia Tenggara. Pertama adalah kota di pedalaman yang merupakan pusat pengaruh dari wilayah pinggiran yang tunduk karena kekuatan Ilahi dari penguasa yang berkediaman. Kedua, kota di pesisir yang berorientasi kepada perdagangan yang lebih terbuka dari berbagai tempat. Ketiga, adalah kota-kota kecil yang menjadi simpul perdagangan antara kota dagang dan kota-kota suci. Dalam bentuk yang paling awal, kota yang pertama muncul lebh banyak, sebelum perdagangan dengan daerah-daerah di seberang lautan semakin intensif, seperti kota-kota Islam awal. Ketika penjelajahan samudera oleh orang Eropa semakin sering dilakukan, maka kota-kota di pesisir (kota dagang) menjadi sasaran empuk bagi penguasaan ekonomi global. Hal ini perlahan-lahan mengurangi pengaruh kekuatan kota-kota di pedalaman (kota suci) yang semakin terputus interaksi ekonomi maupun dukungan atas pajak dan pengaruh politik. Perpindahan penduduk ke pesisir sama sekali tidak diantisipasi sebelumnya, sehingga tidak ada cara-cara sistematis untuk mencegah hal tersebut. Perencanaan kota pada kota-kota Nusantara pada tahal awal ini kurang mampu mengatasi peran strategis yang harus dimiliki sebuah kota.

Pergeseran kota-kota ke arah pesisir muncul seiring dengan interaksi dengan warga dari berbagai bangsa. Tumbuhnya kota-kota pesisir pada tahap awal dimulai oleh perdagangan antarbangsa yang kemudian menciptakan struktur penduduk baru yang didasarkan atas pola hubungan dagang. Penyebaran agama Islam yang intensif menciptakan pusat-pusat baru kekuasaan yang semakin mengurangi daya magis kekuasaan lama di pedalaman. Perubahan struktur penduduk ini menciptakan elemen-elemen penting sebuah kota, terutama untuk mendukung kehidupan kota. Dibangunnya elemen-elemen utama, seperti pelabuhan, masjid, dan pasar yang lebih besar merupakan tanggapan atas perkembangan baru saat itu. Dalam banyak hal, “perencanaan” masih belum muncul dalam masyarakat Nusantara yang tengah berubah pesat dalam bidang ekonomi ini.

Masuknya penjajah kolonial dimulai dari kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama. Batavia adalah salah satunya. Elite kota adalah orang-orang Belanda wakil VOC. Urbanisasi, meskipun dalam taraf yang masih rendah, memberikan tekanan terhadap kota yang multikultural. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah kolonial untuk menjaga kepentingannya adalah melalui pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di dalam kota untuk kelompok-kelompok bangsa. Hal ini digambarkan oleh Karsten dengan kondisi perumahan orang-orang Eropa yang tinggal di rumah-rumah ‘India Kuno’ yang besar dan luas dengan pekarangan yang terhampar. Kampung-kampung dideskripsikan dengan lingkungan yang sangat luas, tetapi bangunannya tetap primitif dan tidak tertata. Sejumlah kebun berada di atas tanah kosong ini. Areal kampung ini mencerminkan karakter desa yang sangat kental. Sementara itu, orang China diharuskan untuk tinggal di dalam kamp China yang didirikan bersama dengan orang Belanda pada abad ke-17 dan 18, dengan fasilitas yang luas. Golongan kolonial yang kurang beruntung tinggal di koridor jalan utama maupun di kawasan kota lama. Inilah adalah bentuk pengaturan awal yang muncul dari tata kota.

Dilihat dari struktur ruang, tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan struktur ruang tradisional yang diambilkan dari kota-kota Jawa. Kota Batiavia dibangun dengan jalan besar yang melingkari kota dan dilengkapi dengan alun-alun yang luas. Sama halnya dengan Bandung yang baru dipindahkan dari Dayeuh Kolot (untuk dijadikan pusat pemerintahan dan mengatasi persoalan banjir di Citarum) dirancang dengan pusat pemerintahan dan agama yang mengelilingi alun-alun, dengan tempat tinggal penduduk biasa berkelompok di sekitarnya. Lorong-lorong kecil menembus kawasan pusat dengan bagian kiri dan kanan berpagar rangkaian bamboo. Jalan-jalan diperkeras dengan pecahan batu atau kerikil yang ditimbris sehingga dapat digunakan untuk berjalan. Rumah-rumah berjarak satu dengan yang lainnya sehingga menyediakan ruang untuk kebun dan pohon.
 
Pemisahan ruang masih merupakan ciri dari kota kolonial, yang terutama didasarkan atas kebangsaan. Orang-orang pribumi menempati bagian selatan beserta alun-alun, Mesjid Agung, yang dibangun dengan biaya pemerintah tahun 1850, beserta rumah bupati dan jabatan penting pribumi. Sementara itu, di bagian utara ditempati oleh orang-orang Eropa, termasuk Asisten Residen. Pengaturan ini, oleh Voskuil (2006) didasarkan terutama oleh tingkat kesejahteraan, namun lebih mencerminkan segregasi spasial. Kini, di permukiman utara pun masih ditemukan adanya kantong-kantong permukiman miskin baru.

Salah satu tonggak penting dalam pengelolaan kota di Indonesia adalah munculnya undang-undang desentralisasi yang memungkinkan pemerintah kota mengatur urusan kotanya sendiri. Kota-kota di Indonesia kemudian memberlakukan peraturan bangunan, seperti Bataviasche Plannerorderning 1941, Bataviasche Bestemingkringe en Bouwtypenverordening 1941, dan Bataviasche Bouwverordening 1919 – 1941. Semua peraturan tersebut masih berorientasi kepada fisik kota. Dengan perhatian Thomas Karsten tahun 1920 dalam laporan Town Planning in Indonesia, maka terbentuk Komite Perencanaan Kota oleh pemerintah kolonial yang menghasilkan RUU tentang perencanaan kota pertama di Indonesia yang kemudian menjadi SVV dan SVO.

Kota-kota paska-kemerdekaan adalah kota-kota besar yang menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional. Kota-kota ini mengalami pertumbuhan yang pesat karena migrasi masuk. Selain itu, terjadinya baby boom yang turut melanda Indonesia paska-Perang Dunia Kedua. Pada saat tersebut, kondisi infrastruktur masih kurang baik. Rencana Lima Tahun Pertama (1956 – 1960) dibuat, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Komite Perencanaan Nasional. Komite ini membuat Rencana Pembangunan Delapan Tahun (1961 – 1968). Kedua rencana tersebut sangat ambisius dengan tidak memperhatikan ketersediaan dana dan daya dukung ekonomi. Masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah bidang ekonomi yang ditandai dengan tingkat inflasi tinggi. Pembangunan infrastruktur pun direncanakan sebagai bagian dari unjuk kekuatan ekonomi Indonesia yang sebenarnya sangat rapuh oleh Presiden Soekarno, sebagai simbol New Emerging Forces of the World (Winarso, 1999).
 
Pada masa pemerintahan Orde Baru, dengan gaya kepemimpinan nasional yang lebih rasional, maka disusun perencanaan yang sifatnya bertahap atau dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Namun, kota-kota masih belum menjadi fokus dari kebijakan di dalamnya. Pada tahun 1970, rencana pada tingkat regional muncul dengan Rencana Jabotabek yang diikuti dengan perencanaan-perencanaan untuk proyek khusus yang didanai oleh lembaga-lembaga internasional. Salah satunya adalah KIP (Kampong Improvement Programme) yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970-an.

Secara sistematis, kelembagaan perencanaan diwujudkan mulai dari level nasional hingga ke daerah (BAPPEDA). Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, perencanaan daerah berkembang menjadi kewajiban bagi daerah dalam penyelenggaraannya.

Pada tahu 1980, Nasional Urban Development Strategy berhasil dirumuskan. Tahun ini adalah tonggak bagi perencanaan spasial yang mengambil gagasannya dari gaya perencanaan di Inggris (Winarso, 1999). Mengintegrasikan rencana pengembangan dan perencanaan fisik menjadi bagian dari program IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development Program). IUIDP dapat dikatakan berhasil untuk mengintegrasikan investasi publik untuk meningkatkan produktivitas kota dan mengarahkan investasi swasta. Pada tahun 1992, lahir UU No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang yang lebih tegas mengarahkan perencanaan pada berbagai tingkatan dan menciptakan integrasi ruang antartingkatan tersebut. Meskipun sangat kental bercorak top-down, lahirnya UU tersebut mempengaruhi praktek perencanaan di Indonesia berikutnya. Lahirnya PP No. 69 Tahun 1996 tidak banyak berpengaruh terhadap pendekatan perencanaan yang lebih partisipatif karena perencanaan belum mampu mengikutsertakan masyarakat ke dalam bentuk paritisipasi yang lebih nyata, ketimbang sekedar informasi dan konsultasi.

Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat berat. Kota-kota mengalami masalah akut terkait mandegnya investasi dan kondisi perekonomian warga. Dalam kondisi yang demikian, kota-kota besar justru tidak dapat diharapkan dalam mengatasi kecenderungan terhadap penurunan kualitas kota-kota di Indonesia. Gaya perencanaan yang cenderung top-down dengan menempatkan kota-kota utama sebagai motor penggerak ekonomi ternyata tidak berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan spasial yang demikian telah mengalami kegagalan, yang kemudian memberikan pelajaran berharga dalam menyusun UU Penataan Ruang yang baru (yang dimaksud adalah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan tahun 1999 yang kemudian direvisi di dalam UU No. 32 Tahun 2004, memberikan ketegasan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi. UU NO. 32 Tahun 2004 memungkinkan pengelolaan kota yang dilakukan bersama antardaerah otonom.

Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 memberikan peluang bagi pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk muncul ke permukaan. Pendekatan didasarkan atas potensi dan kendala yang dihadapi oleh kota-kota, baik itu fisik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, secara hubungan spasial antara wilayah tidak lagi didominasi hubungan antara pusat – pinggiran, melainkan berkembangkan menjadi hubungan-hubungan yang sifatnya lebih self-sustai dengan memperhatikan peluang pasar ke luar. Disini, perencanaan spasial menjadi bersifat strategis, ketimbang memperkuat hubungan ‘tradisional’ kota dengan wilayah sekitarnya sebagai hubungan pusat – pinggiran.

Dibalik perencanaan kota yang disebut mainstream (formal) pengaruh-pengaruh perencanaan yang berkembang di dunia barat pun turut mempengaruhi gagasan perencana di Indonesia. Beberapa perencana bergerak di bidang advokasi dan pendampingan masyarakat yang memungkinkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Mereka ini bergabung ke dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meskipun demikian, praktek-praktek ini pun tidak dapat dilepaskan dari “pesanan” organisasi-organisasi internasional yang menginginkan perubahan dalam demokrasi masyarakat Indonesia yang tengah mengalami transisi.

Dari rangkaian praktek dan pengetahuan perencanaan yang terakumulasi di atas, kita melihat perkembangan perencanaan kota di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kehadiran penjajah kolonial di bumi Nusantara. Secara indigenous, perencanaan kota yang disebut ‘Indonesia’ hampir tidak tidak muncul ke permukaa. Perencanaan seringkali diarahkan oleh inovasi perencanaan yang berkembang di dunia Barat. Meskipun demikian, paska-kemerdekaan perkembangan perencanaan sangat pesat dan masih belum jelas arah dari perencanaan kita pada masa mendatang. Semecam otokritik perlu dialamatkan, bahwa dari pengalaman selama ini sekolah perencanaan seakan menjadi persiapan untuk menjadi birokrat (Winarso, 1999), sehingga kurang memberikan gambaran tentang perencanaan kota yang benar-benar dibutuhkan selama ini dalam teori dan praktek. Tentu saja, dengan demikian, tidak dapat diharapkan untuk meramalkan wajah perencanaan pada masa depan. Praktek-praktek yang berkembang di luar jalur formal tersebut seringkali menjadi good practice yang belum terlembagakan dengan baik ke dalam sistem perencanaan kita, seperti perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) oleh Johan Silas dan Hasan Poerbo.

Tidak ada komentar:
Write comments